A.
Pendahuluan
Gerakan
pembaharuan dalam hukum keluarga didunia Islam terjadi pada abad ke-20, secara
garis besar gerakan pembaharu hukum keluarga di dunia islam termasuk di Negara
Mesir pada abad ke-20 ini dapat dibagi kedalam tiga fase, dan jika
undang-undang tentang hukum keluarga di dunia Islam termasuk di Negara Mesir
kita cermati ternyata ada masalah-masalah pokok mengenai hukum keluarga di
Negara islam yang dibahas. Untuk lebih jelasnya apa dan bagaimana hukum
Keluarga di Negara islam terutama di Mesir oleh karena itu di dalam makalah ini
kami akan jelaskan mengenai hukum keluarga islam di Mesir.
B.
Pembahasan
1.
Sekilas Tentang Republik Arab Mesir
Nama resmi negara ini adalah
Republik Arab Mesir yang memiliki Undang-Undang Dasar pada tanggal 11 September
1971.Sebagai negara yang pernah diduduki oleh Turki, atau menjadi bagian negara
itu. Dalam hukum tentu merujuk pada hukum yang berlaku di Turki masa itu,
sebelum akhirnya Turki sendiri merubah UUnya. Sedangkan Mesir sendiri masih
menganut hukum yang diwariskan. Menurut pasal 1 UUD itu negara tersebut adalah
suatu negara demokrasi, negara sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan
rakyat yang berpengaruh. Meskipun sebagai negara sosialis, namun dalam pasal 2
UUDnya dengan tegas dinyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan Bahasa Arab
adalah bahasa resmi negara.[1] Nilai-nilai agama sangat
kental menyertai kehidupan bermasyarakat termasuk dalam bidang Hukum Keluarga,
maka wajar bila sebagian besar hukum keluarga negara ini bersumber dari Islam –
dalam hal ini Fiqih.
Republik Arab Mesir sebagai Negara
Islam yang ada Afrika diperkirakan memiliki penduduk sekitar 61 juta jiwa,
adalah mayoritas Muslim Suni, jumlah mereka hampir 90 persen. Agama sangat
berperan besar di negara tersebut.[2] Mayoritas penduduk Mesir
adalah pengikut mazhab Safi’i dan hanya sebagian kecil terdapat golongan
Hanafiyah.[3]
Ada beberapa minoritas religius,
yang terbesar adalah minoritas Kristen pribumi yang merupakan Gereja Kopti.
Pada tahun 1990, perkiraan jumlah penduduk Kopti adalah 3 sampai 7 juta orang,
sedangkan pengikut Kristen lainnya mencakup sekitar 350.000 pengikut Gereja
Ortodok Yunani, 175.000 Katolik Ritus Latin dan Timur Seria dan 200.000
Protestan. Pada tahun ini juga diperkirakan terdapat sekitar 1.000 orang Yahudi
yang tinggal di Mesir. Populasi Yahudi ini menggambarkan satu fragmen komunitas
yang berjumlah 80.000 orang. Yahudi yang hidup di Mesir sebelum tahun 1948.
Besarnya toleransi keagamaan merupakan ciri budaya Mesir tradisional, dan kebebasan
beragama dijamin oleh Konstitusi Mesir 1971, meskipun ketegangan antar agama
sempat meningkat tajam sejak tahun 1970-an.
2.
Latar Belakang Lahirnya
Undang-Undang
Pengaruh pembaharuan
Hukum Keluarga di Turki pada tahun 1917 terhadap Republik Arab Mesir dimulai
pada tahun 1920 dengan lahirnya Undang-Undang Keluarga Mesir, yaitu Law No. 25
tahun 1920 dan Law No. 20 tahun 1929. Kalau sedikit di-tafshil-kan,
usaha pembaharuan ini dimulai dnegan mengangkat panitia pada tahun 1915 yang
dipimpin oleh Rektor Al-Azhar, Syekh al-Maragi. Namun, dengan meletusnya Perang
Dunia I telah menghambat kelangsungan usaha pembaharuan ini, yang kemudian
diikuti oleh pengangkatan panitia berikutnya. Adapun hasil dari kepanitiaan
tersebut adalah dengan lahirnya;
1.
UU No. 25 tahun 1920 tentang Nafkah dan Perceraian,
2.
UU No. 56 tahun 1923 tentang Umur Perkawinan,
3.
UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian,
4.
UU No. 77 tahun 1943 tentang Waris, dan
5.
UU No. 71 tahun 1946 tentang Wasiat.
Dengan demikian maka
Mesir adalah negara kedua setelah Turki dan negara pertama di Arab yang
mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga. Isi pokok dari UU No. 56 tahun 1923 dan
UU No. 25 tahun 1920 terfokus kepada bidang perceraian. Kedua UU ini kemudian
diperbaharui pada tahun 1979 dengan lahirnya UU yang dikenal dengan Hukum Jihan
Sadat No. 44 tahun 1979. UU ini pun diperbaharui lagi dengan bentuk Personal
Status (Amandemen) Law No. 100 tahun 1985.[4]
Meskipun ide-ide
Muhammad Abduh, Qasim Amin, Safwat dan pemikir Mesir lainnya tentang teori
pembaharuan hukum keluarga di Mesir ditentang habis-habisan, namun pada
kenyataannya ide-ide merekalah yang banyak memberikan inspirasi dalam usaha
pembaharuan tersebut. Tambahan pula, bahwa Malik Hifni Nasif mengusulkan
sepuluh butir pembaharuan hukum yang berhubungan dengan wanita, yang diserahkan
kepada Badan Legislatif Mesir tahun 1911. Empat diantaranya adalah pendidikan
wanita, poligami, umur nikah, dan masalah kerudung (veil).[5]
Usaha pembaharuan
Hukum Kelurga Mesir juga ditopang oleh tuntutan Gerakan Wanita Mesir. Misalnya
tuntutan dari The Egyptian Feminist Umon yang berdiri pada
tahun 1923, dipimpin oleh Huda Sya’rawi. Kelompok ini mengajukan 32 butir
tuntutan kepada Parlemen dan Pemerintah Mesir. Diantara tuntutan itu adalah:
(1) Pendidikan kepada Wanita, (2) Pembaharuan Hukum Keluarga, (3) Batas Minimal
Perkawinan, (4) Pembatasan Poligami, (5) Pembatasan Hak Cerai Laki-laki.
Menurut N. J. D
Anderson seperti dikutip oleh Khoiruddin, isi Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir
lebih radikal dan lebih luas daripada Hukum Keluarga Turki.[6]
3.
Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hukum perkawinan
1.
Pencatatan Perkawinan
Usaha untuk menetapkan pencatatan
perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya Ordonasi 1880 yang berisi
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan
dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan
pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan
kepentingan mereka.
Ordonasi tahun1880 itu diikuti
dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal
31-nya menyatakan bahwa “gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawiann
tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak
apabilatidak dibuktikan dengan adanya suatu
dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan”. Tampak bahwa pasal ini
mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu agar
dapatdijadikan dasar keputusan.
Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung
ketentuan bahwadokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang
yang ditugaskan untuk itu.Dari sini jelaslah bahwa undang-undang di mesir
mengambil prinsip” tidak mendengarkan suatu gugatan” dalam kasus-kasus
perkawinan dan akibat-akibat hukumnya apabila perkawinan tersebut tidak
terbukti berdasarkan suatu dokumen resmi yang diterbitkan oleh pejabat berwenang,
serperti hakim dan pegawai pencatat nikah atau kosul (untuk luar negri).[7]
2. Usia Perkawinan
Dalam bidang
perkawinan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas minimum usia
pernikahan yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi wanita 16 Tahun.[8]
Jika umur
mereka yang akan melangsungkan pernikahan kurang dari ketentuan diatas maka pernikahan
tidak boleh dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan Bab 99 UU No 78 Tahun
1931.[9]
Ada dua hal
untuk mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU yaitu: Akte Kelahiran atau berupa surat
resmi yang dapat menaksir tanggal kelahiran seseorang, dan sertifikat kesehatan
yang memperlihatkan taksiran tanggal atau data kelahiran yang diputuskan oleh
Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan setempat. Jika keduanya atau salah satu
pihak calon suami atau istri tidak memenuhi ketentuan umur perkawinan dalam UU
tersebut, maka dilarang untuk melakukan pendaftaran perkawinan.
3. Mahar
Jika terjadi sengketa antara
pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus dapat membuktikan
gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan, maka sumpah suami
yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan jumlah yang tidak
wajar senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut.[10]
Di Mesir pengantin lelaki harus menyediakan
rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya lengkap, sejak kasur, bantal hingga
sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum, sekitar 100 km di timur Kairo,
seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3 ribu Pound Mesir (500 Dolar
AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu saja, pendapatan tetap, itu
belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga sebuah rumah yang mafrusyah di
kawasan itu bisa mencapai 80 ribu Pound (13 ribu Dolar AS). Di kota besar seperti Kairo, dalam persoalan mahar, orang Mesir, konon, tidak
macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat, atau kitab suci AlQuran. Biaya
hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya, juga sangat tinggi. akibat
mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang lambat nikah.[11]
4.
Ketentuan tentang pemberian nafkah
Suami berkewajiban
memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan meskipun istri
tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri untuk
mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal,
pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member
nafkah jika istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alas an, atau
pergi tanpa izin suaminya.[12]
5.
Putusnya perkawinan
Di
Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan
hukum keluarga menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara
mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada
isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam
bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan
akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu
juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberian
mut`ah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun. Di Mesir
Pengucapan Talak Tiga hanya jatuh satu talak. Semua pengaturan ini dilakukan
untuk melindungi hak-hak perempuan.[13]
6.
Penyelesaian perselisihan
Jika seorang istri
menuduh suaminya telah berbuat kejam dan tidak mungkin melanjutkan hubungan
perkawinannya, istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada hakim. Dan hakim
harus memutuskan perceraian keduanya jika tuduhan istri dapat dibuktikan dan
tidak dapat didamaikan. Tetapi jika hakim menolak permohonan cerai istri, dan
kemudian istri mengulangi tuduhannya tetapi tidak dapat membuktikan tuduhan
tersebut, hakim akan menunjuk dua orang sebagai juru damai.[14]
6. Aturan Poligami
Mesir memperbolehkan praktek
poligami dengan adanya kesempatan isteri untuk mengajukan gugat cerai karena
poligami tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 100 tahun 1985. Dalam materi
UU tersebut ditentukan bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian bahwa
poligami dapat menjadi alasan perceraian bagi isteri dengan alasan, poligami
mengakibatkan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun
tidak. Bila suami berencana poligami harus seizin pihak pengadilan dan
pengadilan harus memberitahukan kepada isterinya tentang rencana poligami
tersebut. Dalam pasal 11A UU No. 100 tahun 1985 dinyatakan:
“seorang yang akan menikah harus
menjelaskan status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang
sudah mempunyai isteri harus mencantumkan nama dan alamat isteri-isterinya.
Pegawai pencatat harus memberitahukan isterinya tentang rencana perkawinan
tersebut. Seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain dapat
minta cerai atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan
mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama dengan suaminya secara rukun. Hak
cerai dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika
hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak isteri
hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya dalam selama waktu satu
tahun dan dia mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi, hak ini tetap menjadi hak
isteri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang isteri yang dinikahi dan
tidak mengetahui kalau suaminya telah memiliki isteri, berhak minta cerai
segera setelah mengetahuinya.”
Berdasarkan pasal ini maka ada
beberapa ketentuan mengenai poligami:
1.
Adanya pemberitahuan kepada isteri oleh pencatat nikah tentang pernikahan
suaminya.
2.
Isteri dapat mengajukan gugatan cerai dengan alasan poligami suaminya dalam
waktu satu tahun,
3.
Hak cerai gugat isteri gugur setelah satu tahun, dan
4.
Jika sebelumnya isteri tidak mengetahui poligami tersebut maka ia berhak
minta cerai setelah mengetahuinya.
Dengan demikian,
untuk melaksanakan poligami lebih longgar daripada di Negara Islam lainnya.
Walaupun demikian, hukuman terhadap pelanggaran ketentuan poligami termasuk
tindak pidana.[15]
7. Ketentuan mafqud (orang hilang)
Pengadilan dapat memutuskan kematian seseorang setelah empat tahun
terhitung sejak hilangnya orang tersebut.[16]
Setelah putusnya perkawinan berdasarkan hilangnya suami, istri menikah dengan
orang lain, kemudian mantan suami kembali, maka perkawinan kedua istri tetap
berlaku.[17]
8. Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah mulai pertama diperkenalkan oleh ulama
Mesir yang melalui hukum waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang
lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak maka si cucu itu
menggantikan ayahnya yang mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara
memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga harta. Adapun yang
menetapkan wasiat wajibah itu ialah pengadilan, karena si mati memenag tidak
meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk
menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Di Mesir aturan wasiat wajibah itu
berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun perempuan.[18]
9. Hak asuh anak (hadhanah)
Sesuai dengan Bab 20 UU No 100 Tahun 1985 bahwa pengurusan/pengasuhan bagi
anak perempuan berlangsung duabelas tahun sedangkan untuk anak laki-laki selama
sepuluh tahun. Dan boleh bagi hakim untuk menetapkan bagi anak laki-laki masih
berada dalam asuhan salah satu pengasuh hingga berumur lima belas tahun dan
bagi anak perempuan hingga ia menikah. Sedangkan tempat tinggal/rumah anak
adalah kewajiban dari sang ayah, ia berkewajiban untuk menyediakan rumah yang
layak bagi anaknya dan pengasuhnya, jika ia telah besar maka anak tersebut
dapat kembali ke rumah ayahnya. Hal ini sesuai dengan Bab 18 UU No 100 Tahun 1985 tentang hak
asuh anak.[19]
10.
Khulu’
Khulu` adalah pemberian hak meminta cerai kepada istri terlepas dari apakah
suaminya mengizinkan atau tidak asalkan ia mengembalikan sebagian atau seluruh
hak finansialnya.
Menurut empat mazhab,
khulu` dapat diberikan walaupun tidak ada alasan legal bagi perceraian, yaitu
bila perempuan tidak ingin meneruskan perkawinan. Tetapi di masa modern, khulu` digunakan ketika
isteri disakiti dan dilecehkan serta dipukul suami. Mereka seringkali harus
melepaskan hak finansial sebagai ganti keputusan cerai dari pengadilan.Dalam UU
Mesir dinyatakan bahwa khulu` boleh diberikan kepada seorang isteri hanya
setelah hakim berusaha dan gagal merukunkan pasangan tersebut serta dengan
intervensi mediator dari pihak suami dan Isteri.[20]
11. Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Hal kawin campur terdapat dalam Law No. 68
tahun 1947 yang diamandemen oleh Law No. 103 tahun 1976 yang memindahkan pasal
2, 5, 6, 9 dan 12 kepada peraturan baru. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa notaris,
sebelum mencatat perkawinan harus memperjelas identitas kedua mempelai. Jika
terdapat perkawinan antara wanita Mesir dengan pria non Mesir, maka Dinas
Perkawinan harus memastikan hal-hal berikut:
1.
Kehadiran mempelai pria saat akad.
2.
Perbedaan umur antara keduanya tidak lebih dari 25 tahun.
3.
Pihak pria harus menyertakan dua buah setifikat dari negara asal atau
kedutaannya. Pertama menyatakan bahwa negara asal tidak melarang pernikahan itu
dan kedua menggambarkan identitasnya meliputi Tempat dan Tanggal Lahir, agama,
pekerjaan, tempat di negara asal, status perkawinan, jumlah isteri dan anak,
sirkulasi keuangan dan sumber penghasilan. Kedua sertifikat itu harus
ditandatangani oleh pihak pemerintahan Mesir.
4.
Kedua mempelai harus mempunyai Akta Kelahiran atau surat resmi lain yang
menunjukkan tanggal lahir.[21]
Dalam hal ini maka jelas Hukum
Keluarga Mesir menitikberatkan pada legalitas pihak asing memperbolehkan untuk
menikahi warganegaranya, tanpa ada persyaratan yang memberatkan.
12. Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan
Ketentuan Pidana dalam Perkawinan menyangkut
pada pelanggaran ketentuan poligami, yakni suami yang melanggar pasal 11A
UU No. 100 tahun 1985 dapat diberikan sanksi hukuman penjara atau denda,
atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 23A UU no. 100
tahun 1985, yaitu: seorang yang menceraikan isterinya, bertentangan dengan
aturan yang ada dalam pasal 5A undang-undang ini, dapat dihukum dengan hukuman
penjara maksimal enam bulan atau denda 200 pound Mesir atau kedua-duanya. Sama
juga dengan orang yang membuat pengakuan palsu. Kepada pegawai pencatat yang
lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara
maksimal satu bulan dan dengan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Pegawai
yang bersangkutan dapat dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.[22]
4.Ketentuan-ketentuan yang Berhubungan dengan Kewarisan dan Wasiat
Undang-undang No. 77
tahun 1943 tentang kewarisan sebagian besar diadopsi dari mazhab Hanafi, namun
dalam beberapa kasus terdapat hukum yang berbeda dari mazhab hanafi. Berikut
ketentuan hukum waris yang berlaku di mesir:
1. Prioritas biaya pemakaman.
Biaya pemakaman
merupakan prioritas yang harus dikeluarkan sebelum hutang. Ketentuan ini sesuai
dengan pendapat Hanafi.
2. Pembunuh pewaris sebagai penghalang mewarisi
Ketentuan hukum
syari’ah, bahwa seorang ahli waris yang membunuh pewaris akan terhalang dari
menerima warisan, sedangkan mengenai jenis membunuh sengaja atau tidak sengaja
yang menghalangi menerima warisan terdapat perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi
menetapkan semua jenis membunuh dapat menghalangi ahli waris menerima warisan.
Sedangkan Maliki menetapkan hanya membunuh yang sengaja yang dapat menghalangi
mewarisi. Undang-undang (1943) Mesir mengadopsi pendapat Maliki tersebut. Pasal
5 menyebutkan bahwa “salah satu hambatan ahli waris menerima warisan adalah
ahli waris yang sengaja telah menyebabkan kematian pewaris, baik oleh dirinya
sendiri, atau membantu membunuh, atau sebagai saksi yang kesaksiannya tersebut
pewaris dieksekusi, sedangkan ahli waris dalam keadaan waras dan telah berusia
lima belas (15) tahun.
3. Kasus Himariya
Saudara-saudari seibu dalam hukum warisan Islam ditempatkan sebagai ahli
waris ashabul furud, sementara saudara-saudari sekandung (seayah seibu) apabila
bersama ahli waris lain sebagai ahli waris penerima sisa. Dalam kasus-kasus
tertentu dengan pola distribusi, saudara-saudari sekandung tidak menerima
warisan sementara saudara-saudari seibu tidak terpengaruh sama sekali bagiannya
karena bagian saudara-saudari ibu mendapatkan saham tetap dalam Al-Qur’an.
Kasus ini dikenal dengan kasus Himariya. UU No. 77/1943 pasal 10 menetapkan
saudara-saudari sekandung bersama-sama mengambil bagian saudara-saudari seibu
(1/3) sebagaimana pendapat Syafi’I dan Maliki.
4.Hak kewarisan kakek
Dalam hukum waris
Islam terdapat pendapat yang bertentangan dalam hal kakek mewarisi bersama-sama
saudara sekandung/seayah. Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa kakek menghijab
semua saudara, sementara Maliki dan Syafi’I menyamakan posisi kakek dengan
saudara-saudara. Dalam UU No. 77/1943 pasal 6 berlaku bahwa bagian kakek tidak
akan mempengaruhi bagian saudari yang posisinya sebagai ahli waris ashabul
furudh. Tetapi apabila kakek bersama dengan saudara yang posisinya sebagai
ashabah, maka kakek dianggap sebagai saudara. Aturan ini merupakan
kombinasi antara pendapat Ali ra dan pendapat Syafi’I dan Maliki.
5.
Ketentuan tentang Raad (pengembalian sisa lebih)
Jika tidak ada ahli
waris ashabah, maka sisa harta beralih kepada suami/istri yang masih hidup
sebanding dengan pecahan saham mereka. Dengan demikian UU Mesir memungkinkan
janda/duda mengambil seluruh harta ketika pewaris tidak meninggalkan ahli waris
ashabah dan ahli waris nasab. Ketentuan ini bertentangan dengan pendapat Hanafi
yang yang tidak memberikan rad kepada janda/duda.
6. Ketentuan wasiat
a. Validitas
wasiat, wasiat yang ditujukan untuk maksiat atau yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syariat adalah batal (tidak sah).
b.
Wasiat untuk ahli waris, Menurut
mazhab Hanafi dan Hanbali bahwa wasiat bagi ahli waris adalah sah apabila
disetujui oleh ahli waris yang lain. Pasal 37 UU 1946 menyebutkan bahwa wasiat
untuk ahli waris adalah sah dan berlaku tanpa memperhatikan persetujuan dari
yang lainnya. Ketentuan ini merupakan adopsi dari Ithna “ashari.
c. Wasiat
untuk ahli waris atau untuk non ahli waris maksimal 1/3 harta warisan. Apabila
lebih dari 1/3 harta akan berlaku dan dilaksanakan dengan persetujuan ahli
waris lainnya dan diberikan setelah meninggalnya si pewasiat.
C.
Kesimpulan
Pembaharuan
Hukum Keluarga Mesir dilakukan tahap demi tahap menuju kesempurnaan hukum
dengan mengadopsi Hukum Islam yang bersumber dari pemikiran-pemikiran Fuqaha
terutama dari Imam Mazdhab Empat. Hal ini dipahami karena mayoritas penduduk
adalah umat Islam yang seba
Sebagian
besar bermazdhab Syafi’i. Legalisasi poligami adalah salah satu bentuk bahwa
Hukum Kelurga Mesir bersumber dari Hukum Islam. Hak-hak perempuan lebih
dilindungi melalui peraturan-peraturan dalam hal perceraian dan poligami
sehingga sewenang-wenangan suami dapat dicegah sedini mungkin. Begitupun dengan
pembatasan usia perkawinan yang mendasarkan pada kedewasaan dan kematangan
pasangan.
[2] John L Posite, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam, terj.
(Bandung : Mizan), cet. I, 2001, hal. 48
[3] M Atho Muzdhar dan
Khoiruddin Nasution (ed), Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern dalam Khaoeruddin Nasution (Jakarta : Ciputat
Press), cet I, hal. 13.
[4] Khoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan
Perkawinana Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (INIS, 2002),
hal. 94
[8] Atho’ Mudzar dan Khairuddin Nasution, Hukum
Keluarga Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 210
[10]. Pasal 19 UU
No. 25/1929
[11]. www.google.com/Mesir
[12].UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun
1929 dan UU No. 100 tahun 1985. Personal law, hal. 32.
[14]
.UU No. 25/1929 pasal 6
[15] . Dawoud Sudqi El-Alami, The Marriage Contract in Islamic Law in the
Syari’a and Personal Status Laws of Egypt and Marocoo (London:
Hartnoll Ltd), cet. I, 1992, hal. 85
[16]
UU No. 25/1920 pasal 21-22. Family
law, hal. 52.
[17]
UU No. 25/1920 pasal 8
[18]
. Atho’ Mudzar, Membaca
Gelombang Ijtihad, h. 163
[19]. UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun
1929 dan UU No. 100 tahun 1985, pasal 20
[20] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik
Syari`at Islam, h. 108