- Pendahuluan
Segala puji bagi Allah SWT yang
telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Shalawat beserta salam semoga
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, sebagai panutan umat khususnya dalam
berkeluarga.
Islam adalah agama yang sangat
menjunjung tinggi derajat seorang perempuan dan memuliakannya. Banyak kemulian
telah diberikan Islam kepada kaum perempuan. Diantarannya mengembalikan hak-hak
perempuan yang dirampas dan dijajah oleh kaum laki-laki jahiliyyah.
Meskipun masa jahiliyyah telah
berlalu, akan tetapi perbuatan jahiliyyah masih kita temukan khususnya di
Indonesia. Dalam banyak media kita dapati prosentase kekerasan dalam rumah
tangga semakin meningkat tiap tahunnya. Yang dalam kekerasan itu rata-rata
sebagai objeknya adalah kaum hawa ( para istri). Kekerasan yang terjadi
tersebut berakibat kepada keselamatan hidup yang tidak terjamin bahkan sampai
kepada keselamatan nyawa.
Keadaan ini merupakan permasalahan
serius, karena bertolak belakang dengan ajaran Islam dan tuntunan Rasulullah
SAW yang berkaitan dengan perlindungan hukum dan hak-hak perempuan.
Pada kesempatan kali ini penulis
mencoba membahas tentang problematika rumah tangga, khususnya posisi kesedian
istri dalam rujuk ditinjau dari pendapat Ulama Klasik (Mazhab Arba’ah) dan
Ulama Syi’ah serta membandingkannya dengan hasil ijtihad ulama Indonesia yang
dituangkan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu pada pasal 164 (hak
wanita mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya) dan pasal
165 (rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak
sah dengan putusan PA), dan juga perbandingannya di dunia Islam.
- Posisi Kesedian Istri dalam Rujuk
1. Pengertian
Rujuk
Secara umum rujuk adalah
mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan.
Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan
secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Secara etimologi; الرجوع
مصدر رجع (kata rujuk itu masdar katanya ra-ja-‘a), yang
berarti; العودة إلى حال الأول (mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula).[1]
Kata rujuk juga dipakai sebagai penamaan untuk orang yang baru satu kali
melakukan rujuk kepada istrinya. Kata lain yang sering terdapat dalam al-Qur’an
adalah إمساك dan رد.
Adapun pengertian rujuk secara terminologi;
a. Ulama
Hanafiyah, rujuk adalah meneruskan hak milik (pernikahan) yang masih ada tanpa
ganti rugi selama masih dalam masa iddah yaitu melanjutkan pernikahan dalam
masa iddah talak raj’i.[2]
b. Ulama
Malikiyah, rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak untuk memelihara
pernikahan tanpa memerlukan aqad yang baru.[3]
c. Ulama
Syafi’iyah, rujuk adalah mengembalikan seorang wanita kepada pernikahan yang
telah di talak selain talak ba’in dan masih dalam masa iddah dengan tata cara
yang telah ditentukan.[4]
d. Ulama
Hanabillah, rujuk adalah mengembaliikan istrinya yang telah ditalak kepada
perkawinan yang pernah terjadi tanpa memerlukan aqad.[5]
e. Sedangkan
dari ulama Syi’ah (Imamiyah), penulis tidak mendapatkan sebuah redaksi yang
jelas tentang defenisi rujuk, hanya saja mereka langsung memberikan
penafsirannya yang berdasarkan kepada surat al-Baqarah ayat 228, yaitu tentang
bahwa suami lebih berhak merujuk istrinya yang dalam talak raj’I, meskipun sang
istri tidak mengetahui atau ghaibah. Selain itu juga Ulama syi’ah
(Imamiyah) berpendapat rujuk dapat terjadi melalui watha’, qobbala,
sentuhan yang disertai syahwat atau tidak, dan lain sebagainya yang tidak halal
dilakukan kecuali oleh suami. Rujuk tidak membutuhkan pendahuluan berupa
ucapan, sebab wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam ‘iddah,
dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat rujuk.[6]
f. Menurut
al-Mahalli, rujuk adalah kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang
bukan bain, selama dalam masih iddah.[7]
g. Sedangkan
dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), rujuk adalah kembalinya suami kepada
istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih di
masa iddah.[8]
Dari beberapa defenisi diatas dapat
dilihat adanya beberapa penilaian yang berbeda dikalangan ulama tentang
pengertian rujuk, yang berimbas kepada berbedanya mereka dalam merumuskan
proses dan juga syarat-syarat dalam pelaksanaan rujuk. Hal yang sangat nyata
perbedaannya adalah tentang terjadinya rujuk dengan perbuatan, baik dengan watha’
langsung ataupun dengan sentuhan-sentuhan yang mengarah kepada hubungan badan
tanpa diawali dengan ucapan.
2. Proses
Rujuk Menurut Lima Mazhab
Cara
untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri yang ditalak, atau
dengan perbuatan. Rujuk dengan ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh para
ulama, dan dilakukan dengan lafazh yang sharih (jelas), misalnya dengan ucapan
“saya rujuk kembali kepadamu” atau dengan kinayah (sindiran), seperti
ucapan“sekarang, engkau sudah seperti dulu”. Kedua ungkapan ini, bila diniatkan
untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk, maka tidak
sah.
Sedangkan
rujuk dengan perbuatan ulama berbeda pendapat:
a. Ulama
Hanafi berpendapat bahwa rujuk dapat terjadi dengan perbuatan watha’ dan juga dengan
perbuatan lain yang dapat mengarah kepada hubungan tersebut seperti
sentuh-sentuhan atau ciuman yang disertai syahwat.
b. Ulama
Malikiyah berpendapat sah rujuk yang dilakukan dengan perbuatan dengan syarat
harus dengan niat rujuk.[9]
c. Ulama
Syafi’iyah mengatakan apabila seorang suami maenggauli istrinya yang telah
ditalak, baik dengan niat rujuk ataupun tidak, maka hubungan mereka tersebut
dinilai syubhat, tidak ada ketentuan bagi mereka berdua dalam hal itu, dan
dikenakan sanksi bagi suami dan istri bila mereka mengetahui hal tersebut. Dan bagi suami wajib membayar
mahar mitsil kepada sang istri.
d. Ulama
Hambali mengatakan sah rujuk yang dilakukan dengan perbuatan watha’ meskipun
tidak diiringi dengan niat. Ulama Hambali menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan tersebut adalah hubungan badan suami istri, sedangkan perbuatan
selain watha’, seperti bersentuhan atau ciuman sama sekali tidak
mengakibatkan terjadinya rujuk meskipun perbuatan tersebut diiringi dengan
syahwat.
e. Ulama
Syi’ah (Imamiyah) menyatakan bahwa rujuk dapat terjadi dengan perbuatan
hubungan suami istri, sentuhan-sentuhan ataupun dengan berciuman atau perbuatan
lainnya yang halal dilakukan oleh suami kepada istrinya, baik perbuatan itu
diiringi dengan syahwat ataupun tidak dan dengan niat rujuk ataupun tidak.[10]
Dari uraian diatas para ulama
berbeda pendapat dari segi proses rujuk, akan tetapi mereka sepakat bahwa bekas
istri yang dirujuk itu harus berada dalam masa iddah talak raj’i tersebut
tidak bergantung kepada persetujuan istri.[11]
3. Syarat
Sah Rujuk
Syarat sah rujuk
ialah: 1) Rujuk
setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau
dari hakim. 2) Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli.
Apabila istri yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka
tidak ada rujuk. Demikian menurut kesepakatan ulama. 3)
Masih dalam waktu iddah. Kalau sudah diluar waktu iddah (selesai iddah)
masalahnya lain, harus diperhatikan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan dalam
talak. contoh kalau talak bain kubra, tidak bisa dinikahi oleh bekas suaminya
sebelum dinikahi oleh laki-laki lain dan berkumpul.[12]
4. Hal-Hal
yang Tidak Disyaratkan dalam Rujuk
Wahbah az-Zuhaily dalam
kitabnya al-fiqh al-Islam wa
adillatuh merincikan secara sistematis apa saja yang tidak disyaratkan
dalam proses pelaksanaan rujuk, yaitu :[13]
1. Persetujuan
istri
Para ulama sepakat bahwa tidak
disyaratkan persetujuan istri dalam proses rujuk, hal ini didasarkan kepada
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228:
4… £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 … ÇËËÑÈ
“dan suami suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (rujuk)”
Ayat
ini menjelaskan bahwa hak rujuk ada pada suami. Dan tidak diberikan pilihan kepada bagi sitri (untuk
menerima atau menolak). Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam firmannya:
فأمسكوهن بمعروف
“maka
tahanlah mereka dengan cara yang baik”
Karena rujuk itu adalah menahan si
istri dalam hubungan pernikahan, maka tidak perlu persetujuannya dalam rujuk
dan juga tidak diperlukan wali dalam rujuk.
2. Memberitahukan
keadaan rujuk kepada istri
Dianggap sah rujuk meskipun sang
istri tidak mengetahui bahwa ia telah di rujuk suaminya, karena tidak
disyaratkan untuk memberitahukan sang istri dan rujuk merupakan hak mutlak
suami tanpa membutuhkan persetujuan istri sebagaimana juga talak. akan tetapi
memberitahukan sang istri tentang keinginan rujuk adalah hal yang dianjurkan,
agar sang istri tidak dinikahi oleh orang lain setelah habis masa iddahnya, dan
juga agar tidak terjadi perselisihan pendapat antara suami-istri apabila telah
ditetapkan kepastian rujuknya sang suami.
3. Saksi
dalam rujuk
Saksi dalam rujuk bukanlah
merupakan syarat sahnya rujuk, ini menurut pendapat jumhur yang terdiri dari
Hanafiyah dam Malikiyah yang tergolong dalam mazhab yang masyhur, kemudian
diikuti oleh Syafi’iyah, Hanabillah dan Imamiyah. Akan tetapi mendatangkan
saksi di anjurkan (sunnah) untuk menghindari pengingkaran istri setelah habis
masa iddahnya, dan menghilangkan keraguan pelaksanaan rujuk.
Menurut mazhab Zhahiriyah: wajib
adanya saksi dalam rujuk, apabila tanpa saksi maka rujuk tersebut dinyatakan
tidak sah, hal ini didasari oleh firman Allah SWT dalam surat at-Thalaq ayat 2:
فإذا بلغن اجلهن
فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف و أشهدوا ذوي عدل منكم
Bentuk “amar” dalam ayat tersebut (menurut
Zhahiriyah) menunjukkan wajib, maka ia menjadi syarat dalam proses rujuk. Namun
menurut pendapat jumhur bentuk kata “amar” dalam ayat tersebut mengandung makna
sunnah, karena adanya qarinah dari ayat-ayat yang lain seperti: فأمسكوهن
بمعروف
dan و بعولتهن أحق بردهن kemudian ditambah lagi dengan salah satu hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yaitu:
أخبرنا يوسف ابن
عيسى مروزي قال حدثنا الفضل بن موسى قال حدثنا حنظلة عن سالم عن ابن عمر انه طلق
امرأته و هي حائض فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجعها
‘Telah
memberitakan kepada kami Yusuf ibn ‘iysa Marwazi telah menceritakan kepada kami al-Fadl ibn
Musa telah menceritakan kepada kami Hanzolah dari Salim dari ibn Umar, bahwasanya
ibnu Umar telah mentalak istrinya dan dia (istrinya) dalam keadaan haid, maka
Nabi SAW memerintahkan (Ibn Umar untuk merujuk istrinya) maka ia merujuknya.’[14]
Dalam hadis ini Nabi SAW tidak
memerintahkan untuk mengadakan saksi dalam pelaksanaan rujuknya tersebut,
kalaulah saksi merupakan syarat rujuk, maka pastilah Nabi memerintahkannya.
Dari qarain di atas maka jumhur
berpendapat bahwa bentuk kata “amr” yang terdapat dalam ayat ‘wa asyhiduw’ bukan
lah bermakna perintah wajib melainkan sunnah, dan inilah yang menjadi dalil bahwa
saksi dalam rujuk tidak menjadi syarat menurut para jumhur.
5. Pelaksanaan
Rujuk di Dunia Islam
Pada abad ke-20, pada umumnya
negeri-negeri muslim telah memberlakukan UU tentang Hukum Keluarga yang
semangat dasarnya adalah melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat wanita.
Hal ini terbukti dalam pengaturan-pengaturan dalam berbagai bidang. Seperti:
selisih umur kawin, pencatatan perkawinan, perceraian di depan pengadilan, dan
pembatasan atau pelarangan poligami. Pada umumnya isi pengaturan dalam
bidang-bidang tersebut berbeda dengan pendapat yang ada dalam kitab-kitab
fikih. Pengaturan tentang rujuk (berdasarkan kesedian istri) sedikit sekali
Negara-negara Islam yang melakukan reformasi. Rata-rata Negara-negara Islam di
dunia masih merujuk ke fikih klasik, bahwah proses pelaksanaan rujuk tidak
membutuhkan persetujuan bekas istri.
Seperti Negara Aljazair yang
mayoritas masyarakatnya menganut paham Malikiyah, tentang masalah rujuk (tidak
perlu persetujuan istri). Sedangkan hukum rujuk lainya dikodifikasi berdasarkan
mashlahah, diantaranya ‘jika suami ingin kembali pada istri selama
berlangsungnya usaha damai, tidak perlu membuat akad baru. Namun bila ia
kembali setelah perceraian, hubungan mereka mesti dikukuhkan dengan akad baru
(pasal 50)’.[15]
Diantara Negara-negara Islam yang
melakukan reformasi dan kodifikasi hukum
tentang diperlukan kesedian istri dalam rujuk adalah Brunei Darussalam dan Indonesia.
a. Brunei
Darussalam
Dalam undang-undang mereka
disebutkan adanya rujuk setelah dijatuhkan talak, yaitu apabila cerainya dengan
talak satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan
kerelaan kedua belah pihak dengan syarat tidak melanggar hukum muslim dan qadi
harus mendaftarkan untuk “tinggal bersama” itu (pasal 146 ayat 5).
Apabila perceraian yang bisa
dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri, maka ia tidak dapat
diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara itu (pasal
150 ayat 5).
Kemudian jika setelah menjatuhkan
talak yang masih bisa dirujuk kembali- pihak suami mengucapkan rujuk dan pihak
istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan oleh qadi untuk
tinggal bersama, tetapi perintah tersebut tidak bisa dibuat sekiranya istri
tidak memberi kerelaan (pasal 150 ayat 6).[16]
b. Indonesia
Pelaksanaan Rujuk Menurut KHI
Proses pelaksanaan rujuk yang
diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat dalam BUKU 1 tentang Hukum
Perkawinan pada bab XVIII. Di dalam bab tersebut di uraikan prosesnya dalam
bentuk pasal-pasal yaitu sebanyak tujuh pasal yang dimulai dari pasal 36 sampai
dengan pasal 169 yang terbagi kepada dua bagian, sebagai berikut:
BAGIAN KESATU (UMUM)
Pasal 163:
(1) Seorang suami dapat merujuk
istrinya yang dalam masa iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam
hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena
talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla
dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasarkan
putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.
Pasal 164 :
Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan
keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegewai Pencatat
Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165 :
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri,
dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166 :
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang
mengeluarkannya semula.
BAGIAN KEDUA (TATA CARA RUJUK)
Pasal 167:
(1) Suami
yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami
istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan
lain yang diperlukan.
(2) Rujuk
dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki
apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i,
apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4) Setelah
itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah
rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah menasehati susmi istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang
berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168 :
(1) Dalam
hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk
dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang melayaninya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat
dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman
lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima
belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila
lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang
sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169 :
(1) Pegawai
Pencatat Nikah Membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan
mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan Buku
Pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk tersebut dating ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya
talakdahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang
bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar
telah rujuk.
(3) Catatan
yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk
diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan
panitera.[17]
Dari rincian pasal di atas dapat dipahami
bahwa dalam pelaksanaan proses rujuk harus melalui tahapan-tahapan dan
ketentuan-ketentuan yang baru serta harus ditaati oleh kedua belah pihak.
Proses ini merupakan hasil ijtihad para ulama yang menginginkan pembaharuan dan
perbaikan serta kemashlahatan umat Islam di Indonesia.
Dalam pasal 164 dan 165 disyaratkan
adanya persetujuan istri dalam proses rujuk yang dilakukan oleh seorang suami
terhadap istri yang telah ditalaknya. Disebutkan secara tegas bahwa seorang
wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari
bekas suaminya di hadapan PPN disaksikan dua orang saksi, kemudian pada pasal
berikutnya (165); rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan PA.
Sedangkan dalam ketetapan para Imam
Mazhab rujuk itu tidak membutuhkan persetujuan dari istri, tanpa ada perbedaan
pendapat (dikalangan ulama), meskipun ketika dirujuk si istri sedang ghaib,
maka rujuk tersebut dinyatakan sah. Dan dalam rujuk itupun tidak dimintakan ‘iwadh
dan tidak pula mahar. Juga hal ini tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan
ulama).[18]
Ini senada dengan perkataan Imam Qurthuby dalam kitabnya bahwa lafaz ‘wa
bu’u latuhunna ahaqqu biroddihinna’ adalah ketentuan hukum yang berlaku
bagi selain talak tiga, dalam hal ini ulama sepakat bahwa bila seorang
laki-laki yang mentalak istrinya baik talak satu maupun dua, maka (laki-laki
tersebut) berhak merujuki bekas istrinya tersebut selagi masih dalam masa iddah
meskipun bekas istrinya tersebut enggan.[19]
Berbedanya ketetapan Imam Mazhab
dengan KHI tentang proses pelaksanaan rujuk perlu atau tidaknya izin istri
tidak terlepas dari dalil- dalil dan perkembangan hukum yang ditentukan oleh
peralihan zaman dan keadaan. Seperti KHI menetapkan adanya persetujuan istri
dikaitkan dengan bahwa harus adanya persetujuan janda dan wanita gadis ketika
ia hendak dinikahkan. Dalilnya dari hadis Nabi SAW:
عن
ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تنكح الأيم حتى
تستامر ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا يارسول الله وكيف اذنها قال ان تسكت (متفق
عليه)[20]
‘Dari
Abi Hurairah r.a di a berkata: telah bersabda Rasulullah SAW; janganlah kamu
menikahkan janda sebelum kamu memintakan persetujuannya, dan janganlah kamu
menikahkan gadis perawan sebelum meminta izinnya, mereka (para sahabat)
bertanya: ya Rasulullah; bagaimana bentuk izinya? Berkata Rasululah: yaitu
diamnya.
Inilah yang menjadi dasar timbulnya
ketetepan bahwa harus adanya persetujuan istri dalam proses rujuk, ketika harus
adanya persetujuan secara langsung bagi al-Ayyim (janda) dan izin bagi al-bikr
ketika ia hendak dinikahkan. Selanjutnya yang menjadi dasar KHI dalam
menetapkan hal ini adalah konsep maslahah, yaitu memelihara keselamatan sang
istri, yang dikhawatirkan akan terjadi objek kesewenangan dari suaminya. Dasar
konsep maslahah ini adalah kaedah ushul sebagai berikut:
درء المفاسد أولى من جلب
المصالح
‘menolak kerusakan
lebih utama dari pada mengambil maslahah’
Sedangkan menurut para Imam Mazhab
yang menjadi dasar penetapan hal ini adalah surat al-Baqarah ayat 228:
£`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs (أي في العدة)
÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) (اي رجعة)[21]
‘dan suami-suaminya berhak merujukinya, dalam masa
menanti itu (masa iddah), jika mereka para suami menghendaki islah (rujuk).
Menurut para Ulama Mazhab ayat
diatas bermakna jelas bahwa rujuk itu adalah hak suami kepada istri yang
ditalaknya, selagi rujuk itu dilakukan terhadap talak yang bersifat raj’i dan
masih dalam masa iddah. Seperti ungkapan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-um:
‘siapapun
yang ingin melakukan rujuk, maka hal itu adalah haknya (suami), hal ini
dikarenakan Allah telah menjadikan rujuk itu sebagai haknya (suami). Syafi’i
menambahka; bahwa siapa saja dari para suami medeka yang telah mentalak
istrinya setelah ia berhubungan dengannya, baik talak satu ataupun dua, maka ia
suami tersebut berhak untuk merujuk istrinya, selagi belum habis masa iddahnya,
hal ini didasarkan kepada dalil kitabullah (al-Qur’an).[22]
Penulis memandang kententuan hukum
yang ditetapkan oleh ulama mazhab bahwa bagi seorang suami memiliki hak atas
kehendak rujuk yang diajukan kepada istri yang telah ditalak (raj’i) olehnya
selagi masih dalam masa iddah. Karena dalil yang dipakai oleh ulama mazhab
adalah qoth’i. sedangkan ketetapan yang ada pada KHI tentang adanya
persetujuan istri dalam menentukan diterima atau tidaknya kehendak seorang
suami yang ingin merujuk kembali istrinya yang dalam talak raj’i serta masih
dalam masa iddah, adalah suatu upaya pengembangan hukum Islam di Indonesia yang
dilakukan oleh para ulama (mujtahid) yang berada di Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh para
ulama Indonesia ini bukanlah merupakan penolakan terhadap ketetapan hukum
Islam yang telah dilakukan oleh para
ulama mazhab, akan tetapi merupakan upaya dinamisasi dan fleksibilitas serta
pengembangan hukum Islam khususnya di Indonesia.
Menurut penulis apa yang dilakukan
oleh KHI khususnya pasal 164 dan 165 ini merupakan pilihan yang benar, mengigat
kondisi masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam sudah mengalami
proses peralihan waktu dan tempat yang sudah tidak memungkinkan untuk
diberlakukannya ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama mazhab. Ini
sesuai dengan kaedah ushul;
تغير الأحكام بتغير
الأزمنة و الأمكنة[23]
‘Perobahan suatu hokum seiring dengan perubahan
waktu dan tempat’
تغير الفتوى بتغير
الأزمنة و الأمكنة[24]
‘Perubahan suatu fatwa seiring dengan perubahan
waktu dan tempat’
- Kesimpulan
Secara jelas dapat dilihat adanya
beberapa penilaian yang berbeda dikalangan ulama tentang pengertian rujuk, yang
berimbas kepada berbedanya mereka dalam merumuskan proses dan juga
syarat-syarat dalam pelaksanaan rujuk. Hal yang sangat nyata perbedaannya
adalah tentang terjadinya rujuk dengan perbuatan, baik dengan watha’ langsung
ataupun dengan sentuhan-sentuhan yang mengarah kepada hubungan badan tanpa
diawali dengan ucapan akan tetapi mereka sepakat bahwa rujuk tidak perlu
persetujuan dari bekas istri yang dirujuk. Dan bekas istri yang dirujuk itu harus berada dalam masa iddah talak
raj’i.
Berbedanya ketetapan Imam Mazhab
dengan KHI tentang proses pelaksanaan rujuk perlu atau tidaknya izin istri
tidak terlepas dari dalil- dalil dan perkembangan hukum yang ditentukan oleh
peralihan zaman dan keadaan.
Beralihnya suatu hukum asal yang
disebabkan oleh peralihan waktu atau tempat, bukan berarti hukum tersebut
hilang atau tidak benar. Akan tetapi masyarakat hukum diwaktu itu dan tempat
itulah yang sudah bergeser dari keadaan ideal. Jadi bukan hukumnya yang tidak
benar atau salah akan tetapi masyarakat hukumnya yang sudah tidak pada posisi
atau keadaan yang ideal sehingga hukum tersebut terpaksa tidak dapat diterapkan
dan memaksa untuk ditetapkannya suatu ketetapan baru yang dikondisikan dengan
peralihan waktu dan tempat tersebut. Dan pemberlakuan hukum baru tersebut hanya
pada waktu dan tempat itu saja dan tidak berlaku umum untuk seluruh ummat Islam
dimanapun mereka berada.
Jadi apa yang dilakukan oleh KHI khususnya pasal 164
dan 165 ini merupakan pilihan yang benar, mengigat kondisi masyarakat
Indonesia.
[1] Muhammad rawas Qo’ahuji, Hamid Shadiq Qaniby, Mu’jam Lughah
Fuqaha’, (tt: Dar al-Nafais, 1988), h. 220
[2] Ibnu ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1994), Juz V, h. 23
[3] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’a, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah 1999), Juz IV, h. 378
[4] Muhammad Syarbaini al-Khatib, al-Iqna’, ( Damsyiq: Dar
al-Fikri, t.th), h. 448
[5] Al-Syaibani, al-Mu’tamad fi Fiqh Imam Ahmad, (Damaskus: Dar
al-Khair, 1991), h. 275
[6] Muhammad Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, (Cet. IV; tt:
PT. Lentera Basritama, 1999), h. 483
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara
Fiqh Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2007), h.
286
[8] Ibid.
[9] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazmin al-andalusy, al-Muhalla
bil Astar, (tt: Dar Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 18
[10] Muhammad Jawad Mugniyah, Loc. Cit
[11] Abi Ja’far Muhammad bin Hasan al-Thusi, al-Mabshuth fi Fiqh
al-Imamiyah, (tt: al-Maktabah al-Murthdawiyah,t.th), h. 111
[12] Abdul Fatah Idris, fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004), h. 268
[13] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damsyiq:
Dar al-Fikr, 1984), Juz VII, h. 468
[14] Abdurrahman Ahmad bin Sya’ib bin Ali al-Khisany al-Annasa’i, Sunan
an-Nasa’I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), hadis ke 3558, h. 153
[15] M. Atho’ Muzdhar, khoiruddin Nasution, Hukum keluarga di Dunia
Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 129
[16] Ibid., h. 193-194
[17] Departemen Agama Ri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 74-77
[18] Abi Ja’far Muhammad, Loc. Cit.
[19] Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-anshori al-Qurthuby, al-Jami’
li al-Ahkam al-Qur’an, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,Tt), Juz
II, h. 120
[20] http://www.dorar.net/enc/feqhia/1097,
diakses tanggal 27 September 2013
[21] Wahbah az-Zuhaily, Op. Cit., h.461
[22] Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’I, al-Um, (Dar
al-Fikr,), h. 260
[23] Mustafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhol al-Fiqh al-‘Am, (Beirut:
Dar al-Fikri, 1968), Juz II, h. 964
[24] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, ( Beirut: Dar
al-Qutub al-‘Ilmiyah, 1996), h. 36
in imembantu tulisan saya..makasih..
BalasHapusbagaimana jika perceraiannya diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, kemudian si isteri di rujuknamun tidak mau kembali karena ada efek jera bagaimana hukumnya
BalasHapusterima kasih di atas perkongsian ilmu
BalasHapus-En Am-
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....