Sejak tahun 1928 hingga 1935 hukum
keluarga iran telah dikodifikasi sebagai bagian dari hukum perdata. Ini semua
bermula ketika pada tahun 1927, menteri keadilan Iran membentuk komisi yang
bertugas menyiapkan draft hukum keluarga.Ketentuan-ketentuan selain hukum
keluarga dan hukum waris diambil dari ketentuan-ketentuan Napoleon selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.Sedangkan untuk hukum keluarga dan
hukum waris lebih mencerminkan sebagai unifikasi dan kodifikasi hukum syari’ah.
Draft yang disusun oleh komisi tersebut disebut sebagai Qanun Madani.[1]
Hukum perdata Iran mencakup berbagai
aspek hukum.yang berkenaan dengan hukum waris diatur dalam pasal 861 – 949,
sementara seluruh buku VII mengatur masalah hukum keluarga. Semua materi hukum
waris dan keluarga didasarkan pada hukum keluarga syi’ah Isnan ‘Asyariyah
(ja’fari).Materi hukum waris sebagaimana diatur dalam hukum perdata berlaku
hingga saat ini, tanpa ada perubahan, sementara hukum yang mengatur perkawinan
dan perceraian tidak tehindar dari reformasi hukum.
Hukum keluarga yang diatur dalam bab
VII hukum perdata tahun 1935 mengalami reformasi beberapa kali pada tahun-tahun
berikutnya. Hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian, secara terpisah,
telah diundang-undangkan pada tahun 1931.UU tersebut memasukkan prinsip yang
diatur oleh aliran-aliran hukum selain aliran isna asyri.Sebagian
materinya didasarkan pada pertimbangan sosial budaya dan administrative.Pada
tahun 1937 dan 1938 juga ditetapkan UU yang mengatur masalah perkawinan dan
perceraian lebih lanjut.
Reformasi yang lebih penting lagi
dilakukan lembaga legislative iran pada tahun 1967. Pada tanggal 24 juni 1967
diundang-undangkan hukum perlindungan keluarga (Qanun himayat Khansiwada).UU
ini bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami agar tehindar dari
tindakan sewenang-wenang.[2]
Pada tahun 1975, hukum perlindungan
keluarga yang baru ditetapkan.UU ini dimaksudkan untuk menggantikan hukum
perlindungan keluarga tahun 1967.UU tahun 1975 ini, selain memasukkan ketentuan
mengenai perceraian dalam UU sebelumnya, juga memasukkan
perubahan-perubahanyang penting yang berkenaan dengan perceraian.UU ini juga
membatasi pemberian ijin poligami oleh pengadilan hanya pada kondisi-kondisi
yang spesifik.[3]
Hukum keluarga Iran kembali pada
hukum keluarga tradisional sejak berhasilnya revolusi islam yang dipimpin oleh
Imam Khumaini, rezim baru mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi
satu-satunya sumber hukum di Negara Iran.[4]Konstitusi
Republik Islam Iran 1979, antara lain menyatakan bahwa keluarga merupakan unit
fundamental dalam masyarakat Islam, oleh karena itu, semua hukum, peraturan dan
ketentuan administrative, harus dapat memmfasilitasi keutuhan keluarga.
Konstitusi ini juga menekankan bahwa hubungan keluarga harus didasarkan pada
hukum Islam.
Pada tahun 1982, Mahkamah Agung Iran
mengeluarkan keputusan –Bakhsnamah- khususnya, ditujukan kepada seluruh
pengadilan Iran, agar tidak menggunakan peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh lembaga non legislative Islam era pra-revolusi. System hukum
Islam seluruhnya akan diberlakukan di Iran. Hukum pidana tahun 1912 dan hukum
perdata 1928-1935 dicabut, selanjutnya diterapkan hukum Islam.Hukum keluarga
1931-1938 dan hukum perlindungan keluarga 1975, dipandang telah melewati batas
hukum Islam mapan, maka UU ini juga dicabut. Selanjutnya hukum keluarga Islam
dikembalikan pada mdzhab mayoritas, ja’fari Isna Asy;arid an madzhab minoritas
(sunni).
REFORMASI HUKUM KELUARGA IRAN PRA
REVOLUSI
1.
Pencatatan Perkawinan
Sebagaimana telah diatur dalam
undang-undang hukum perkawinan tahun1931 pasal I bahwa setiap perkawinan
sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang, pelanggaran
terhadap ketentuan ini akan dihukum penjara selama satu hingga 6 Bulan.
Aturan tentang permasalahan ini
hanya bersifat administrative saja karena pelanggarnya hanya dikenakan hukuman
fisik saja sedangkan perkawinannya tetap sah.Peraturan ini tidak dijumpai dalam
pemikiran hukum klasik baik dalam Sy’I maupun Sunni.
2.
Perkawinan di bawah Umur
Usia minimum yang diatur dalam hukum
Perdata Iran pasal 1031 adalah 18 untuk pria dan 15 untuk wanita. Bagi
seseorang yang mengawinkan di bawah usia tersebut maka akan dipenjara antara 6
bulan hingga 2 tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah umur 13
tahun maka yang mengawinkan dikenakan penjara 2 hingga 3 tahun, selain juga
masih harus membayar denda 2-20 Riyal, ini diatur dalam hukum kelarga Iran
tahun 1931-1937 pasal 3.
Hal ini dianggap sebagai pembaharuan
karena sangat berbeda dengan pendapat madzhab yang diyakini oleh mayoritas
masyarakat Iran yaitu mazdhab Ja’fari yang memberikan batasanusia 15
untuk pria dan 9 tahun untuk wanita.[5]
3.
Perjanjian Kawin
Dalam hukum perkawinan Iran pasal 4
dijelaskan pasangan yang berniat untuk melangsungkan perkawinan boleh membuat
perjanjian dalam akad perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan
perkawinan.Perjanjian tersebut dilaksanakan di bawah perlindungan pengadilan.
4.
Poligami
Suami yang akan menikah lagi harus
memberitahukan kepada calon istri tentang statusny, pelanggaran terhadap
ketentuan ini dapat dikenakan sanksi hukum perlindungan keluarga tahun 1967.
Selain itu juga harus mendapat ijin dari istri, jika ketentuan ini dilanggar,
istri dapat mengajukan permohonan cerai ke pengadilan. Suami juga harus
mendapat ijin dari pengadilan yang sebelumnya akan memeriksa apakah suami dapat
menafkahi lebih dari seorang istri dan apakah dia mampu berbuat adil.
Pelanggaran ketentuan ini akan dikenakan hukuman kurungan selama 6 bulan hingga
2 tahun.
Sekali lagi persoalan ini juga
merupakan reformasi regulatory atau administrative belaka karena hanya
mendapatkan sanksi fisik tanpa mebatalkan status perkawinannya. Aturan-aturan
seperti ini tidak didapatkan dalam madzhab ja’fari maupun madzhab hukum yang
lain.
5.
Nafkah Keluarga
Dalam hukum perlindungan keluarga
tahun 1967 pasal 10 disebutkan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah pada
istrinya.Nafkah ini meliputi sandang, pangan, tempat tinggal dan barang-barang
kebutuhan rumah tangga yang layak. Jika suami tidak melaksanakannya maka istri
berhak mengadukan pada pengadilan, dan pengadilan akan member peringatan kepada
suaminya, ketika tetap tiada perubahan istri boleh menuntut perceraian pada
pengadilan. Aturan ini sejalan denan madzhab Ja’fari.[6]
6.
Perceraian
Masalah perceraian telah terjadi
reformasi administrative dan substantive dengan lahirnya Hukum perlindungan
keluarga tahun 1967 yang menghapus wewenang suami mengiklarkan talak secara
sepihak.Menurut pasal 8 UU tersebut setiap perceraian, apapun bentuknya harus
didahului dengan permohonan kepada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat
“tidak dapat rukun kembali”. Sedangkan pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat
tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
o Salah satu pasangan Gila permanen atau
berulang-ulang.
o Suami menderita impotensi, atau
dikebiri atau alat fitalnya diamputasi.
o Suami atau istri dipenjara 5 tahun.
o Suami atau istri memiliki kebiasaan
yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus berlangsung dalam
kehidupan rumah tangga.
o Seorang pria tanpa persetujuan
istri, kawin dengan wanita lain.
o Salah satu pihak menghianati pihak
lain.
o Kesepakatan suami dan istri untuk
bercerai.
o Adanya perjanjian dalam akad
perkawinan yang memberikan kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri
dalam kondisi tertentu.
o Suami atau istri dihukum,
berdasarkan keputusan hukum yang tetap karena melakukan perbuatan yang dapat
dipandang mencoreng kehormatan keluarga.
7.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Juru Damai (arbitrator)
Dalam pasal 6 hukum perlindungan
keluarga disebutkan bahwa pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian
perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri
yang bermasalah.Khusus kasus yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan
dan perceraian yang berbelit-belit, ditangani sendiri oleh pengadilan.
[1]Tahir Mahmood, Fanmily Law Reform in The Muslim World..h.
154.
[3]Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (New
Delhi: Academy of Law and Religion, 1987) h. 216
[4]William L. Cleveland, A History of Modern Middle East
(San fancisco: Westview Press, 1994), h. 410
[5]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Alih
Bahasa Masykur, cet IV (Jakarta: Lentera, 1999), h,316-318
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....