A. PENDAHULUAN
Perkawianan
merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia
itu sendir yang meliputi kebutuhan dnafungsi bologis, melahirkan keturunan,
kebutuhan akan kasih sayang, persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut
menjadi anggota masyarakat yang sempurna.[1]
Tujuan
pembahruan hukum keluarga berbeda antara satu Negara dengan Negara lain, yang
secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, Negara yang
bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Kedua, untuk pengangkatan status
perempuan dan ketuga, adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman
karena konsep fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
Di
Negara Muslim atau mayoritas Muslim pembaharuan hukum Islam terus berkembang,
hal itu disebabkan begitu kompleksnya problem yang muncul. Sementara Al-Quran
dan hadist juga pendapat Imam Mazhab tidak secara eksplisit menjelaskannya,
termasuk masalah batasan usia perkawinan.
Dalam makalah ini akan digambarkan latar
belakang dan urgensi pembatasan perkawinan dan batas usia perkawinan dalam
hukum keluarga Negara-negara Muslim.
B. PEMBAHASAN
1. Perkawinan
Ada beberapa definisi
perkawinan yang dikemukakan oleh para ahli :
a. Menurut
kalangan Syafi;iyang, seperti yang dikutip oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya
hukum perkawinan Islam di Indonesia, perkawinan adalah akad atau perjanjian
yang mengandung maksud membolehkan hubungan dengan lafaz n-ka-ha atau za-wa-ja
b. Sedangkan
menurut Ahamad Ghandur di dalam bukunya al-Ahwal al-syakhsiyah menyatakan bahwa
perkawinan adalah akad memperboleh bergaul antar laki-laki dan perempuan dalam
tuntutan nalurui kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak
secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban
c. Menurut
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pri dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang Maha
Esa
d. Sedangkan
menurut Komplikasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 perkawinan menurut Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
2. Latar
Belakang dan Urgensi Batasan Usia Perkawinan
Salah
satu fenomena abad 20 di dunia Muslim adalah adanya usaha pembaharuan hukum
keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan). Sampai tahun 1996 di Negara
timur tengah misalnya hanya lima Negara yang belum memperbaharui hukum
keluarga, bahkan Negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuatan draf,
yakni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan Oman.[2]
Tujuan
usaha pembaharuan hukum keluarga berbeda antara satu Negara dengan Negara lain,
yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama Negara yang
bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alas an pembaharuan untuk unifikasi
ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang diikuti di Negara bersangkutan
yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih dikalangan sunni, namun juga boleh
juga antara sunni dan syi’i. kedua, untuk pengangkatan status wanita.
Undang-undang perkawinan mesir dan Indonesia masuk dalam kelompok ini. Ketua,
untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsop fiqih tradisional
dianggap kurang mampu menjawabnya.
Di
Indonesia, undang-undang pertama tentang perkawinan dan perceraian, yang
sekaligus dikelompokkan sebagai susha pembaharuan pertama adalah dengan diperkenalkannya
UU No. 22 Tahun 1946. pertamaUndang-undang ini hanya berlaku untuk wilayah
pulau jawa yang kemudian Undang-Undang pertama tentang perkawinan yang lahir
setelah Indonesia merdeka ini diperluas wilayah berlakunya untuk seluruh
Indonesia dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954, yakni undang-undang tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Keberadaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946
ini adalah sebagai kelanjutan dari stbl. No. 198 tahun 1895.
Undang-Undang
No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974
yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 ini adalah
Undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan
perceraian. Undang-Undang ini terdir dari 14 Bab dan 67 pasal.
Meskipun
secara terang-terangan tidak ada petunjuk Al-Quran atau Hadis Nabi tentang
batas usia perkawinan, namun ada ayat Al-Quran dan begitu pula ada hadis Nabi
yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.[3]
Adapun Al-Quran adalah
firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 6 :
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan
harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang
patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
Dari
ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu
adalah baligh.
Adapun
hadist Nabi dari Abdullah Ibn Mas’ud muttafaq alaih yang berbunyi :
يا
معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج
“ Wahai para pemuda siapa di antaramu telah mempunyai
kemampuan dalam persiapan perkawinan, maka kawinlah”
Ada
seperti persyaratan dalam hadist Nabi ini untuk melangsungkan perkawinan, yaitu
kemampuan persiapan untuk kawin. Kemampuan dan persiapan untuk kawin ini hanya
dapat terjadi bagi orang yang sudah dewasa.
Dalam
salah satu definisi pekawinan disebutkan di atas yang mencantumkan bahwa pernikahan itu menimbulkan
hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri. Adanya hak dan kewajiban
atas suami atau istri mengandung arti bahwa pemegang tanggung jawab dan hak
kewajiban itu sudah dewasa.
Dalam
salah satu persyaratan yang akan melangsungkan perkawinan tersebut diatas terdapat
keharusan persetujuan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan.
Persetujuan dan kerelaan itu tidak akan timbul dari seseorang yang masih kecil.
Hal itu mengandung arti bahwa pasangan yang diminta persetujuannya itu haruslah
sudah dewasa.
Hal-hal
yang disebutkan di atas memberikan isyarat bahwa perkawinan itu harus dilakukan
oleh pasangan yang sudah dewasa. Tentang bagaimana batas dewasa itu dapat
dibedakan antara laki-laki dan perempuan, dpat pula berbeda karena perbedaan
lingkungan budaya dan tingkat kecerdasan komunitas atau disebabkan oleh factor
lainnya. Untuk menentukannya diserahkan kepada pembuat undang-undang di
lingkungan masing-masing.
Batas
usia dewasa untuk calon mempelai sebagaimana dapat dipahami dari ayat Al-Quran
dan hadist Nabi tersebut di atas secara jelas diatur dalam undang-undang
perkawinan pasal 7 dengan rumusan sebagai berikut :
( 1) Perkawinan
hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam
hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabgat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau
pihak wanita.
Komplikasi
Hukum Islam pada Bab IV Pasal 15 mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-Undang
perkawinan dengan rumusan sebagai berikut :
(1)
Untuk kemaslhatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencpaai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun
(2)
Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun
1974.
Ternyata
Undang-Undang Perkawinan melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut
persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan
antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat menentukan untuk
pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan kedua calon meniscayakan
perkawinan itu tidak didasari oleh paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyarakan
adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan
pilihannya siapa yang paling cocok dan mashlahat sebagai suaminya. Jadi disini
tidak ada paksaan, terlebih lagi pada masyarakat yang telah maju.[4]
Batasan
umur yang termuat dalam Undang-Undang perkawinan sebenarnya masih belum terlalu
tinggi disbanding dengan beberapa Negara lainnya di dunia. Aljazair misalnya
membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu laki-lakinya 21 tahun dan
perempuannya 18 tahun. Demikian juga dengan Banglades 21 tahun untuk laki-laki
dan 18 tahun untuk perempuan. Memang ada juga beberapa Negara yang mematok umur
tersebut sangat rendah. Yaman Utara misalnya membatasi usia perkawinan tersebut
pada umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Malaysia membatasi usia
perkawinannya,laki-laki berumur 18 tahun dan perempuan 16 tahun. Dan rata-rata
Negara di dunia membatasi usia perkawinan itu 18 tahun dan wanita berkisar 15
tahun dan 16 tahun.
Bahkan
batasan umur yang ditetapkan oleh Undang-Undang perkawinan masih lebih tinggi
dibanding dengan ketentuan yang terdapat di dalam ordonasi perkawinan Kristen
mapun kitab undang-unang perdata.
Pembuat
rancangan Undang-undang perkawinan mungkin menganggap umur 19 tahun bagai
seseorang lebih matang fisiknya dan kejiwaannya dari pada 18 tahun laki-laki
dan 15 tahun perempuan seperti yang ditetapkan oleh hukum perdata.[5]
Yang
jelas dengan dicantumkannya secara aksplisit batasan umur, manunjukkan apa yang
oleh yahya Harapakan exepressip veris atau langkah penerobosan hukum adat dan
kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat jawa
misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda
usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya
masih kurang dari 15 tahun, walupun mereka belum diperkenankan hidup bersama
sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung.[6]
Dengan
adanya batasan umur ini. Maka kekaburan terhadap penafsiran batas usia baik
yang terdapat di dalam adat ataupun hukum Islam dapat dihindari.[7]
Jika
dianalisis lebih jauh, peraturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan yang
cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan batasan umur dan kesan,
Undang-undang perkawinan bermaksud untuk merekayasa untuk tidak mengatakan
menahan laju perkawinan yang membawa akibat pada laju pertambahan penduduk.
Tidak
dapat dipungkiri, ternyata batasan umur yang rending bagi seorang wanita untuk
kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan berakibat pula pada
kematian ibu hamil yang cukup tinggi pula. Pengaruh buruk lainnya adalah
kesehatan reproduksi wanita menjadi terganggu.[8]
Dengan
demikian pengturan tentang usia ini sebenarnya sesuai dengan prinsip perkawinan
yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harus telah masak jiwa dan raganya.
Tujuannya adalah agar tujuan perkawina untuk menciptakan keluarga yang kekal
dan bahagia secara baik dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawianan di
bawah umur atau sering diistilahkan dengan perkawinan dini seperti yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undan, semestinyalah dihindari karena membawa efek yang
kurang baik, baik terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.
C. Batas
Usia Perkawinan dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim
1. Turki
Dalam
undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak menikah adalah 18 tahun
bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Dalam kasus-kasus tertentu pengadilan
dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun laki-laki dan 14 tahun
perempuan setelah mendapat ijin orang tua atau wali. Undang-undang yang
mengatur nikah ini sudah diamandemen pada tahun 1938.[9]
Pada
tahun 1972 dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan masih boleh mengizinkan
pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Dalam
fiqih Hanafi wacana tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongrit
menyebut umur, hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan
adalah berak dan baligh, sebagaimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi
operasional seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh hanyalah
syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan
pernikahan.[10]
2. Iran
Usia
minimum boleh melaksanakan perkawinan bagi pria adalah 18 tahun dan bagi wanita
15 tahun. Bagi seorang yang mengawinkan seseorang yang masih di bawah usia
minimum nikah dapat dipenjara antara 6 bulan hingga 2 tahun. Jika seorang anak
perempuan dikawinkan di bawah usia 13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat
dipenjara selama 2 minggu hingga 3 tahun. Di samping itu, bagi yang melanggar
ketentuan ini dapat dikenai denda 2-20 riyal.[11]
Usia
minimum boleh melaksanakan perkawinan tersebut berbeda dengan pandangan hukum
mazhab Ja’fari. Menurut mazhab Ja’fari, seseorang telah dipandang dewasa
(karenanya dpat melangsungkan pernikahan) jika telah berumur 15 tahun bagi pria
dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja’far juga memandang bahwa seorang wali boleh
mengawinkan anak yang masih di bawah umur. Dengan demikian ancaman hukuman bagi
wali yang mengawinkan anak di bawah umur merupakan pembaharuan hukum keluarga
di Iran yang bersifat administratif.
3. Yaman
Selatan
Sebagaimana
hukum keluarga di Negara-negara yang lain, Yaman Selatan juga diterapkan adanya
batasan minimal usia nikah, yakni 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk
perempuan. Namun batasan ini tidak terkait dengan keabsahan akad nika, hanya
disebutkan bahwa itu merupkan suatu yang perlu untuk diperhatikan. Tampaknya
hanya kemaslahatanlah yang mendasari ketetapan ini dan tidak banyak kepentingan
Negara untuk ikut mengaturnya, sehingga peraturan ini hanya bersifat “anjuran”.
Bila dikaitkan dengan fiqih klasik, hal ini terlihat tidak banyak berubah. Perkawinan perempuan yang belum baligh (bila
batasan usiah pernikahan tersebut boleh dikiaskan dengan kedewasaan, bulug),
hampir semua fuqaha menyatakan keabsahannya. “Anjuran” di atas sama dengan satu
riwayat dari asy-Syafi’I yang menyebutkan bahwa saya lebih senang jika seorang
ayah tidak menikahkan anak perempuannya sebelum baligh.
Masih
terkait dengan usia antara calon pengantin, juga ditetapkan bahwa perbedaan
usia antara kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari 20 tahum, kecuali bila
calon perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam pandangan fuqaha klasik,
tidak ada larangan seperti ini. Preseden yang sering dijadikan rujukan adalah
perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang berbeda usia keduanya sangat jauh pada saat
pernikahan.
4. Republik
Tunisia
Laki-laki
dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah berusia 20
tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 undang-undang 1956,
yang mana sebelum diubah, ketentuan usia pernikahan adalah 17 tahun bagi
perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki.
Dengan
ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk
boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 tahun harus
mendapat izin dari walinya. Jika sang wali tidak memberi izin, perkara tersebut
dapat diputuskan oleh pengadilan. Akan tetapi pada tahun 1981, ketentuan pasal
ini berubah, yaitu bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, seseorang
laki-laki harus sudah mencapai usia 20 tahun dan wanita telah mencapai umur 17
tahun. Sehingga bagi mereka yang belum sampai batasan usia tersebut, harus
mendapat izin khusus dari pengadilan. Izin tidak dapat diberikan kalu tidak alas
an yang kuat dan keinginan yang jelas dari masing-masing pihak. Di sampng itu,
pernikahan di bawah umur, tergantung kepada izin wali. Jika wali menolak
memberikan izin padahal para pihak sudah berhasrat kuat untuk menikah,perkara
dapat diputuskan pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat
dari ketentuan-ketentuan di dalam kitab fiqih maliki. Sebab tidak ada batasan
yang jelas mengenai usia nikah ini dalam kitab-kitab tersebut.
5. Maroko
Batasan
minimal usia kawin di Maroko bagi laki-laki 18 tahun sedangkan bagi wanita 15
tahun. Namun demikian disyaratkan izin wali jika perkawinan dilakukan oleh
pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan.
Pembatasan
demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam Al-Quran, al-Hadist maupun
kitab-kitab Fiqih. Hanya saja para ulama mazhab sepakat bahwa baligq merupakan
salah satu syarat bolehnya perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali
mempelai. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun
perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara syafi’I dan hanbali menentukan
umur 15 tahun, sedangkan Hanafi yang membedakan batas usia umur baligh bagi
keduanya, yakni laki-laki 18 tahun sedangkan permpuan 17 tahun. Batasan ini
merupakan batasan maksimal, sedangkan batasan minimal adalah laki-laki 15 tahun
dan perempuan 9 tahun, dengna alas an bahwa pada umur itu ada laki-laki yang
sudah mengeluarkan sperma da nada perempuan yang sudah haid sehingga bisa
hamil.
Dalam
hal ini nampaknya Maroko mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’I
dan Hambali. Batas umur 15 tahun bagi wanita Turki, Yordania dan Yaman Utara.
6. Aljazair
Pembentukan
hukum keluarga di Aljazair diantaranya bermaksud meningkatkan usia nika bagi
kedua calon mempelai. Hukum keluarga 1984 dengan tugas memperlihatkan hal ini.
Pada pasal 7 secara jelas ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan
calon mempelai perempuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan
dengan usia nikah yang terdapat dalam hukum keluarga di Negara-negara Islam
lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas minimum usia nikah.[12]
Dalam
Nash (Al-Quran dan Hadist) tidak terdapat ketentuan yang secara ekslipisit menetapkan batasan
usia nikah. Para ahli fiqih juga tidak membahas usia nikah. Barangkali melacak
pendapat mereka dapat dilakukan dengan mengaitkan usia baligh, karena baligh
adalah syarat bagi calon mempelai untuk dapat melangsungkan pernikahan. Dalam
hal ini, Maliki menetpakan usia 17 tahun. Namun demikian, pernikahan bagi yang
masih di bawah usia 17 tahun dianggap sah, kalau menurut wali dapat
mendatangkan kebaikan bagi yang bersangkutan.[13]
Dapat
di duga ketentuan suia nikah yang terdpaat dapam perundang-undangan Aljazair
ini murni atas pertimbangan yang lebih bersifat sosiologis, sebab ketentuan ini
tidak di ambil dari pandangan mazhab di luar Maliki. Mazhab Hanafi yang
disinyalir menempati posisi kedua di Aljazair setelah mazhab Maliki, menetapkan
usia baligh yang lebih rendah dari batasan ini, yakni 18 tahun bagi laki-laki
dan 17 tahun bagi perempuan.
Jadi,
dalam batasan usia nikah Aljazair melakukan reformasi extra dektrinal, yaitu
keluar dari pendapat yang berkembang di kalangan pemikir hukuk Islam (mazhab),
seterusnya membuat keputusan hukum baru melalui ijtihad, dengan tetap mengacu
pada prinsip-prinsip hukum islam.
Aturan
usia nikah 20 tahun bagi laki-laki, 28 tahun bagi perempuan dapat saja
diabaikan hakim atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan dan atas
pertimbangan demi kebaikan para calon.
7. Afganistan
Perlakuan
Undang-undang mengenai perkawinan anak tampak bahwa pakar hukum Afganistan
mengikuti dua tujuan dalam masalah ini yaitu pembatasan dan pelanggaran secara
tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap
praktik-pratik perkawinan anak saat menguatkan legalitas perkawinan anak, atau
mencoba menghapus praktek perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai
ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 Hukum Sipil 1977 menghapus
perkawinan anak, hukum-hkum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi
perundang-udangan untuk membatasi praktik perkawinan anak.
Tidak
ada ketentuan jumlah umur layak nikah dalam Syariah. Merupakan prinsip umum
kedewasaan untuk menikah ditenggarai dengan adanya masa puberitas secara fisik.
Hukum sipil 1977 menetpakan bahwa “konfensasi” untuk menikah adalah ketik sudah
mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita. Wanita yang
belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh Qhadi,
perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis dibawah umur 17 tahun bagaimana pun
keadaanya. Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali.
Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat
terhapus dan kekuasaan wali memaksa wanita hanya berlaku dengan memperhatikan
kondisi gadi-gadi antara umur 15 dan 16 tahun, walupun begitu hal ini pun masih
bergantung kepada izin dari pengadilan.
Pada
tahun 1978 Majelis Revolusuiner menerbitkan sebuah keputusan nomor 7 mengenai
perkawinan anak. Di bawah keputusan ini, ketentuan perkawinan gadis di bawah
umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan pelanggaran
dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.
8. Somalia
Di
dalam kitab-kitab hukum keluarga klasik disebutkan bahwa pria dapat
melangsungkan pernikahan jika ia telah “mimpi (ihtilam) dan untuk wanita telah
mengalami mentruasi (haid). “Mimpi dan menstuasi adalah tanda bahwa baik pria maupun
wanita tersebut telah dewasa tau akil baligh. Peristiwa “mimpi” dan menstruasi
umumnya akan dialami oleh mereka pada usia 13-14 tahun, tergantung pada kondisi
alam di suatu tempat dan masyarakat tertentu.
Somalia
menetapkan umur minimal 18 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita untuk
melangsungkan perkawinan. Hanya saja
dalam kondisi tertentu pihak pengadilan dapat memberikan izin nikah bagi
pasangan yang belum cukup umur. Selain itu Somalia juga mengatur pernikahan di
bawah umur bagi wanita dengan beberapa persyaratan. Seseorang fadis yang belum
mencapai umur di dalam perkawinan dapat diwakili oleh ayahnya dan jika ayahnya
tidak ada, oleh ibunya, kakek saudara tertua atau paman. Jika mereka tidak ada
atau berada jauh dari 100 km dari tempat dilangsungkan perkawinan, pengadilan
atau petugas yang diberikan kuasa dapat bertindah sebagai wali.
D. Anlisa
Penulis
Pembaharuan
hukum keluarga yang dilakukan Negara-negara Muslim atau Negara yang perpenduduk
Muslim terus berkembang. Dalam hal batas usia perkawinan, Negara-negara
tersebut menetapkan sendiri sesuai dengan unsur kemaslahatan.
Ini
terjadi kerena tidak ada penjelasan secara kongrit dalam Al-Quran dan Hadist
tentang umur yang membolehkan seseorang untuk melakukan pernikahan.
Dalam
beberapa ayat dan Hadist hanya dinyatakan bahwa, seseorang yang hendak
melakukan pernikahan harus baligh. Laki-laki yang telah baligh ditandi dengan
telah “mimpi” dan perempuan dengan telah datang haid.
Di
Indonesia penjelasan tentang batas usia pernikahan dijelaskan oleh Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan.
E. Kesimpulan
Batas usia perkawinan di Negara-negara Muslim :
1. Dalam
Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendah nikah adalah 18 tahun bagi
laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
2. Somalia
menetapkan umur minimal 18 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan untuk
dapat melangsungkan perkawinan.
3. Afganistan
untuk menikah adalah ketika sudah mencapai umur 18 tahun unutk laki-laki dan 17
tahun untuk perempuan.
4. Aljazair
menetapkan mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai wanita 18 tahun.
5. Sedangkan
Maroko menetapkan bagi laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun.
6. Ketentuan
usia pernikahan di Tunisia adalah 17 tahun bagi Perempuan dan 20 tahun bagi
laki-laki.
7. Yaman
Selatan juga diterapkan adanya batasan minimal usia nikah, yakni 18 tahun untuk
laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
8. Iran
usia minimal boleh melaksankan perkawinan bagi pria adalah 18 tahun dan bagi
wanita adalah 15 tahun.
9. Sedangkan
Indonesia menetpakan susuai pasal 7 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
adalah :
(1) Perkawinan
hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun (Sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
[1] Titik
Triwulan dan Tranto, Pologami perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2007), Hal. 2
[2] M.
Attho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, (Jakarta: Ciputat Pres, 2003), hal. 10
[5] Lili
Rasjidi, Hukum Perkwinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), hal. 111
[8] Wila
Chandrawila Supriadi, Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, (Bandung:
Mandar Maju, 2001), hal. 75
[9] Muhammad
Amin al-Shahir bi Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muktar, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt), hal. 599
[12] M.
Attho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Jihat, antara Tradisi dan Liberalisasi, (Yokyakarta:
Titian Ilahi Pres, 1998), hal. 179
[13] Abdur
Rahman al-jaziri, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Solo: Toko Kitab
AS, tt), juz IV, Hal. 52
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....