Sabtu, 28 Desember 2013

KEDUDUKAN NAFKAH



I.      PENDAHULUAN
Agama Islam telah memberikan beberapa ketentuan mengenai kewajiban suami isteri di dalam keluarga, bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami semenjak akad perkawinan dilakukan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mempositifkan hukum Islam di Indonesia, mengatur mengenai kewajiban suami memberi nafkah untuk keperluan hidup keluarga. Ketentuan lain yang ada dalam KHI erat kaitannya dengan pelaksanaan kewajiban suami memenuhi nafkah adalah adanya pengaturan harta kekayaan perkawinan. Menurut KHI, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai secara penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan kekuasaan penuh tetap ada padanya. Konsep harta bersama ini ternyata juga diakui oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974, serta KUH Perdata. Sedangkan Al-Qur’an dan hadis di satu sisi tidak memberikan ketentuan dengan tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama perkawinan berlangsung sepenuhnya menjadi hak suami, dan hak isteri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suami.
Ketentuan kewajiban suami memberi nafkah menimbulkan suatu persoalan apabila dikaitkan dengan ketentuan harta bersama. Suami yang mempunyai kewajiban memberi nafkah harus menerima suatu aturan harta bersama yang mempunyai konsekuensi pembagian harta bersama dengan bagian berimbang dan penggunaan harta bersama harus mendapat persetujuan suami isteri. Persoalan lain yang muncul adalah mengenai pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah termasuk dalam institusi harta bersama atau berdiri sendiri. Sehingga, kedua aturan tersebut dapat menimbulkan celah-celah hukum yang dapat merusak asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Untuk lebih jelasnya bagaimana konsep harta bersama ini dalam pandangan hukum Islam, serta bagaimana pengaruhnya terhadap kewajiban memberikan nafkah bagi suami, berikut akan diulas satu persatu.



II.   PEMBAHASAN
          A.    Nafkah
1.      Pemahaman tentang Nafkah
Kata nafkah berasal dari  bahasa Arab yang asal katanya dari mashdar انفاق , yang berarti الإخراج, kata ini tidak digunakan kecuali untuk yang baik saja. Adapun bentuk jama’-nya adalah نفقـات . secara bahasa berarti:
ما يُنفقُه الإنسانُ على عيالِه .[1]
“Sesuatu yang dikeluarkan manusia untuk tanggungannya”
Adapun menurut istilah syara’ nafkah adalah:
كفاية مَن يمونه من الطعامِ والكسوةِ والسكنى .[2]
“Mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggung jawabnya berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal.”
اخراجُ الشخص مؤنةً مَن تجبُ عليه نفقة من خبزٍ، وإدامٍ ، وكسوة ، ومسكن ، وما يتبع ذلك من ثمنِ ماءٍ، ودهن ، ومصباح وغير ذلك.[3]
“Pengeluaran seseorang atas sesuatu sebagai ongkos terhadap orang yang wajib dinafkahinya, terdiri dari roti, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal, dan apa yang mengikutinya seperti harga air, minyak, lampu dan lain-lain.”

Pada dasarnya nafkah ada dua macam:
   a)      Nafkah yang diwajibkan kepada manusia untuk dirinya, apabila dia mampu dia mesti memberikan nafkah kepada yang lainnya. Hal ini berlandaskan kepada hadits nabi dari Jabir: ابدأ بنفسك ، ثم بمن تعول (mulailah dari dirimu, kemudian baru pada orang yang disekelilingmu.HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i), artinya berikan kepada orang yang wajib engkau nafkahi.
   b)       Nafkah yang diwajibkan kepada manusia untuk kebutuhan orang lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni “al-Zaujiyyah (pernikahan), al-Qarabah (kekerabatan), dan al-Milk (kepemilikan)”.[4]
Nafkah istri menjadi kewajiban bagi suami untuk memenuhinya dikarenakan sudah menjadi tanggungannya, nafkah kerabat wajib dipenuhi oleh kerabatnya disebabkan hubungan darah dan mahram, sedangkan nafkah seorang hamba wajib dipenuhi oleh tuannya disebabkan karena kepemilikan.[5]

2.      Dasar Hukum Nafkah
Nafkah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkan sebagimana yang terdapat dalam al-Qur’an adalah:
وعلى المولودِ له رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف ، لا تكلَّفُ نفس إلا وسعها....
“Dan kewajiban ayah member makan dari pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 233)
لِيُنْفِقْ ذو سعةٍ من سَعَتِه ، ومَنْ قُدِرَ عليه رزقُه ، فلينفقْ مما آتاه اللهُ لا يكلف الله نفسا إلا ما آتاها..
“Hendaklah orang yang mampu member nafkah menurut kemampuannya. Dan orang-orang yang disempitkan rezekinya hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan sesuai dengan kadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (at-Thalaq: 7)
Adapun landasan wajibnya memberikan nafkah yang bersumber dari hadits Nabi, sebagaimana sabda beliau pada waktu haji wada’ berikut:
اتقوا اللهَ فى النساءِ ، فإنّكم أخذتموهن بكلمة الله ، واستحْلَلْتُمْ فروجَهن بكلمة الله ، ولكم عليهن ألا يُوْطِئْنَ فُرُشَكم أحدا تكرهونه ، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مُبَرَّحٍ ، ولهن عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف.
“Takutlah kepada Allah terkait perempuan. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan kalimat (ikatan perjanjian) Allah dan kemaluan mereka dihalalkan bagi kalian dengan kalimat Allah. Hak kalian yang harus mereka penuhi adalah mereka tidak boleh mempersilahkan seorang pun yang tidak kalian sukai berada di ranjang kalian. Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras (sebagai pelajaran). Dan hak mereka yang harus kalian penuhi adalah member mereka makan dan pakaian dengan selayaknya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sofyan datang mengadu kepada Rasululullah:
يا رسول الله ، إن أبا سفيان رجل شحيح ، لا يعطينى من النفقة ما يكفينى ويكفى بنى ، إلا ما آخذ من ماله بغير علم ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خذى من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفى بنيك.
“Wahai Rasulullah., sesungguhnya Abu Sofyan seorang laki-laki yang kikir, dia tidak member nafkah kepadaku dan juga anakku selain apa yang akau ambil darinya tanpa pengetahuannya. Lalu Rasulullah bersabda: “ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan sepatutnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping dalil dari al-Qur’an dan hadits yang disebut di atas, kaum muslimin dari golongan Fuqaha’ sejak masa Rasulullah sampai saat ini sepakat bahwa seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya untuk kelangsungan hidup berumahtangga.
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi.[6] Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk materi disebut dengan nafkah lahir. Dalam bahasa yang tepat nafkah ini tidak ada lahir atau batin. Yang ada hanya nafkah yang maksudnya adalah hal-hal yang bersifat lahiriyah atau materi.[7]
Kewajiban memberi nafkah oleh suami kepada istrinya yang berlaku di dalam fiqh didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki; rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya seami berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk memebuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh karena itu, kewajiban nafkah tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti prinsip penggabungan harta dalam rumah tangga.[8]
Dalam hukum positif Indonesia, permasalahan nafkah atau pemenuhan kebutuhan keluarga juga telah diatur dan dinyatakan menjadi kewajiban suami. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 34 ayat (1) dan dipertegas oleh KHI Pasal 80 ayat (4). Keberadaan nafkah tentu mempunyai pengaruh dan fungsi yang sangat besar dalam membina keluarga yang bahagia, tenteram dan sejahtera. Tidak terpenuhi nafkah sama sekali atau nafkah yang tidak cukup dapat berakibat krisis perkawinan yang berujung pada perceraian.
Adanya aturan tentang nafkah dalam KHI maupun UU No. 1 Tahun 1974 menimbulkan suatu persoalan tatkala  dikaitkan dengan pengakuan harta bersama oleh suami istri ketika terjadi perceraian. Dengan melihat Pasal 1 huruf (f) KHI dan pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menunjukkan bahwa kualifikasi yang dipakai  dalam merumuskan harta bersama adalah dengan menggunakan masa perkawinan yang sah. Selama harta itu diperoleh dalam perkawinan yang sah, maka menjadi harta bersama dengan merujuk pada ketentuan harta bersama yang ada dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974. Akan tetapi keduanya memberi batasan bahwa harta yang diperoleh karena hadiah dan warisan menjadi harta pribadi masing-masing selama dimaksudkan untuk itu (Pasal 36 ayat 1).
Ketentuan harta bersama tersebut telah diatur dalam KHI pasal 85-97, maupun dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35-37.ketentuan harta bersama dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 ini tidak terlepas dari realitas masyarakat Indonesia tentang harta bersama dengan istilah yang beragam. Adapaun istilah harta bersama di Jawa Timur disebut dengan gono-gini, di Minangkabau disebut harta surang, di Banda Aceh disebut hareuta-seuhareukat.[9]
Jika dicermati, ketentuan mengenai harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI maupun UU No. 1 Tahun 1974 terlihat bahwa suami yang mempunyai kewajiban memberi nafkah harus menerima suatu aturan harta bersama yang mempunyai konsekuensi pembagian harta bersama dengan bagian berimbang, dan penggunaan harta bersama harus mendapatkan persetujuan suami istri. Persoalan lain yang muncul adalah mengenai pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah termasuk dalam harta bersama atau berdiri sendiri. Sehingga kedua aturan tersebut dapat menimbulkan celah-celah hukum yang dapat merusak asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.

    B.     Harta Bersama
Menurut pasal 35 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, harta bersama suami istri hanya meliputi harta-harta yang diperoleh suami istri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik dikarenakan kematian (cerai mati) atau karena perseraian (cerai hidup).
Konsep harta bersama  beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqh (hukum Islam). Masalah harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu, karena masalah harta bersama baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh Islam klasik, isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.
Secara umum, hukum islam (Al-Qur’an, Sunnah, dan Fiqh) tidak melihat adanya harta bersama. Hukum Islam  lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami memberikan sebagian hartanya itu kepada istrinya atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan harta, kecuali dalam bentuk syirkah, yang untuk itu dilakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.[10]
Bila dalam majelis akad nikah dibuat perjanjian untuk penggabungan harta, apa yang diperoleh suami atau istri menjadi harta bersama, baru terdapat harta bersama  dalam perkawinan. Dengan demikian telah terjadinya akad nikah tidak dengan sendirinya terjadi harta bersama. Akan tetapi harta bersama dalam perkawinan dapat terjadi dan hanya mungkin terjadi dalam dua bentuk, yaitu: Pertama, adanya akad syirkah antara suami istri, baik dibuat saat berlangsungnya akad nikah atau sesudahnya. Kedua, adanya perjanjian yang dibuat untuk itu pada waktu berlangsungnya akad nikah.[11]
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif hukum Islam tentang harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam  rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang Arab yang pada umumnya tidak mengenal pencaharian bersama suami istri. Yang dikenal adalah istilah syirkah atau pengkongsian.
Khoiruddin Nasution menyatakan, bahwa hukum Islam mengatur sistem terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara hukum.[12]
Ahmad Azhar Basyir  berpendapat bahwa hukum Islam memberikan pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri.[13]
Dari dua pandangan pakar di atas dapat dilihat, bahwa memang ketentuan Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri itu sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit. Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta bersama tidak disinggung secara jelas dan  tegas  dalam hukum Islam, sehingga terbuka bagi ahli hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas.
Harta bersama dapat di-qiyas-kan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan domestik lainnya.
Harta bersama didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka, harta bersama dikategorikan sebagai syirkah mufaawadhah atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah mufaawadlah karena perkongsian suami istri dalam harta bersama itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama perkawinan mereka termasuk dalam harta bersama. Warisan dan pemberian merupakan pengecualian. Sedangkan harta bersama disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya.
Dalam fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah merupakan bagian dari syirkah ‘uqud. Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama merupakan bentuk syirkah sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Amir Syarifuddin terdahulu. Karena mengandung pengertian bentuk kerjasama atau pengkongsian antara suami dan istri. hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah dalam harta bersama merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, yang dipenuhi mawaddah dan rahmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
Selanjutnya kalau ditinjau dari Ketentuan Undang-undang perkawinan, harta bersama perkawinan dirinci oleh KHI dalam pasal 85 sampai dengan 97. Sedangkan berkenaan dengan harta pribadi suami istri yang dibawa ke dalam rumah tangga dan harta yang diperoleh selama dalam perkawinan yang ditetapkan bersama dengan jalan akad syirkah atau melalaui perjanjian dalam perkawinan, diatur dalam Bab VII Pasal 35, 36, dan 37 UU Perkawinan.
Kalau dipahami lebih lanjut, maka dapat disimpulkan bahwa harta bersama ini terdiri dari: hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri, dan hasil dan pendapatan dari harta pribadi dari suami ataupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk kepada harta bersama asalkan kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan.[14] Sedangkan harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan  dilangsungkan dan tidak termasuk kedalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain.[15] Harta pribadi ini meliputi: harta bawaan suami/istri, harta hibahan suami/istri, dan harta warisan suami/istri.[16]
Kedudukan harta bersama dalam hukum perkawinan Indonesia diatur pada Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan dapat dipergunakan atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan harta bawaan, hadiah, dan warisan tetap di bawah penguasaan masing-masing dan merupakan hak sepenuhnya sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[17]
Oleh karena itu, harta bersama merupakan harta perkawinan yang dimiliki suami istri secara bersama-sama. Yakni, harta baik bergerak maupun tidak bergerak yang diperoleh sejak terjalinnya hubungan suami istri yang sah, yang dapat dipergunakan oleh suami dan istri untuk membiayai keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga. Karena itu, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Awal terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ini, karena masih adanya prinsip masing-masing suami dan istri untuk berhak menguasai harta bendanya sendiri, sebagaimana halnya sebelum mereka menjadi suami istri, kecuali harta bersama yang tentunya dikuasai bersama.[18]
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 dan 36 di atas, maka UU No. 1 Tahun 1974 tidak menganut asas percampuran atau penyatuan harta akibat adanya perkawinan, sehingga harta bawaan, hadiah, dan warisan suami dan istri terpisah dan tetap di bawah penguasaan masing-masing dan merupakan hak sepenuhnya, sepanjang para pihak tidak menentukan lain melalui perjanjian perkawinan. Sedangkan harta bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, menjadi milik bersama suami istri, tanpa mempersoalkan siapakah sesungguhnya yang menguras jerih payahnya untuk memperoleh harta tersebut serta dikuasai dan dikelola secara bersama dan masing-masing suami istri merupakan pemilik bersama atas harta bersama tersebut.
Semua pendapatan atau penghasilan suami istri selama ikatan perkawinan, selain harta asal dan/atau harta pemberian yang mengikuti harta asal adalah harta bersama. Tidak dipermasalahkan apakah istri ikut aktif  bekerja atau tidak, walaupun istri hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan yang bekerja suami sendiri.[19] Apabila nanti perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.[20] Adapun yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Ketentuan di atas berbeda dengan Pasal 119 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri.[21] Dengan demikian, sejak mulai perkawinan sudah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (algehele gemeenschap van goederen) kalau tidak diadakan suatu perjanjian. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Kalau orang ingin menyimpan dari peraturan tersebut, maka harus diletakkan keinginannya itu dalam suatu perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian itu, harus diadakan sebelum perkawinan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris. Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan itu tetap, demi melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga.[22] Ketika terjadi perceraian, maka harta bersama ini dibagi dua antara suami istri tanpa perlu memperhatikan dari pihak mana barang-barang itu dahulu diperoleh.[23]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 85 yang berbunyi: “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.” Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa harta yang diperoleh suami dan istri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya suami saja yang bekerja. Sedangkan istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anaknya di rumah. Ketika mereka terikat perjanjian perkawinan sebagai suami istri, maka semuan menjadi bersatu, baik harta benda perkawinan maupun anak-anak. Tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab Kabul dan jika sudah memenuhi persyaratan-persyaratan lainnya sudah dianggap adanya syirkah antara suami dan istri tersebut.
Yahya Harahap menjelaskan, bahwa jika ditinjau sejarah terbentuknya harta bersama, telah terjadi perkembangan hukum adat terhadap harta bersama didasarkan pada syarat ikutsertanya istri secara fisik dalam membantu pekerjaan suami. Jika istri tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan. Dalam perjalanan sejarah lebih lanjut, pendapat tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan berkembangnya pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi di segala bidang. Menanggapi kritik tersebut, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru, klimaksnya pada tahun 1950 mulai lahirlah produk pengadilan yang mengesampingkan syarat istri harus aktif secara fisik mewujudkan harta bersama. Syarat tersebut diubah dengan nilai baru seperti yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 51 K/SIP./1956 tanggal 7 November 1956.[24]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa Undang-undang telah menentukan suatu akibat hukum perantara dari akad nikah dengan pemilikan harta yaitu penentuan bersyarikat. Dua orang suami dan istri oleh undang-undang dipandang sebagai pasangan yang bermu’amalat mengadakan syirkah. Padangan yang demikian tidaklah salah, karena al-Qur’an dan Hadits tidak mengatur secara tegas mengenai hal ini, oleh Karena itu, ia merupakan permasalahan ijtihadi dan didukung dengan adanya kemaslahatan yang nyata, yakni kepastian hukum bagi harta keluarg yang suatu saat akan ada kemungkinan dibagi berhubung adanya salah satu yang meninggal atau terjadi perceraian. Di samping itu memperkuat pandangan itu adalah adanya perintah mu’asyarah bil ma’ruf dan hidup tolong menolong antara suami dan istri. Tanpa ijab dan Kabul yang nyata, syirkah telah dianggap terjadi dan porsi atau saham masing-masing akan berimbang menurut kondisi dan situasi mereka dalam berkarya bersama, atau  mungkin berimbang, dan lainnya.[25]
Keberadaan harta bersama dalam perkawinan semata-mata ditujukan untuk  memenuhi kebutuhan suami dan istri secara bersama-sama beserta anak-anak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus atas persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara sepihak dan semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada persangkaan atau terindikasi adanya tindakan penyalahgunaan oleh salah satu pihak di antara suami atau istri, dengan memindahtangankan kepada pihak lain, memboroskan atau menggelapkan atas harta bersama tersebut, maka undang-undang memberikan jaminan agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu tetap terlindungi dan terjaga melalui upaya “penyitaan” atas permohonan yang diajukan pihak suami atau istri serta pihak yang berkepentingan kepada pengadilan.

C.    Kewajiban Nafkah Setelah Munculnya Konsep Harta Bersama
Suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga. Untuk membentuk sebuah keluarga yang ideal, penuh kebahagiaan dan kesejahteraan haruslah ditopang dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing pihak dalam sebuah keluarga tersebut. Kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari seorang isteri, anak-anak maupun suami sendiri harus diperhatikan. Pengabaian terhadap kebutuhan material sama halnya akan membiarkan terbukanya peluang keretakan dalam sebuah keluarga.
Ketentuan nash menunjukkan bahwa beban perekonomian  keluarga dibebankan kepada suami. Suami wajib memenuhi nafkah untuk isteri dan anak-anaknya sesuai dengan kelayakan dan tingkat kemampuan yang dimiliki. Suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Di samping itu, perlunya peran seorang isteri untuk memberikan dukungan terhadap suami dalam mencari rezeki. Karena untuk mendapatkan rezeki, manusia harus bekerja keras dan mengerahkan segala daya dan upaya.[26] Dan di sinilah letak seorang isteri untuk terus memberikan semangat agar suami bekerja secara maksimal dan memperoleh hasil yang optimal pula.
Dengan munculnya konsep harta bersama dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974, maka secara otomatis konsep fiqh klasik tidak bisa lagi dijalankan untuk suami, dalam artian nafkah tidak lagi menjadi kewajiban seorang suami saja, melainkan juga menjadi kewajiban istri. Kedua aturan tersebut (KHI dan UU No. 1 tahun 1974) menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, lewat suatu pemikiran yang sederhana maka penghasilan yang diperoleh suami selama perkawinan adalah harta bersama. Konsekuensi yang muncul terhadap harta bersama adalah perbuatan hukum atas harta tersebut harus lewat persetujuan kedua belah pihak karena keduanya sama-sama mempunyai hak terhadap harta tersebut.
Untuk lebih jelasnya, menurut pemikiran penulis, paling tidak ada tiga hal konsekuensi yuridis  yang akan terjadi ketika konsep harta bersama diaplikasikan dalam keluarga masyarakat muslim di seluruh dunia, khususnya Indonesia yang secara jelas mengaturnya di dalam UUP dan KHI , yaitu:
1.      Nafkah menjadi tanggungjawab bersama suami istri. Alasannya adalah: pertama, bahwa ketentuan harta bersama menunjukkan bahwa suami istri sama-sama mempunyai peranan penting dalam ekonomi keluarga. Buktinya yaitu adanya ketentuan perbuatan hukum atas harta bersama berdasarkan kesepakatan suami istri dan masing-masing suami istri mempunyai bagian yang sama apabila perkawinan putus. Kedua, jika definisi harta bersama menjadikan seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, maka secara yuridis maka menimbulkan persoalan hukum tatkala istri menuntut bahwa yang diberikan selama perkawinan yang dimaksud suami sebagai nafkah adalah harta bersama.
2.      Pemisahan harta suami istri dalam perkawinan. Jika KHI dan UUP tetap menggunakan ketentuan pemenuhan harta menjadi kewajiban suami, maka kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara penuh dengan dipakainya konsep harta terpisah dalam perkawinan.
3.      Kompromi antara harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah. Ini dilakukan dengan memberi penambahan aturan dalam Pasal 80 KHI mengenai jenis harta yang dapat dipakai untuk memberi nafkah, yaitu harta pribadi dan atau harta yang diperoleh suami selama perkawinan. Dalam artian penunaian kewajiban suami memberi nafkah dapat dilakukan dengan menggunakan harta pribadinya dan atau dengan harta bersama dalam pengertian harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
Di sisi lain, kalau dicermati dalam kitab-kitab fiqh yang dikarang oleh ulama-ulama terdahulu, dapat dilihat bahwa memang nafkah itu merupakan kewajiban yang mesti dipenuhi oleh suami. Kewajiban memberikan nafkah ini bisa runtuh hanya disebabkan oleh beberapa hal berikut:

1.      Nusyuz
Pada dasrnya nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam keadaan yang biasa, dimana suami ataupun istri sama-sama melaksanakan kewajiban yang ditetapkan agama tidak ada masalah. Namun bila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka berhakkah ia menerima hak yang sudah ditentukan, seperti istri tidak menjalankan kewajibannya berhakkah menerima nafkah dari suaminya; sebaliknya suami tidak menjalankan kewajibannya, berhakkah menerima pelayanan dari istrinya; menjadi pembicaraan di kalangan ulama.
Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang disebut dengan nusyuz, menurut jumhur ulama suami tidak wajib memberikan nafkah dalam masa nusyuz-nya itu. Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafkah yang diterima istri itu merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami. Istri yang nusyuz hilang ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu ia tidak berhak atas nafkah selama masa nusyuz itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyuz itu berhenti.
Ulama zahiriyah berpendapat bahwa istri yang nusyuz tidak gugur haknya dalam menerima nafkah. Alasannya ialah nafkah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak pada dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada suaminya, ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
واللاتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا....
“Istri-istri yang kamu kawatirkan akan berbuat nusyuz beri pengajaranlah dia, dan pisahkan dari tempat tidur dan pukullah dia.  Bila ia telah taat kepadamu janganlah kamu mencari jalan (untuk menceraikannya)…”

2.      Wafat salah seorang suami atau isteri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka isteri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika isteri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya.[27]

3.      Murtad.
Apabila seorang isteri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya isteri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan isteri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah isteri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya.[28]

4.      Talak.
Para ahli fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang nafkah perempuan yang ditalak tiga. Imam Malik, Syafi,i dan Ahmad, berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak mendapat nafkah, namun menurut Malik dan Syafi,i ia masih berhak mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah isteri yang ditalak tiga masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.[29]

      D.    Pengaturan dan Aplikasi Harta Bersama di Negara-negara Muslim
Secara umum, baik fiqh klasik maupun hukum keluarga (Islam) modern menetapkan bahwa nafkah adalah kewajiban suami dan merupakan hak istri, meskipun dalam batas tertentu istri bisa membantu suaminya dalam mencari nafkah. Namun demikian, pengaturan dan penerapannya berbeda-beda di negara-negara Muslim. Untuk melihat hal tersebut Tahir Mahmood menjelaskan bahwa eksistensi hukum keluarga di dunia sebagai hukum posistif  mempunyai bentuk yang berbeda-beda, setidaknya ada tiga kategori Negara berdasarkan hukum keluarga yang dianut:[30]
1.      Negara yang menerapkan hukum keluarga tradisional (Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afghanistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain)
2.      Negara yang menerapkan hukum Islam sekuler (Turki, Albania, Tanzania, Minoritas Muslim Filipina)
3.      Negara yang menerapkan hukum Islam yang diperbaharui.
Kategori ketiga ini adalah Negara yang melakukan pembaruan substantif dan atau pembaruan peraturan. Pemaruan hukum keluarga Islam untuk pertama kalinya dilakukan di Turki, diikuti Lebanon dan Mesir. Negara Brunei, Indonesia, dan Malaysia juga termasuk kategori ini.
Tahir Mahmood mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki.  Namun sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab Hambali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hambal.[31]
Ini tidak dimaknai bahwa Saudi Arabia anti kepada Undang-undang yang bersifat tertulis. Sebab seperti yang diutarakan oleh Edwar Mortimer, sekalipun dalam teori hukum di Saudi Arabia bersifat abadi, yakni syariat Tuhan, namun tidak berarti bahwa suatu perundang-undangan dalam memenuhi suatu kebutuhan baru tidak dibenarkan. Sejak tahun 1950-an, memulai dekrit, kerajaan telah mengesahkan sejumlah peraturan yang meliputi berbagai segi kehidupan. Misalnya perdagangan, kebangsaan, pemalsuan, penyuapan, pertambangan, perubahan dan tenaga kerja, jaminan sosial dan pertahanan sipil.
Di Negara-negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh madhab yang dianutnya. Pelaksanaan pernikahan serta hal hal lain yang terkait dengannya seperti talak dan rujuk pada umumnya ditangani oleh para ulama atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang mengenai masalah keagamaan umat Islam.
Di Iran, masalah nafkah memegang pendapat madzhab Ja’fari, yakni suami berkewajiban memberikan nafkah pada istrinya. Nafkah ini meliputi sandang, pangan, tempat tinggal, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang layak. Jika seorang suami tidak memberikan nafkah tersebut, sang istri mengadukannya pada pengadilan. Selanjutnya pengadilan akan memerintahkan suami untuk memebrikan nafkah wajib pada istrinya. Jika sang suami tidak mematuhi perintang pengadilan, sang istri dapat menuntut perceraian pada pengadilan.[32]
Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip madzhab Maliki dalam hak istri untu mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci diatur dalam pasal-pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa istri diizinkan untuk membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan maksud untuk diminta ganti dari suami. Adapaun besarnya jumlah nafkah, tergantung kemampuan suami (pembayar) dan status istri, serta biaya hidup yang wajar (kepantasan) pada saat itu (pasal 52).[33]
Fiqh madzhab Maliki yang banyak dijadikan sumber rumusan Undang-undang Tunisa menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baligh. Pandangan itu berbeda dengan padangan Abu Hanifah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i yang tidak mensyaratkan  suami harus baligh.
 Menurut Undang-undang Yaman, nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi juga kewajiban bersama, sehingga kedua pasangan harus memberikan andil dalam mengupayakan pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka.[34] Bahkan biaya pernikahan saja, masing-masing harus ikut menanggung pembiayaan. Penyimpangan dari ketentuan ini  dapat ditolerir bila salah satu dari pasangan tersebut memang tidak mampu ikut menyumbang pembiayaan kehidupan mereka.
Penerapan Undang-undang ini terjadi karena kepentingan politik pemerintah menuntut kebijakan yang radikal-revolusioner untuk mengikis habis kekuatan konservatifme kelompok-kelompok oposan yang didukung oleh Saudi Arabia, Omman, dan Negara-negara lain yang tergabung dalam blok barat vis a vis blok timur-sosialis.[35]
Ketentuan ini benar-benar baru dalam hukum Islam, yang secara ekstrim menerapkan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam pola hubungan rumah tangga. Dalam masalah ketidak mampuan suami memberikan nafkah (minimal untuk kebutuhan pook), para fuqaha kebanyakan bahwa istri berhak mengajukan perceraian ke pengadilan, termasuk menurut fuqaha’ Syafi’iyah. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku sebaliknya, karena memang tidak ada kewajiban bagi istri untuk ikut menanggung biaya rumah tangga.
Negara Malaysia, merupakan salah satu negara yang mengakui prinsip harta bersama bagi suami dan istri. Bahkan mengenai hal ini telah pun diatur dalam Undang-undang Pentadbiran Harta Islam di Malaysia. Pensyari’atan harta pencarian bersama suami istri ini berdasarkan adat melayu yang telah lama diamalkan dan juga fatwa yang telah disiarkan di seluruh penjuru Malaysia.[36] Harta bersama ini diatur oleh Undang-undang AUKISWP 1984 (Akta 303) Pasal 58, dan dan Pasal 122  (2) EUKIS, EUKI Perak, dan Negeri Sembilan (N.9), dan EKIM.
Menurut hemat penulis, meskipun negara Malaysia menganut konsep harta bersama sebagaiana halnya Indonesia, tetapi dalam masalah nafkah, tetap menjadi kewajiban seorang suami. Hal ini karena istri dalam pandangan hukum Islam di Malaysia hanya sekedar menemani suami dan menjaga rumahtangga  dan keluarga ketika suami keluar mencari nafkah. Di dalam Peruntukan EKIM misalnyasekiranya terdapat suami gagal membayar nafkah kepada istrinya, maka si istri boleh mengemukakan tuntutan di Mahkamah Kadi. Ketika permintaan ini dikabulkan oleh Mahkamah Kadi, maka suami akan diperintahkan membayar nafkah tertentu dengan syarat si istri tidak ingkar (nusyuz) dengan mentaati suami. Ketika si istri ingkar, maka hilanglah haknya untuk memperoleh nafkah dari suami.[37]
Di Brunei Darussalam, Pembicaan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk kedalam ini adalah para istri, anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak diluar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi Besar.[38]
Demikian juga dengan Mesir, yang mengatur perkara nafkah ini ke dalam Undang-undang. Dalam Undang-undang Mesir suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan meskipun istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri untuk mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member nafkah jika istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alas an, atau pergi tanpa izin suaminya.[39]

III.    KESIMPULAN
1.      Hukum islam (Al-Qur’an, Sunnah, dan Fiqh) tidak melihat adanya harta bersama. Hukum Islam  lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami memberikan sebagian hartanya itu kepada istrinya atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan harta, kecuali dalam bentuk syirkah, yang untuk itu dilakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.
2.      Nafkah isteri bisa menjadi gugur menurut hukum Islam di atas, apabila akad nikah mereka ternyata batal atau fasid, isteri nusyuz yaitu isteri tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai seorang isteri, Isteri murtad, isteri melanggar larangan-larangan Allah yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri, seperti meningalkan tempat kediaman suami tanpa seizin suami, isteri dalam keadaan sakit yang oleh karena tidak bersedia serumah dengan suaminya, tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya, maka dia tetap mendapatkan nafkah,  Pada waktu akad nikah isteri masih belum baligh, dan ia masih belum serumah dengan suaminya.
3.      Dengan diterapkannya konsep harta bersama, maka nafkah menjadi tanggungjawab bersama suami istri.  Nafkah bisa saja menjadi kewajiban suami, namun harus diterapkan pemisahan harta suami istri dalam perkawinan, atau dengan dengan mengkompromikan antara harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah. Ini dilakukan dengan memberi penambahan aturan dalam Pasal 80 KHI mengenai jenis harta yang dapat dipakai untuk memberi nafkah, yaitu harta pribadi dan atau harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
4.      Pemberian nafkah yang terdapat didalam administrasi pernikahan di Indonesia ada dua macam: pertama, Prosedur pemberian nafkah mut’ah, yakni  kewajiban bekas suami bilamana perkawinan putus karena talaq, hal ini sesuai dengan pasal 149 ayat pertama pada Kompilasi Hukum Islam Buku I. kedua, Prosedur pemberian nafkah madhiyah, Pembahasan mengenai nafkah madhiyah ini berkaitan dengan kewajiban suami sebagaimana tercantum dalam pasal 80 ayat 4 pada Kompilasi Hukum Islam Buku I yakni: “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri. biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. biaya pendidikan bagi anak.
5.      Negara-negara muslim di dunia, kebanyakan belum mengenal konsep harta bersama. Sehingga penerapan harta bersama ini tidak di temukan di negara seperti Arab Saudi, Yaman, Kuwait, Afghanistan. Konsep harta bersama sejauh yang penulis ketahui baru di atur di negara Indonesia dan Malaysia dalam bentuk hukum positif. Sedangkan negara-negara muslim lainnya masih menerapkan konsep yang terdapat dalam nash dan fiqh klasik, yakni pemisahan antara harta suami dan harta istri.


[1] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), jilid II, cet. II, hal. 765
[2] Ibid, hal. 765
[3] Abdurrahman al-Jaziri, kitab al-Fiqh ‘ala Madzhabi al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1969), juz. IV, hal. 485
[4] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 765
[5] Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (t.t, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957), cet. III, hal. 269
[6] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hal. 765
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. II, hal. 165
[8] Ibid.,, hal. 165-166
[9] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet. IV, hal. 211
[10] Amir Syarifuddin, op.cit., hal. 175-176
[11] Ibid., hal 176
[12] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia dan TAZZAFA, 2005), hal 192
[13] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
[14] Satrio J, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1983), hal. 188
[15] Ibid, hal. 193
[16]  pasal 35 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974
[17] Lihat, Pasal 35, 36, dan 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1. Melalui pasal-pasal tersebut telah meningkatkan hukum adat mengenai pencaharian bersama suami istri menjadi hukum tertulis, sesuai dengan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tahun 1973 yang memerintahkan peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. II, hal. 45.
[18] Ismuha, Pencaharian Bersama ... op.cit., hal. 41-43.
[19] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), Cet. VII, hal. 60.
[20] Lihat penjelasan pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
[21] Solahuddin (Penghimpun), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (KUHP, KUHAP, & KUHPdt), (Jakarta: Visimedia, 2008), , Cet. I, hal. 253.
[22] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), Cet. XXXI,  hal. 31-39.
[23] Pasal 128 KUH Perdata
[24] Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Bandung; Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 194. Lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 November 1956, Reg. No. 51 K/SIP./1956 dinyatakan bahwa “menurut hukum adat semua adat yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatannya suami sendiri.” Ismuha, Pencaharian Bersama … Op.Cit., hlm. 137.
[25] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 113-114
[26] Ridha Bak Najjad, Hak dan Kewajiban Isteri dalam Islam, (Jakarta: Lentera Basrimata, 2002), cet. I, hal. 106.
[27] Wahbah al- Zuhaili, op.cit, hal . 7363. Menurut Djaman Nur, nafkah isteri menjadi gugur apabila: Akad nikah mereka ternyata batal atau fasid, Isteri nusyuz yaitu isteri tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai seorang isteri, Isteri murtad, Isteri melanggar larangan-larangan Allah yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri, seperti meningalkan tempat kediaman suami tanpa seizin suami, Isteri dalam keadaan sakit yang oleh karena tidak bersedia serumah dengan suaminya, tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya, maka dia tetap mendapatkan nafkah,  Pada waktu akad nikah isteri masih belum baligh, dan ia masih belum serumah dengan suaminya. Lihat Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), cet. III, hlm. 106.
[28] Wahbah al-Zuhaili, Ibid, hal. 7366
[29] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1985), jil. II, hal. 337
[30] Ahsan Dawi, dikutip dari Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi, PVT. LTD, 1972), hal. 3-8
[31] Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria,( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), hal.156
[32] M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
[33] Ibid., hal 90-91
[34] Ibid, hal. 76
[35] Ibid, hal. 78
[36] Dikutip dari http://joint-ownership-property.pdf, pada tanggal 11 Oktober 2013.
[37] Rahimin Affandi Abd. Rahim, dkk., Reformasi Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia: Satu Analisis Terhadap Gagasan Konsep Fiqh Semasa (edisi pdf)., Jurnal Syari’ah, Jil. 16, Tahun 2008, hal. 198.
[38] Undang-undang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77, yang sudah diamandemen tahun 1984, Bagian VII tentang Nafkah Tanggungan (mulai pasal 157-163)
[39] UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985.  Ahsan Dawi, dikutip dari Tahir Mahmood,Personal law, hal. 32.

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus