Sabtu, 28 Desember 2013

Batas Usia Perkawinan


A.    PENDAHULUAN
Perkawianan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendir yang meliputi kebutuhan dnafungsi bologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang, persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota masyarakat yang sempurna.[1]
Tujuan pembahruan hukum keluarga berbeda antara satu Negara dengan Negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Kedua, untuk pengangkatan status perempuan dan ketuga, adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
Di Negara Muslim atau mayoritas Muslim pembaharuan hukum Islam terus berkembang, hal itu disebabkan begitu kompleksnya problem yang muncul. Sementara Al-Quran dan hadist juga pendapat Imam Mazhab tidak secara eksplisit menjelaskannya, termasuk masalah batasan usia perkawinan.
 Dalam makalah ini akan digambarkan latar belakang dan urgensi pembatasan perkawinan dan batas usia perkawinan dalam hukum keluarga Negara-negara Muslim.

B.     PEMBAHASAN
1.      Perkawinan
Ada beberapa definisi perkawinan yang dikemukakan oleh para ahli :
a.  Menurut kalangan Syafi;iyang, seperti yang dikutip oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya hukum perkawinan Islam di Indonesia, perkawinan adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan dengan lafaz n-ka-ha atau za-wa-ja
b. Sedangkan menurut Ahamad Ghandur di dalam bukunya al-Ahwal al-syakhsiyah menyatakan bahwa perkawinan adalah akad memperboleh bergaul antar laki-laki dan perempuan dalam tuntutan nalurui kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban
c.  Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pri dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa
d. Sedangkan menurut Komplikasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2.      Latar Belakang dan Urgensi Batasan Usia Perkawinan
Salah satu fenomena abad 20 di dunia Muslim adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan). Sampai tahun 1996 di Negara timur tengah misalnya hanya lima Negara yang belum memperbaharui hukum keluarga, bahkan Negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuatan draf, yakni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan Oman.[2]
Tujuan usaha pembaharuan hukum keluarga berbeda antara satu Negara dengan Negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alas an pembaharuan untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang diikuti di Negara bersangkutan yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih dikalangan sunni, namun juga boleh juga antara sunni dan syi’i. kedua, untuk pengangkatan status wanita. Undang-undang perkawinan mesir dan Indonesia masuk dalam kelompok ini. Ketua, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsop fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
Di Indonesia, undang-undang pertama tentang perkawinan dan perceraian, yang sekaligus dikelompokkan sebagai susha pembaharuan pertama adalah dengan diperkenalkannya UU No. 22 Tahun 1946. pertamaUndang-undang ini hanya berlaku untuk wilayah pulau jawa yang kemudian Undang-Undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia merdeka ini diperluas wilayah berlakunya untuk seluruh Indonesia dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954, yakni undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Keberadaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari stbl. No. 198 tahun 1895.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 ini adalah Undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian. Undang-Undang ini terdir dari 14 Bab dan 67 pasal.
Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk Al-Quran atau Hadis Nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat Al-Quran dan begitu pula ada hadis Nabi yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.[3]
Adapun Al-Quran adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 6 :
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu adalah baligh.
Adapun hadist Nabi dari Abdullah Ibn Mas’ud muttafaq alaih yang berbunyi :

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج
Wahai para pemuda siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan dalam persiapan perkawinan, maka kawinlah”
Ada seperti persyaratan dalam hadist Nabi ini untuk melangsungkan perkawinan, yaitu kemampuan persiapan untuk kawin. Kemampuan dan persiapan untuk kawin ini hanya dapat terjadi bagi orang yang sudah dewasa.    
Dalam salah satu definisi pekawinan disebutkan di atas yang  mencantumkan bahwa pernikahan itu menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri. Adanya hak dan kewajiban atas suami atau istri mengandung arti bahwa pemegang tanggung jawab dan hak kewajiban itu sudah dewasa.
Dalam salah satu persyaratan yang akan melangsungkan perkawinan tersebut diatas terdapat keharusan persetujuan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan. Persetujuan dan kerelaan itu tidak akan timbul dari seseorang yang masih kecil. Hal itu mengandung arti bahwa pasangan yang diminta persetujuannya itu haruslah sudah dewasa.
Hal-hal yang disebutkan di atas memberikan isyarat bahwa perkawinan itu harus dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa. Tentang bagaimana batas dewasa itu dapat dibedakan antara laki-laki dan perempuan, dpat pula berbeda karena perbedaan lingkungan budaya dan tingkat kecerdasan komunitas atau disebabkan oleh factor lainnya. Untuk menentukannya diserahkan kepada pembuat undang-undang di lingkungan masing-masing.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai sebagaimana dapat dipahami dari ayat Al-Quran dan hadist Nabi tersebut di atas secara jelas diatur dalam undang-undang perkawinan pasal 7 dengan rumusan sebagai berikut :
(                     1)   Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
                         (2)   Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabgat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
Komplikasi Hukum Islam pada Bab IV Pasal 15 mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan dengan rumusan sebagai berikut :
(1) Untuk kemaslhatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencpaai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Ternyata Undang-Undang Perkawinan melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan kedua calon meniscayakan perkawinan itu tidak didasari oleh paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyarakan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan mashlahat sebagai suaminya. Jadi disini tidak ada paksaan, terlebih lagi pada masyarakat yang telah maju.[4]
Batasan umur yang termuat dalam Undang-Undang perkawinan sebenarnya masih belum terlalu tinggi disbanding dengan beberapa Negara lainnya di dunia. Aljazair misalnya membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu laki-lakinya 21 tahun dan perempuannya 18 tahun. Demikian juga dengan Banglades 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Memang ada juga beberapa Negara yang mematok umur tersebut sangat rendah. Yaman Utara misalnya membatasi usia perkawinan tersebut pada umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Malaysia membatasi usia perkawinannya,laki-laki berumur 18 tahun dan perempuan 16 tahun. Dan rata-rata Negara di dunia membatasi usia perkawinan itu 18 tahun dan wanita berkisar 15 tahun dan 16 tahun.
Bahkan batasan umur yang ditetapkan oleh Undang-Undang perkawinan masih lebih tinggi dibanding dengan ketentuan yang terdapat di dalam ordonasi perkawinan Kristen mapun kitab undang-unang perdata.
Pembuat rancangan Undang-undang perkawinan mungkin menganggap umur 19 tahun bagai seseorang lebih matang fisiknya dan kejiwaannya dari pada 18 tahun laki-laki dan 15 tahun perempuan seperti yang ditetapkan oleh hukum perdata.[5]
Yang jelas dengan dicantumkannya secara aksplisit batasan umur, manunjukkan apa yang oleh yahya Harapakan exepressip veris atau langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat jawa misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walupun mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung.[6]
Dengan adanya batasan umur ini. Maka kekaburan terhadap penafsiran batas usia baik yang terdapat di dalam adat ataupun hukum Islam dapat dihindari.[7]
Jika dianalisis lebih jauh, peraturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan batasan umur dan kesan, Undang-undang perkawinan bermaksud untuk merekayasa untuk tidak mengatakan menahan laju perkawinan yang membawa akibat pada laju pertambahan penduduk.
Tidak dapat dipungkiri, ternyata batasan umur yang rending bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan berakibat pula pada kematian ibu hamil yang cukup tinggi pula. Pengaruh buruk lainnya adalah kesehatan reproduksi wanita menjadi terganggu.[8]
Dengan demikian pengturan tentang usia ini sebenarnya sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harus telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan perkawina untuk menciptakan keluarga yang kekal dan bahagia secara baik dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawianan di bawah umur atau sering diistilahkan dengan perkawinan dini seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undan, semestinyalah dihindari karena membawa efek yang kurang baik, baik terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.

C.    Batas Usia Perkawinan dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim
1.      Turki
Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak menikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Dalam kasus-kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun laki-laki dan 14 tahun perempuan setelah mendapat ijin orang tua atau wali. Undang-undang yang mengatur nikah ini sudah diamandemen pada tahun 1938.[9]
Pada tahun 1972 dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan masih boleh mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Dalam fiqih Hanafi wacana tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongrit menyebut umur, hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah berak dan baligh, sebagaimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi operasional seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan pernikahan.[10]

2.      Iran
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan bagi pria adalah 18 tahun dan bagi wanita 15 tahun. Bagi seorang yang mengawinkan seseorang yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenjara antara 6 bulan hingga 2 tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah usia 13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat dipenjara selama 2 minggu hingga 3 tahun. Di samping itu, bagi yang melanggar ketentuan ini dapat dikenai denda 2-20 riyal.[11]
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan tersebut berbeda dengan pandangan hukum mazhab Ja’fari. Menurut mazhab Ja’fari, seseorang telah dipandang dewasa (karenanya dpat melangsungkan pernikahan) jika telah berumur 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja’far juga memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih di bawah umur. Dengan demikian ancaman hukuman bagi wali yang mengawinkan anak di bawah umur merupakan pembaharuan hukum keluarga di Iran yang bersifat administratif.


3.      Yaman Selatan
Sebagaimana hukum keluarga di Negara-negara yang lain, Yaman Selatan juga diterapkan adanya batasan minimal usia nikah, yakni 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun batasan ini tidak terkait dengan keabsahan akad nika, hanya disebutkan bahwa itu merupkan suatu yang perlu untuk diperhatikan. Tampaknya hanya kemaslahatanlah yang mendasari ketetapan ini dan tidak banyak kepentingan Negara untuk ikut mengaturnya, sehingga peraturan ini hanya bersifat “anjuran”. Bila dikaitkan dengan fiqih klasik, hal ini terlihat tidak banyak berubah.  Perkawinan perempuan yang belum baligh (bila batasan usiah pernikahan tersebut boleh dikiaskan dengan kedewasaan, bulug), hampir semua fuqaha menyatakan keabsahannya. “Anjuran” di atas sama dengan satu riwayat dari asy-Syafi’I yang menyebutkan bahwa saya lebih senang jika seorang ayah tidak menikahkan anak perempuannya sebelum baligh.
Masih terkait dengan usia antara calon pengantin, juga ditetapkan bahwa perbedaan usia antara kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari 20 tahum, kecuali bila calon perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam pandangan fuqaha klasik, tidak ada larangan seperti ini. Preseden yang sering dijadikan rujukan adalah perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang berbeda usia keduanya sangat jauh pada saat pernikahan.

4.      Republik Tunisia
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 undang-undang 1956, yang mana sebelum diubah, ketentuan usia pernikahan adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki.
Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 tahun harus mendapat izin dari walinya. Jika sang wali tidak memberi izin, perkara tersebut dapat diputuskan oleh pengadilan. Akan tetapi pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah, yaitu bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, seseorang laki-laki harus sudah mencapai usia 20 tahun dan wanita telah mencapai umur 17 tahun. Sehingga bagi mereka yang belum sampai batasan usia tersebut, harus mendapat izin khusus dari pengadilan. Izin tidak dapat diberikan kalu tidak alas an yang kuat dan keinginan yang jelas dari masing-masing pihak. Di sampng itu, pernikahan di bawah umur, tergantung kepada izin wali. Jika wali menolak memberikan izin padahal para pihak sudah berhasrat kuat untuk menikah,perkara dapat diputuskan pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-ketentuan di dalam kitab fiqih maliki. Sebab tidak ada batasan yang jelas mengenai usia nikah ini dalam kitab-kitab tersebut.

5.      Maroko
Batasan minimal usia kawin di Maroko bagi laki-laki 18 tahun sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan izin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan.
Pembatasan demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam Al-Quran, al-Hadist maupun kitab-kitab Fiqih. Hanya saja para ulama mazhab sepakat bahwa baligq merupakan salah satu syarat bolehnya perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara syafi’I dan hanbali menentukan umur 15 tahun, sedangkan Hanafi yang membedakan batas usia umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun sedangkan permpuan 17 tahun. Batasan ini merupakan batasan maksimal, sedangkan batasan minimal adalah laki-laki 15 tahun dan perempuan 9 tahun, dengna alas an bahwa pada umur itu ada laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma da nada perempuan yang sudah haid sehingga bisa hamil.
Dalam hal ini nampaknya Maroko mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’I dan Hambali. Batas umur 15 tahun bagi wanita Turki, Yordania dan Yaman Utara.

6.      Aljazair
Pembentukan hukum keluarga di Aljazair diantaranya bermaksud meningkatkan usia nika bagi kedua calon mempelai. Hukum keluarga 1984 dengan tugas memperlihatkan hal ini. Pada pasal 7 secara jelas ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai perempuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan dengan usia nikah yang terdapat dalam hukum keluarga di Negara-negara Islam lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas minimum usia nikah.[12]
Dalam Nash (Al-Quran dan Hadist) tidak terdapat ketentuan  yang secara ekslipisit menetapkan batasan usia nikah. Para ahli fiqih juga tidak membahas usia nikah. Barangkali melacak pendapat mereka dapat dilakukan dengan mengaitkan usia baligh, karena baligh adalah syarat bagi calon mempelai untuk dapat melangsungkan pernikahan. Dalam hal ini, Maliki menetpakan usia 17 tahun. Namun demikian, pernikahan bagi yang masih di bawah usia 17 tahun dianggap sah, kalau menurut wali dapat mendatangkan kebaikan bagi yang bersangkutan.[13]
Dapat di duga ketentuan suia nikah yang terdpaat dapam perundang-undangan Aljazair ini murni atas pertimbangan yang lebih bersifat sosiologis, sebab ketentuan ini tidak di ambil dari pandangan mazhab di luar Maliki. Mazhab Hanafi yang disinyalir menempati posisi kedua di Aljazair setelah mazhab Maliki, menetapkan usia baligh yang lebih rendah dari batasan ini, yakni 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
Jadi, dalam batasan usia nikah Aljazair melakukan reformasi extra dektrinal, yaitu keluar dari pendapat yang berkembang di kalangan pemikir hukuk Islam (mazhab), seterusnya membuat keputusan hukum baru melalui ijtihad, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip hukum islam.
Aturan usia nikah 20 tahun bagi laki-laki, 28 tahun bagi perempuan dapat saja diabaikan hakim atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan dan atas pertimbangan demi kebaikan para calon.

7.      Afganistan
Perlakuan Undang-undang mengenai perkawinan anak tampak bahwa pakar hukum Afganistan mengikuti dua tujuan dalam masalah ini yaitu pembatasan dan pelanggaran secara tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap praktik-pratik perkawinan anak saat menguatkan legalitas perkawinan anak, atau mencoba menghapus praktek perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hkum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-udangan untuk membatasi praktik perkawinan anak.
Tidak ada ketentuan jumlah umur layak nikah dalam Syariah. Merupakan prinsip umum kedewasaan untuk menikah ditenggarai dengan adanya masa puberitas secara fisik. Hukum sipil 1977 menetpakan bahwa “konfensasi” untuk menikah adalah ketik sudah mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita. Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh Qhadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis dibawah umur 17 tahun bagaimana pun keadaanya. Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat terhapus dan kekuasaan wali memaksa wanita hanya berlaku dengan memperhatikan kondisi gadi-gadi antara umur 15 dan 16 tahun, walupun begitu hal ini pun masih bergantung kepada izin dari pengadilan.
Pada tahun 1978 Majelis Revolusuiner menerbitkan sebuah keputusan nomor 7 mengenai perkawinan anak. Di bawah keputusan ini, ketentuan perkawinan gadis di bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan pelanggaran dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.

8.      Somalia
Di dalam kitab-kitab hukum keluarga klasik disebutkan bahwa pria dapat melangsungkan pernikahan jika ia telah “mimpi (ihtilam) dan untuk wanita telah mengalami mentruasi (haid). “Mimpi dan menstuasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita tersebut telah dewasa tau akil baligh. Peristiwa “mimpi” dan menstruasi umumnya akan dialami oleh mereka pada usia 13-14 tahun, tergantung pada kondisi alam di suatu tempat dan masyarakat tertentu.
Somalia menetapkan umur minimal 18 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita untuk melangsungkan perkawinan.  Hanya saja dalam kondisi tertentu pihak pengadilan dapat memberikan izin nikah bagi pasangan yang belum cukup umur. Selain itu Somalia juga mengatur pernikahan di bawah umur bagi wanita dengan beberapa persyaratan. Seseorang fadis yang belum mencapai umur di dalam perkawinan dapat diwakili oleh ayahnya dan jika ayahnya tidak ada, oleh ibunya, kakek saudara tertua atau paman. Jika mereka tidak ada atau berada jauh dari 100 km dari tempat dilangsungkan perkawinan, pengadilan atau petugas yang diberikan kuasa dapat bertindah sebagai wali.
D.    Anlisa Penulis
Pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan Negara-negara Muslim atau Negara yang perpenduduk Muslim terus berkembang. Dalam hal batas usia perkawinan, Negara-negara tersebut menetapkan sendiri sesuai dengan unsur kemaslahatan.
Ini terjadi kerena tidak ada penjelasan secara kongrit dalam Al-Quran dan Hadist tentang umur yang membolehkan seseorang untuk melakukan pernikahan.
Dalam beberapa ayat dan Hadist hanya dinyatakan bahwa, seseorang yang hendak melakukan pernikahan harus baligh. Laki-laki yang telah baligh ditandi dengan telah “mimpi” dan perempuan dengan telah datang haid.
Di Indonesia penjelasan tentang batas usia pernikahan dijelaskan oleh Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.

E.     Kesimpulan

Batas usia perkawinan di Negara-negara Muslim :
1.      Dalam Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendah nikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
2.      Somalia menetapkan umur minimal 18 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan untuk dapat melangsungkan perkawinan.
3.      Afganistan untuk menikah adalah ketika sudah mencapai umur 18 tahun unutk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan.
4.      Aljazair menetapkan mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai wanita 18 tahun.
5.      Sedangkan Maroko menetapkan bagi laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun.
6.      Ketentuan usia pernikahan di Tunisia adalah 17 tahun bagi Perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki.
7.      Yaman Selatan juga diterapkan adanya batasan minimal usia nikah, yakni 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
8.      Iran usia minimal boleh melaksankan perkawinan bagi pria adalah 18 tahun dan bagi wanita adalah 15 tahun.
9.      Sedangkan Indonesia menetpakan susuai pasal 7 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 adalah :
(1)   Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.


[1] Titik Triwulan dan Tranto, Pologami perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), Hal. 2
[2] M. Attho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Pres, 2003), hal. 10
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawnan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 67
[4] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal. 35
[5] Lili Rasjidi, Hukum Perkwinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 111
[6] R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), hal. 41
[7] Yahya Harahap, op cit, hal. 36
[8] Wila Chandrawila Supriadi, Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 75
[9] Muhammad Amin al-Shahir bi Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muktar, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 599
[10] M. Attho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, op cit, hal. 43
[11] Ibid, hal. 60
[12] M. Attho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Jihat, antara Tradisi dan Liberalisasi, (Yokyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), hal. 179
[13] Abdur Rahman al-jaziri, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Solo: Toko Kitab AS, tt), juz IV, Hal. 52

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus