A.
Pendahuluan
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab
tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan
merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami
isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersamasuami isteri
tersebut.Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap utuh
sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pulaperkawinan yang dibina
dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu
perkawinan yang dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah
diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik, tetapi pada
akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan
perkawinan.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas
hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di
luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara
mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu
rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam
memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan
perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci perceraian tersebut.
Di dalam makalah ini akan dijelaskan hal-hal yang
berkenaan dengan perceraian tersebut baik itu dari sudut pandang hukum Islam
(fiqih), maupun dari sisi peraturan perundang-undangan positif yang telah berlaku
sehubungan dengan persoalan ini. Hal-hal yang penulis maksud adalah berkaitan
dengan perceraian sebagai bentuk putusnya perkawinan, pengembangan dari makna
putusnya perkawinan tersebut, serta kewenangan lembaga peradilan terhadap
putusnya perkawinan itu.
Namun perlu penulis jelaskan bahwa di dalam memaparkan
sebab-sebab putusnya perkawinan dilihat dari aspek hukum Islam (Fiqih
Munakahat), penulis tidak menjelaskan hal tersebut secara rinci dan mendasar
sebagaimana yang terdapat pada kajian Fiqih Munakahat, hal ini disebabkan
karena pemaparan tentang sebab-sebab putusnya perkawinan menurut Hukum Islam
tersebut adalah bertujuan untuk memberikan perbandingan terhadap sebab-sebab
putusnya perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
hukum positif yang telah berlaku, sehingga dengan demikian penulis hanya
menjelaskannya secara umum saja.
B. Pengembangan Makna Putusnya
Perkawinan
1. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum
Islam
Menurut hukum Islam,
perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain karena adanya thalaq
dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus dengan sendirinya
(karena kematian). Di dalam makalah ini, putusnya perkawinan karena kematian
tidak akan penulis uraikan lebih lanjut karena putusnya perkawinan disebabkan
kematian dapat dimaklumi karena merupakan kehendak Allah SWT.
Adapun yang menyebabkan
putusnya perkawinan sebagaimana yang penulis sebutkan di atas adalah sebagai
berikut:
a.
Putusnya
Perkawinan Karena Thalaq.
Kata Thalaq diambil
dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan[1]
atau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam
syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan.
Meskipun Islam memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat
baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.[2]
Menurut Muhammad Ismail
al-Kahlani, Thalaq adalah:
الطلاق :
حل الو ثاقمشتق من الاطلاق وهو الارسالوالترك
“Thalaq menurut bahasa
yaitu membuka ikatan, yang diambil dari kata ithlaq yaitu melepaskan,
menanggalkan”[3]
Sedangkan menurut Wahbah
Zuhaily, Thalaq ialah :
الطلاق
لغة حل القيد والاطلاق
“Thalaq menurut bahasa
ialah membuka ikatan atau melepaskan”.[4]
Sementara itu Sayyid Sabiq
menjelaskan bahwa thalaq itu dapat dipahami sebagai berikut :
“Thalaq menurut istilah
syarak ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”[5]
Maksudnya ialah bahwa
ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya hubungan suami isteri dalam
rumah tangga apabila suami menjatuhkan thalaq kepada isterinya.
Memperhatikan beberapa
pengertian Thalaq di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat
diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan thalaq adalah melepaskan
atau mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau
dengan tata cara yang ditetapkan.
Setelah ikatan perkawinan
itu diangkat atau dilepaskan maka isteri tidak halal lagi bagi suaminya. Hal
ini terjadi bila suami melaksanakan thalaq ba’in. Tapi apabila suami
melaksanakan thalaq raj’i maka hak thalaq berkurang bagi suami,
yang pada awalnya suami memiliki hak menjatuhkan thalaq tiga kali, maka
sekarang menjadi dua dan menjadi satu. Dengan kata lain thalaqraj’i
adalah mengurangi pelepasan ikatan perkawinan.
Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan
suami.Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh menjatuhkan thalaq
kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah
kecuali al-Nasa'isebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثلاث جدهن جد
وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة (رواه الأربعة إلا النسائي وصححه الحاكم)
"Dari
Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara
sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main
menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk "
(diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh
Hakim).[6]
Hal-hal yang
menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam menjatuhkan thalaq kepada
isterinya adalah karena suami diberi beban membayar mahar dan menyelenggarakan
nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian
pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas isterinya selama ia menjalani masa 'iddah.
Disamping itu suami pada umumnya tidak mudah terpengaruh oleh emosi terhadap
masalah yang dihadapinya dan senantiasa mempertimbangkan segala persoalan
melalui pikirannya.Berbeda dengan wanita yang sangat mudah dipengaruhi emosi
dalam menghadapi berbagai kemelut, termasuk kemelut Rumah Tangga. Oleh karena
itu jika hak thalaq diberikan kepada isteri maka keutuhan rumah tangga
akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil saja dapat menyebabkan
isteri menjatuhkan thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan emosi mereka.[7]
b.
Putunya perkawinan
karena Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-tsaub” yang
berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita
adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya.[8]
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
Sama dengan hak yang
diberikan bagi suami untuk menceraikan isterinya, maka si isteri juga dapat
menuntut cerai jika ada cukup alasan baginya. Jika suami berlaku kejam, maka
isteri dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan
yang sekiranya tidak patut baginya.
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam
yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri
membayar uang ‘iwadhatau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan
pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai dengan cara khulu’
maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Dari tinjauan
sighat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh
pihak isteri. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang
disyaratkan suami.[9]
Perceraian yang disebabkan
khulu’ adalah merupakan thalaq ba’in. Maka bila suami telah
melakukan khulu’terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju’
kembali kepada isteri sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh yang
telah dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut ruju’
kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi
rukun dan syaratnya.
c.
Putusnya perkawinan
karena Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan.
Adapun pengertian fasakhmenurut istilah adalah memutuskan akan nikah
karena ada sebab yang nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan
suami isteri.[10]Thalaq adalah hak
suami, khulu’ merupakan hak isteri, sementara fasakh merupakan
hak bagi keduanya. Bila sebab fasakhada pada isteri, maka hak fasakh ada
pada suami, dan begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh
termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah yang memberikan
keputusan tentang berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena
itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat
bukti yng lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau isteri
merasa dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai
yang ditentukan agama sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah
seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan karena
keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan
perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh
adalah hak bagi suami dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh
ini lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih banyak
menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
d.
Putusnya
perkawinan karena Li’an
Li’an secara etimologi
berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminologi adalah sumpah yang
diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah
dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan
pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima
laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan li’an
kepada isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteri boleh
melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya.
Sehingga dengan demikian
dipahami bahwa suami isteri saling menyatakan bersedia dilaknati oleh Allah
setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri
sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak
bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak mengakui
anak yang dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri, dan
pihak isteri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki
alat bukti yang diajukan kepada hakim.
e.
Putusnya
perkawinan karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah
perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila ini terjadi maka
diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah
fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai upaya
mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini
berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa : 35
÷bÎ)uróOçFøÿÅzs-$s)Ï©$uKÍkÈ]÷t/(#qèWyèö/$$sù$VJs3ymô`ÏiB¾Ï&Î#÷dr&$VJs3ymurô`ÏiB!$ygÎ=÷dr&bÎ)!#yÌã$[s»n=ô¹Î)È,Ïjùuqãª!$#!$yJåks]øt/3¨bÎ)©!$#tb%x.$¸JÎ=tã#ZÎ7yz
“Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. An-Nisa : 35)
Berdasarkan ayat tersebut
dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan rumah tangga suami isteri terancam karena
pertengkaran yang tak mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru damai dari
kedua belah pihak. Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka
persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk memberi putusan setelah
pihak-pihak pendamai tidak berhasil mendamaikannya.
f.
Putusnya
perkawinan karena Ila’
Ila’ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan
bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum
perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya,
waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak di-thalaq ataupun
diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang
menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak
berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan
bahwa:
1)
Suami yang meng-ila’ isterinya batasnya paling
lama hanya empat bulan.
2)
Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali
hidup sebagai suami-isteri atau menthalaqnya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya,
hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’
sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum
ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat
kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
1)
Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang
wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
2)
Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3)
Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup
juga maka
4)
Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
g.
Putusnya perkawinan
karena Zihar
Salah satu perceraian
antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk menetapkan putusnya yakni
bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu disamakan dengan
ibunya sendiri. Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian di zaman
jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi dan juga tidak
menginginkan isterinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya isterinya
telah diceraikannya. Dengan datangnya aturan Islam zhihar itu tidak lagi
dibenarkan, karena menzhihar isteri dengan menyamakannya dengan ibu berarti
mengucapkan perkataan dusta dan mungkar. Suami yang terlanjur menzhihar
isterinya agar menarik kembali zhihar-nya dengan diwajibkan membayar kafarat(denda)
dengan memerdekakan seorang budak sebelum melakukan hubungan suami isteri. Jika
suami tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa dua bulan
berturut-turut, dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia memberi makan 60
orang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
Q.S Al-Mujadalah ayat : 3 dan 4 :
Q.S Al-Mujadalah ayat : 3 dan 4 :
3. Orang-orang yang menzhihar
isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.
Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(Q.S. Al-Mujadalah : 3-4)
Sekiranya suami tidak
ingin kembali lagi kepada isterinya, agar isterinya tidak terkatung-katung maka
suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk menentukan apakah ia akan kembali
kepada isterinya dengan membayar kafarat ataukah akan menceraikan isterinya,
maka dalam hal ini isteri berhak mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan.
Dengan demikian hakim dapat mengabulkan gugatan isteri bila terbukti kebenarannya.
2. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berlakunya Undang-Undang
Perkawinan secara efektif yaitu
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum positif untuk perkawinan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, “bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian pula bagi orang Kristen, Hindu, maupun Budha”.[11]
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum positif untuk perkawinan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, “bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian pula bagi orang Kristen, Hindu, maupun Budha”.[11]
Khusus tentang putusnya
perkawinan, Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat
putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan Pengadilan.
Sementara pada pasal 39 disebutkan bahwa : “1. Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan setelan Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan. Bahwa di antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup
rukun sebagai suami isteri. 3. Tatacara Perceraian di depan Sidang Pengadilan
diatur dalam perundang-undangan tersndiri”.
Selanjutnya untuk
membedakan perceraian yang tercantum pada huruf b pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974
dengan perceraian atas putusan Pengadilan sebagaimana yang terdapat pada poin
c, dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yakni sebagai berikut
:
“Peraturan Pemerintah ini menggunakan
istilah “cerai Thalaq” untuk membedakan pengertian percerain yang
dimaksudkan oleh pasal 38 huruf b dengan
pengertian perceraian atas keputusan Pengadilan yang dimaksud pasal tersebut
huruf c. Untuk yang terakhir ini digunakan istilah “cerai gugatan”,[12]dengan
penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat dimaklumi bahwa perceraian yang
disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Perkawinan adalah “cerai thalaq”, yakni
perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap isterinya. Untuk
mendapatkan bukti otentik perceraian thalaq tersebut perlu diajukan ke
Pengadilan sekaligus untuk mengetahui alasan-alasan yang memungkinkan untuk
itu. Sedangkan perceraian atas keputusan Pengadilan sebagaimana huruf c pasal
38 tersebut maksudnya adalah cerai gugatan, yakni pengadilan menjatuhkan keputusan
cerai terhadap suami isteri yang telah melaksanakan perkawinannya atas atau
berdasarkan gugatan salah satu pihak (suami-isteri).[13]
Selanjutnya dari segi
pelaksanaannya untuk masing-masing cerai tersebut sesuai dengan ketentuan UU
No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
a.
Cerai Thalaq
Ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam, yang sampai sekarang masih belum dapat diterima oleh sebahagian
umat Islam di Indonesia, adalah ketentuan yang terdapat pada pasal 115, yaitu: "Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang menjadi rujukan mayoritas
umat Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu.Bahkan thalaq
dengan sindiran saja di luar Pengadilan Agama juga dianggap telah jatuh.
Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan juga diatur
mengenai tata cara menjatuhkan thalaq. Jika dilihat dari
ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baik mengenai hukum formil maupun
materil, antara lain undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, maka tata cara menjatuhkan thalaq tersebut adalah sebagai berikut:
Suami yang akan menceraikan
isterinya mengajukan permohonan ke Pengadilan
Agama dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan
alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Hal ini dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
pasal 14, undang-undang N0.7 Tahun 1989 pasal 66 dan pasal 129 Kompilasi Hukum
Islam. Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat itu dan
dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil suami isteri tersebut
untuk diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak suami disebut
pemohon dan pihak isteri disebut termohon. Ketentuan terdapat dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 15, undang-undang nomor 7 tahun 1989 pasal 68
dan pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian pihak tersebut
disebut pemohon dan termohon, substansinya sama dengan perkara Contentius
dan bukan perkara Volunter, sehingga pihak isteri (termohon) tetap
dianggap lawan perkara bagi pihak suami (pemohon).[14]
Dalam setiap kesempatan sebelum terjadinya thalaq, pengadilan harus
selalu berusah untuk mendamaikan suami isteri dan berusaha agar maksud
mengadakan perceraian tidak jadi terlaksana. Dalam usaha mendamaikan tersebut pengadilan dapat meminta bantuan kepada
orang yang di pandang perlu ada suatu badan penasehat, seperti BP4 (Badan
Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain untuk
memberi nasehat kepada suami isteri tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 82
ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989.Apabila pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi
didamaikan dan telah cukup alasan seperti tersebut di atas maka pengadilan menjatuhkan putusan yang isinya mengabulkan permohonan pemohon.Yaitu
memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan thalaq terhadap pemohon
(di muka sidang) dan terhadap putusan ini pihak isteri boleh mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari.
Apabila setelah tenggang waktu 14 hari itu termohon tersebut tidak
mengajukan banding maka putusan tersebut dinyatakan inkracht (mempunyai
kekuatan hukum tetap).Setelah itu pengadilan menentukan hari sidang guna
menyaksikan ikrar thalaq dengan memanggil para pihak (suami isteri atau
wakilnya untuk hadir dimuka persidangan).Pada saat sidang inilah suami atau
wakilnya diperbolehkan untuk mengikrarkan thalaq terhadap isterinya.
Sesaat setelah ikrar thalaq diucapkan atau dibacakan, pengadilan
menjatuhkan penetapannya yang isinya bahwa perkawinan putus karena perceraian (thalaq)
dan terhadap penetapan ini isteri tidak berhak lagi mengajukan banding atau
kasasi (pasal 70 jo pasal 71 Undang-undang nomor 7 tahun 1989). Jika isteri
telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak datang menghadap
sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat
mengucapkan ikrar thalaq tanpa hadirnya isteri atau wakilnya (Pasal 70
ayat 5 undang-undang nomor 7 tahun 1989).
Apabila suami tidak mengucapkan ikrar thalaq dalam tempo 6 Bulan terhitung
sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar baginya mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka gugur kekuatan penetapan untuk mengikrarkan thalaqnya dan
ikatan perkawinan tetap utuh, suami tidak dapat mengajukan perceraian lagi
dengan alasan yang sama (pasal 70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 131 ayat
4 KHI). Namun jika hal ini terlaksana,
maka pengadilan membuat surat keterangan tentang adanya thalaq tersebut.
Surat keterangan itu dibuat rangkap lima. Helai pertama disimpan di pengadilan,
helai kedua dan ketiga masing-masing dikirim kepada PPN setempat dan PPN tempat
pernikahan dahulu untuk diadakan pencatatan perceraian.Sedang helai keempat dan
kelima diberikan kepada suami isteri (pasal 70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989).
b.
Cerai Gugatan
Yang dimaksud dengan “cerai
gugatan”atau “cerai gugat” adalah perceraian dengan keputusan pengadilan yang
disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak kepada
pengadilan. Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :
“Gugatan perceraian dapat
dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam dan oleh seorang suami dan oleh seorang isteri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam”[15]
Secara terperinci tatacara gugatanperceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun
1975 pasal 20 sapai dengan pasal 36.
Berkenaan dengan
perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya dapat terjadi
berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Dalam kaitannya
dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya
perkawinan” dan istilah “percraian”. Perceraian adalah salah satu sebab dari
bubarnya perkawinan.[16]
Peratursn Pemerintah RI
No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
pada pasal 19 disebutkan bahwa alsan yang dapat dipergunakan sebagai alasan
percraian adalah :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI pada pasal 116 juga
mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian adalah
disebabkan karena :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar ta’lik thalaq.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Berdasarkan alasan-alasan
perceraian sebagaimana yang telah disebutkan pada PP No. 9 Tahun 1975, dan juga
KHI di atas, maka dapat diamati bahwa terdapat perbedaan alasan-alasan
perceraian yang diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI. Perbedaan yang terjadi
adalah berupa penambahan alasan perceraian yang diatur oleh KHI, yaitu disebabkan
suami melanggat ta’lik thalaq, dan terjadinya peralihan agama/murtad.
C. Kewenangan Lembaga Peradilan dalam
Putusnya Perkawinan
Kekuasan Kehakiman (Judicial
Power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) dilakukan dan dilaksanakan
oleh empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.[17]Keempat
lingkungan peradilan yang berada dibawah MA ini merupakan penyelenggara
kekuasaan di bidang yudikatif. Oleh karena itu secara konstitusional bertindak
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (state court).[18]
Masing-masing lingkungan
peradilan terebut memiliki wewenang mengadili perkara dan meliputi badan-badan
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha negaramerupakan peradilan khusus, yang
berwenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat
tertentu. Sedangkan Peradilan Umum merupakan peradilan yang berwenang mengadili
perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana bagi rakyat pada umumnya.[19]
Kewenangan masing-masing
lingkungan peradilan di antaranya : Paradilan
Umum, sebagaimana yang digariskan pasal 50 dan pasal 51 UU
No. 2 Tahun 1986 jo. UU. No. 8 Tahun 2004 jo. UU. No. 49 Tahun 2009 tentang
Peradilan Umum hanya berwenang mengadili perkara pidana dan perdata (perdata
umum dan khusus). Sehingga Peradilan Negeri sebagai bagian dari Peradilan Umum
sebagaimana yang telah disebutkan pada pasal 50 dan 51 UU No. 2 Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum memiliki kewenangan di antaranya yaitu di bidang perdata
umum. Kewenangan yang dimilikinya itu berlaku bagi rakyat pada umumnya. Salah
satu di antara sengketa perdata umum yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri
adalah sengketa di bidang perceraian bagi rakyat yang bukan beragama Islam. Terjadinya
sengketa perceraian di kalangan rakyat yang bukan beragama Islam menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri dalam memeriksanya.
Sementara Peradilan Agama, sebagai salah satu lembaga Peradilan Khusus
merupakan lembaga yang memiliki tugas dan fungsi dalam menyelesaikan sengketa
yang muncul di kalangan orang-orang yang beragama Islam. Dalam pasal 49 UU No.
7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Agama dijelaskan bahwa Peradilan Agama memiliki wewenang terhadap persoalan
yang menyangkut dengan perkawinan, kewarisan, wakaf, shadaqah, wasiat, hibah,
dan sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah.
Kekuasaan Pengadilan itu
diatur dalam Bab III pasal 49 sampai dengan pasal 53 UU No. 7 Tahun 1989, dan
di dalam ketentuan pasal 49 dinyatakan :
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam;, c. Wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah
hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan
yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Salah satu cakupan
kekuasaan absolut Pengadilan Agama adalah bidang perkawinan. Kekuasaan badan
peradilan di bidang tersebut semakin bertambah, terutama sejak berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974. Menurut penjelasan pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989,
yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, antara lain adalah :
(1)
Izin beristeri lebih dari satu orang;
(2)
Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum
berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan pendapat;
(3)
Dispensasi kawin;
(4)
Pencegahan perkawinan;
(5)
Penolakan perkawinan oleh PPN;
(6)
Pembatalan perkawinan;
(7)
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
(8)
Perceraian karena thalaq;
(9)
Gugatan perceraian;
(10) Penyelesaian harta bersama;
(11) Mengenai penguasaan anak;
(12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
(13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
(14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
(15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
(16) Pencabutan kekuasaan wali;
(17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
(18) Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh
orang tuanya;
(19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian
atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
(20) Penetapan asal usul seorang anak;
(21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
(22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain;
Dari 22 perkara tersebut,
terdapat enam perkara yang relatif cukup besar diterima dan diselesaikan oleh
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama, dua perkara perkawinan dan empat
perkara perceraian. Perkara perceraian tersebut meliputi penetapan izin ikrar
thalaq, ta’lik thalaq, fasakh, dan perceraian.
D. Perceraian di Beberapa Negara
Muslim
1.
Perceraian di
Negara Turki
Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis
tahun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk
menuntut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami. Seorang
isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya
mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi
isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata
Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan
dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah
ditentukan sebagai berikut :[20]
a. Salah satu pihak berbuat zina.
b. Salah satu pihak melakukan percobaan
pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya.
c. Salah satu pihak melakukan kejahatan
atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam
kehidupan rumah tangga.
d. Salah satu pihak meninggalkan tempat
kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan
yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.
e. Salah satu pihak menderita penyakit
jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah
tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokter).
f. Terjadi ketegangan antara suami
isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan.
Pengadilan Turki dapat memberikan dekrit perceraian kepada pasangan suami
istri, apabila mereka mintakan. Ada enam 6 syarat yang dapat membolehkan suami
istri menuntut pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, yaitu :[21]
a. Salah satu pihak telah memutuskan
b. Salah satu pihak telah menyebabkan
luka bagi yang lain
c. Salah satu pihak telah melakukan
tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa di tolerir untuk
dilanjutkan
d. Salah satu pihak telah pindah rumah
dengan cara tidak etis tanpa sebab yang jelas selama 3 bulan
e. Salah satu pihak menderita penyakit
mental yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode 3 bulan
f. Hubungan suami istri sedemikian
tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bias ditolelir.
2.
Perceraian di
Negara Iran
Hukum perlindungan
keluarga tahun 1967 telah melakukan reformasi hukum yang bersifat administratif
dan substantif sekaligus, yaitu dengan menghapus wewenang suami mengikrarkan
talak secara sepihak. Menurut pasal 8 UU tersebut, setiap perceraian, apapun
bentuknya, harus didahului dengan permohonan pada pengadilan agar mengeluarkan
sertifikat “tidak dapat rukun kembali”. Pengadilan baru mengeluarkan serifikat
tersebut setelah berupaya maksimal tetapi tidak berhasil mendamaikan.
Pengadilan dapat
mengeluarkan sertifikat “tidak dapat rukun kembali” atau keputusan fasakh pada
kasus karena lasan-alasan sebagai berikut:[22]
a. Salah satu pasangan menderita sakit gila yang permanen atau
berulang-ulang.
b. Suami menderita impotensi, atau dikebiri, atau alat fitalnya diamputasi.
c. Isteri tidak dapat melahirkan, menderita cacat seksual, lepra, atau kedua
matanya buta.
d. Suami atau isteri dipenjara selama lima tahun.
e. Suami dan isteri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lainyang
diduga akan terus berlangsung dalam kehidupan rumah tangga.
f. Seorang pria, tanpa persetujuan isteri pertama, kawin dengan wanita lain.
g. Salah satu pihak mengkhianati pihak lain.
h. Kesepakatan suami isteri untuk bercerai.
i. Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan pada
pihak isteri untuk menceraikan diri dalam kondisi tertentu
j. Suami atau isteri dihukum, berdasarkan keputusan hukum yang tetap, karena
melakukan perbuatan yang dapat dipandang mencoreng kehormatan keluarga.
3.
Perceraian di
Negara Mesir[23]
Pada umumnya muslim Mesir menganut madzhab
Syafii dan Hanafi. Maka tidak mengherankan apabila ketentuan-ketentuan yang
digunakan dalam hukum keluarga di Mesir banyak mengambil dari kedua madzhab
ini, khususnya sebelum terjadi pembaruan. Dibandingkan
Indonesia, Mesir lebih awal melakukan pembaruan Perundang-Undangan Perkawinan.
Mesir juga lebih sering dalam melakukan pembaruan ini. Namun demikian bukan
berarti perundang-undangan Mesir lebih lengkap dan lebih menjamin keadilan
semua pihak. Dalam Undang-undang No. 25
tahun 1929 alasan untuk menuntut talak diperluas. Dalam Undang-undang ini
ditetapkan dua hal yang dapat dijadikan Pengadilan untuk menetapkan talak yaitu:
a. Apabila suami
tidak mampu untuk memberikan nafkah;
b. Apabila suami
mempunyai penyakit menular atau membahayakan;
c. Apabila ada
perlakuan yang semena-mena dari suami;
d. Apabila suami
pergi meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama.
Mesir lebih awal melakukan reformasi di bidang
hukum keluarga, khususnya mengenai cerai dan talak. Sama dengan Indonesia,
tujuan pembaruan hukum keluarga di Mesir juga untuk meningkatkan status wanita.
Dengan adanya pembaruan perundang-undangan cerai dan talak ini maka suami tidak
dapat menjatuhkan talak secara semena-mena terhadap istri. Karena suami harus
dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang alasan permohonan talaknya.
Selain itu talak harus melalui proses sertifikasi. Berkaitan dengan gugat
cerai, istri juga diberi hak yang lebih luas, yaitu dapat mengajukan gugatan
khulu. Begitu juga apabila suami pergi meninggalkan istri tanpa alasan yang
jelas, suami mengidap penyakit atau tidak mampu memberikan nafkah maka ia dapat
mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. UU Mesir No. 25 tahu 1920 mengenal dua
reformasi dalam talak atau cerai, yaitu: Hak
pengadilan untuk menjatuhkan talak dengan alasan gagal memberikan nafkah, dan
Talak jatuh karena alasan adanya penyakit yang
membahayakan.Sementara UU No. 25 tahun 1929 mempunyai reformasi hukum lain,
bahwa pengadilan berhak menjatuhkan talak karena: perlakuan yang tidak baik
dari suami dan pergi dalam waktu yang lama. Jadi UU tahu 1920 memberdayakan
pengadilan dan memperluas difinisi penyakit membahayakan dalam perceraian.
4.
Perceraian di
Negara Malaysia[24]
Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara
Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam
undang-undang perak dan pahang, ada lima alasan, yaitu:
a. Suami impoten atau mati pucuk.
b. Suami gila, mengidap penyakit kusta,
atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa berjangkit, selama
isteri tidak rela dengan kondisi tersebut
c. Izin atau persetujuan perkawinan
dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik karena paksaan
kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan
syariat.
d. Pada waktu perkawinan suami sakit
syaraf yang tidak pantas kawin.
e. atau alasan-alasan lain yang sah
untuk fasakh menurut syariah.
Adapun sebab-sebab terjadinya perceraian dalam Undang-undang Muslim
Malaysia mayoritas menetapkan empat sebab dengan proses masing-masing, yakni:
a. perceraian dengan talak atau
perintah mentalak;
b. tebus talak.
c. Syiqaq.
d. Hanya Undang-undang serawak yang
mencantumkan sebab lian.
Proses atau langkah-langkah perceraian dengan talak, secra umum adalah
sebagai berikut: pertama, mengajukan permohonan perceraian ke
pengadilan, yang disertai dengan alasan. Kedua, pemeriksaan yang
meliputi pemanggilan oleh pihak-pihak oleh pengadilan dan mengusahakan
pengadilan. Ketiga, putusan.
Proses perceraian dengan taklik talak adalah isteri melapor tentang
terjadinya pelanggaran taklik talak. Kalau pihak pengadilan mempertimbangkan
benar terjadi, maka diadakan sidang perceraian yang kemudian direkam untuk
dicatatkan. Sedangkan proses perceraian karena ada masalah di anatara para
pihak (syiqaq), pada dasarnya mempunyai proses yang sama dengan proses
perceraian talak yang tidak disetujui salah satu pihak dan proses tebus talak,
yakni didahului dengan pengangkatan juru damai sampai putusan cerai, kalau
tidak bisa didamaikan. Bahkan Kelantan membuat proses yang sama antara talak
dan syiqaq. Karena itu secara prinsip, dalam proses perceraian dengan
talak, taklik talak, dan percekcokkan, antara suami isteri mempunyai hak yang
sama, dan pada akhirnya untuk dapat bercerai harus dengan persetujuan bersama
atau keputusan Pengadilan Agama.
Hal-hal lain yang penting dicatat tentang proses perceraian adalah pertama,
ikrar talak (perceraian) harus di depan pengadilan. Kedua, perceraian harus
didaftarkan, dan perceraian yang diakui hanyalah perkawinan yang sudah
didaftarkan. Tentang perceraian sebab li’an tidak ada penjelasan lebih
rinci. Hanya disebutkan agar Pengadilan merekam perceraian dengan li’an.
Sebagai tambahan, semua undang-undang di Malaysia mencantumkan murtad sebagai
alasan perceraian. Tetapi tidak dengan sendirinya terjadi perceraian, melainkan
dengan putusan hakim.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Adapun yang menjadi
penyebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam adalah disebabkan karena
kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan
putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian merupakan bentuk putusnya
perkawinan dengan sendirinya. Secara keseluruhan penyebab putusnya perkawinan
adalah disebabkan karena Thalaq, Khulu’, Fasakh, Syiqaq, Ila’, Zhihar, dan
li’an.
Sementara menurut
peraturan perundang-undangan posotif, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI, putusnya perkawinan tersebut
dapat disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas Keputusan Hakim.
Perceraian yang dimaksud adalah berupa cerai thalaq, sementara yang disebabkan
atas Keputusan Hakim disebut dengan cerai gugatan. Di samping itu KHI juga
menambahkan bahwa pelanggaran ta’lik thalaq dan murtad juga merupakan penyebab
putusnya perkawinan.
2. Saran
Pemakalah
menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan dan
penyusunan makalah ini. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang
dimiliki, serta minimya literatur dan bahan yang mampu dikumpulkan. Untuk itu,
sangat diharapkan kritikan, saran serta sumbangan pemikiran
konstruktif-edukatif untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya,
tiada gading yang tak retak. Mohon maaf atas segala kesalahan, dan terima kasih
atas segala kritikan dan sarannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua, khusus bagi pemakalah pribadi.
[1] Slamet Abidin,
Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hlm. 9
[2]Abdur Rahman, Perkawinan
dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996),
hlm. 80
hlm. 80
[3]Moh. Ismail
al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung : Pustaka Dahlan, 1987), jilid 3,
hlm. 168
hlm. 168
[4]Wahbah
al-Zuhaily, Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik, Dar al-Fikr, 1989),
juz. VII, hlm. 356
juz. VII, hlm. 356
[5] Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. (Bandung : al-Ma’arif, 1998), jilid
8, hlm. 9
[6]Muhammad Ibn
Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Adillah
al-Ahkam, Terj. (Bandung : Dahlan, t.th), hlm. 175
[7]Lihat Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian
dalam Islam, (Padang : IAIN IB Press, 1999) hlm. 108
[8]Abdur Rahman,op.cit,
hlm.112
[9]Dasrizal
Dahlan, Putusnya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Perdata
Barat (BW); Tinjauan Hukum Islam. (Jakarta : PT. Kartika Insan Lestari,
2003), hlm. 201
[10]Isni Bustami,Perkawinan
dan Perceraian dalam Islam, (Padang : IAIN IB Press, 1999), hlm. 136
[11]Dasrizal
Dahlan, op.cit, hlm. 131
[13] Pembedaan
antara cerai thalaq dan cerai gugatan ini dapat dilihat pada Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan pada pasal 14 sampai dengan pasal 36. Pasal 14 sampai dengan pasal
18 adalah mengatur tentang cerai thalaq, sementara pasal 20 sampai dengan pasal
36 adalah mengatur tentang cerai gugatan. (hal ini dapat dipahami dengan
memperhatikan Penjelasan atas PP No. 9 Tahun 1975).
[14] Mahkamah
Agung, Penerimaan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama, (Jakarta
: t.tp., 1992), hlm. 52
[15]Lihat
penjelasan atas PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pada pasal 20 poin (1).
[16]Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana,
2006), cet, 4, hlm. 445
[17]Menurut amandemen
pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970
sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan
pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004.
[18]Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 180-181. Lihat Juga A.
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006),
hlm. 137-146
[19]Cik Hasan
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 159
[21] H.M. Atho’
Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta : Ciputat Press,
2003), hlm. 48
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....