I.
PENDAHULUAN
Agama Islam telah memberikan beberapa ketentuan mengenai kewajiban suami
isteri di dalam keluarga, bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic need) keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah
merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah
keluarga. Dan nafkah wajib atas suami semenjak akad perkawinan dilakukan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mempositifkan hukum Islam di Indonesia, mengatur mengenai kewajiban suami
memberi nafkah untuk keperluan hidup keluarga. Ketentuan lain yang ada dalam
KHI erat kaitannya dengan pelaksanaan kewajiban suami memenuhi nafkah adalah
adanya pengaturan harta kekayaan perkawinan. Menurut KHI, pada dasarnya tidak
ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Harta isteri
tetap menjadi hak isteri dan dikuasai secara penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan kekuasaan penuh tetap ada padanya. Konsep harta
bersama ini ternyata juga diakui oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974, serta KUH
Perdata. Sedangkan
Al-Qur’an dan hadis di satu sisi tidak memberikan ketentuan dengan tegas bahwa
harta benda yang diperoleh suami selama perkawinan berlangsung sepenuhnya
menjadi hak suami, dan hak isteri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan
suami.
Ketentuan kewajiban suami memberi nafkah menimbulkan suatu persoalan
apabila dikaitkan dengan ketentuan harta bersama. Suami yang mempunyai kewajiban
memberi nafkah harus menerima suatu aturan harta bersama yang mempunyai
konsekuensi pembagian harta bersama dengan bagian berimbang dan penggunaan
harta bersama harus mendapat persetujuan suami isteri. Persoalan lain yang
muncul adalah mengenai pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah termasuk
dalam institusi harta bersama atau berdiri sendiri. Sehingga, kedua aturan
tersebut dapat menimbulkan celah-celah hukum yang dapat merusak asas kepastian
hukum dan keadilan masyarakat. Untuk lebih jelasnya bagaimana
konsep harta bersama ini dalam pandangan hukum Islam, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap kewajiban memberikan nafkah bagi suami, berikut akan
diulas satu persatu.
II.
PEMBAHASAN
A.
Nafkah
1. Pemahaman tentang Nafkah
Kata nafkah berasal dari bahasa Arab yang asal katanya dari mashdar انفاق , yang berarti الإخراج, kata ini tidak
digunakan kecuali untuk yang baik saja. Adapun bentuk jama’-nya adalah نفقـات . secara bahasa
berarti:
“Sesuatu yang dikeluarkan manusia untuk
tanggungannya”
Adapun menurut istilah syara’ nafkah
adalah:
كفاية مَن يمونه من
الطعامِ والكسوةِ والسكنى .[2]
“Mencukupi kebutuhan
orang yang menjadi tanggung jawabnya berupa makanan, pakaian, dan tempat
tinggal.”
اخراجُ الشخص مؤنةً مَن تجبُ عليه نفقة من خبزٍ، وإدامٍ
، وكسوة ، ومسكن ، وما يتبع ذلك من ثمنِ ماءٍ، ودهن ، ومصباح وغير ذلك.[3]
“Pengeluaran seseorang
atas sesuatu sebagai ongkos terhadap orang yang wajib dinafkahinya, terdiri
dari roti, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal, dan apa yang mengikutinya
seperti harga air, minyak, lampu dan lain-lain.”
Pada dasarnya nafkah ada dua macam:
a) Nafkah yang diwajibkan kepada manusia untuk
dirinya, apabila dia mampu dia mesti memberikan nafkah kepada yang lainnya. Hal
ini berlandaskan kepada hadits nabi dari Jabir: ابدأ بنفسك ، ثم بمن تعول (mulailah dari dirimu, kemudian baru pada orang
yang disekelilingmu.HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i), artinya
berikan kepada orang yang wajib engkau nafkahi.
b)
Nafkah yang diwajibkan kepada manusia untuk
kebutuhan orang lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni “al-Zaujiyyah
(pernikahan), al-Qarabah (kekerabatan), dan al-Milk (kepemilikan)”.[4]
Nafkah istri menjadi kewajiban bagi suami
untuk memenuhinya dikarenakan sudah menjadi tanggungannya, nafkah kerabat wajib
dipenuhi oleh kerabatnya disebabkan hubungan darah dan mahram, sedangkan nafkah
seorang hamba wajib dipenuhi oleh tuannya disebabkan karena kepemilikan.[5]
2. Dasar Hukum Nafkah
Nafkah merupakan kewajiban yang harus
ditunaikan oleh suami sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an, sunnah, dan
ijma’. Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkan sebagimana yang terdapat
dalam al-Qur’an adalah:
وعلى المولودِ له
رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف ، لا تكلَّفُ نفس إلا وسعها....
“Dan kewajiban ayah member makan dari pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”
(Al-Baqarah: 233)
لِيُنْفِقْ ذو سعةٍ من
سَعَتِه ، ومَنْ قُدِرَ عليه رزقُه ، فلينفقْ مما آتاه اللهُ لا يكلف الله نفسا
إلا ما آتاها..
“Hendaklah orang yang
mampu member nafkah menurut kemampuannya. Dan orang-orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan sesuai dengan kadar apa yang
Allah berikan kepadanya.” (at-Thalaq: 7)
Adapun landasan wajibnya memberikan nafkah
yang bersumber dari hadits Nabi, sebagaimana sabda beliau pada waktu haji
wada’ berikut:
اتقوا اللهَ فى النساءِ ، فإنّكم أخذتموهن بكلمة الله ،
واستحْلَلْتُمْ فروجَهن بكلمة الله ، ولكم عليهن ألا يُوْطِئْنَ فُرُشَكم أحدا
تكرهونه ، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مُبَرَّحٍ ، ولهن عليكم رزقُهن وكسوتُهن
بالمعروف.
“Takutlah kepada Allah
terkait perempuan. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan kalimat
(ikatan perjanjian) Allah dan kemaluan mereka dihalalkan bagi kalian dengan
kalimat Allah. Hak kalian yang harus mereka penuhi adalah mereka tidak boleh
mempersilahkan seorang pun yang tidak kalian sukai berada di ranjang kalian.
Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras
(sebagai pelajaran). Dan hak mereka yang harus kalian penuhi adalah member
mereka makan dan pakaian dengan selayaknya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hindun
binti ‘Utbah, istri Abu Sofyan datang mengadu kepada Rasululullah:
يا رسول الله ، إن أبا سفيان رجل شحيح ، لا يعطينى من
النفقة ما يكفينى ويكفى بنى ، إلا ما آخذ من ماله بغير علم ، فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : خذى من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفى بنيك.
“Wahai Rasulullah., sesungguhnya Abu Sofyan seorang
laki-laki yang kikir, dia tidak member nafkah kepadaku dan juga anakku selain
apa yang akau ambil darinya tanpa pengetahuannya. Lalu Rasulullah bersabda:
“ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan sepatutnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping dalil dari al-Qur’an dan hadits
yang disebut di atas, kaum muslimin dari
golongan Fuqaha’ sejak masa Rasulullah sampai saat ini sepakat bahwa seorang
suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya untuk kelangsungan hidup
berumahtangga.
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap
istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi.[6]
Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual
istri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap
istrinya. Kata yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini
adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk materi disebut dengan nafkah lahir.
Dalam bahasa yang tepat nafkah ini tidak ada lahir atau batin. Yang ada hanya
nafkah yang maksudnya adalah hal-hal yang bersifat lahiriyah atau
materi.[7]
Kewajiban memberi nafkah oleh suami kepada istrinya yang berlaku di dalam fiqh didasarkan
kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip ini mengikuti
alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki; rezeki yang telah
diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya seami
berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan
untuk memebuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh
karena itu, kewajiban nafkah tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti
prinsip penggabungan harta dalam rumah tangga.[8]
Dalam hukum positif Indonesia, permasalahan
nafkah atau pemenuhan kebutuhan keluarga juga telah diatur dan dinyatakan
menjadi kewajiban suami. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
pasal 34 ayat (1) dan dipertegas oleh KHI Pasal 80 ayat (4). Keberadaan nafkah
tentu mempunyai pengaruh dan fungsi yang sangat besar dalam membina keluarga
yang bahagia, tenteram dan sejahtera. Tidak terpenuhi nafkah sama sekali atau
nafkah yang tidak cukup dapat berakibat krisis perkawinan yang berujung pada
perceraian.
Adanya aturan tentang nafkah dalam KHI
maupun UU No. 1 Tahun 1974 menimbulkan suatu persoalan tatkala dikaitkan dengan pengakuan harta bersama oleh
suami istri ketika terjadi perceraian. Dengan melihat Pasal 1 huruf (f) KHI dan
pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menunjukkan bahwa kualifikasi yang
dipakai dalam merumuskan harta bersama
adalah dengan menggunakan masa perkawinan yang sah. Selama harta itu diperoleh
dalam perkawinan yang sah, maka menjadi harta bersama dengan merujuk pada
ketentuan harta bersama yang ada dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974. Akan tetapi
keduanya memberi batasan bahwa harta yang diperoleh karena hadiah dan warisan
menjadi harta pribadi masing-masing selama dimaksudkan untuk itu (Pasal 36 ayat
1).
Ketentuan harta bersama tersebut telah
diatur dalam KHI pasal 85-97, maupun dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 35-37.ketentuan harta bersama dalam KHI dan UU No. 1 Tahun
1974 ini tidak terlepas dari realitas masyarakat Indonesia tentang harta
bersama dengan istilah yang beragam. Adapaun istilah harta bersama di Jawa
Timur disebut dengan gono-gini, di Minangkabau disebut harta surang,
di Banda Aceh disebut hareuta-seuhareukat.[9]
Jika dicermati, ketentuan mengenai harta
bersama dan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI maupun UU No. 1 Tahun 1974
terlihat bahwa suami yang mempunyai kewajiban memberi nafkah harus menerima
suatu aturan harta bersama yang mempunyai konsekuensi pembagian harta bersama
dengan bagian berimbang, dan penggunaan harta bersama harus mendapatkan
persetujuan suami istri. Persoalan lain yang muncul adalah mengenai pelaksanaan
kewajiban suami memberi nafkah termasuk dalam harta bersama atau berdiri
sendiri. Sehingga kedua aturan tersebut dapat menimbulkan celah-celah hukum
yang dapat merusak asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.
B. Harta Bersama
Menurut pasal 35 Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, harta bersama suami istri hanya meliputi harta-harta
yang diperoleh suami istri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang
diperoleh selama tenggang waktu antara peresmian perkawinan sampai perkawinan
tersebut putus, baik dikarenakan kematian (cerai mati) atau karena perseraian
(cerai hidup).
Konsep harta
bersama beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian
fiqh (hukum Islam). Masalah harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum
tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama
fiqh terdahulu, karena masalah harta bersama baru muncul dan banyak dibicarakan
pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh Islam klasik, isu-isu yang sering
diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua hal inilah
yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.
Secara umum, hukum islam (Al-Qur’an, Sunnah, dan Fiqh)
tidak melihat adanya harta bersama. Hukum Islam
lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Apa yang
dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang
dihasilkan istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami memberikan
sebagian hartanya itu kepada istrinya atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya
digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan harta,
kecuali dalam bentuk syirkah, yang untuk itu dilakukan dalam suatu akad
khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.[10]
Bila dalam majelis akad nikah dibuat perjanjian untuk penggabungan
harta, apa yang diperoleh suami atau istri menjadi harta bersama, baru terdapat
harta bersama dalam perkawinan. Dengan
demikian telah terjadinya akad nikah tidak dengan sendirinya terjadi harta
bersama. Akan tetapi harta bersama dalam perkawinan dapat terjadi dan hanya
mungkin terjadi dalam dua bentuk, yaitu: Pertama, adanya akad syirkah
antara suami istri, baik dibuat saat berlangsungnya akad nikah atau sesudahnya.
Kedua, adanya perjanjian yang dibuat untuk itu pada waktu berlangsungnya akad
nikah.[11]
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif
hukum Islam tentang harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad
Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak
dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya
pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang Arab yang pada umumnya tidak mengenal
pencaharian bersama suami istri. Yang dikenal adalah istilah syirkah
atau pengkongsian.
Khoiruddin Nasution menyatakan, bahwa hukum
Islam mengatur sistem terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan
tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam
memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk membuat perjanjian
perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara hukum.[12]
Ahmad Azhar
Basyir berpendapat bahwa hukum Islam
memberikan pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki
harta benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak.
Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai
sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal
tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan yang mereka
miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan
suami istri.[13]
Dari dua pandangan
pakar di atas dapat dilihat, bahwa memang ketentuan Islam yang memisahkan harta
kekayaan suami istri itu sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri
apabila terjadi proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan
berbelit-belit. Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta bersama
tidak disinggung secara jelas dan tegas dalam hukum Islam, sehingga
terbuka bagi ahli hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas.
Harta bersama dapat
di-qiyas-kan sebagai syirkah karena dapat dipahami
bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak
ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan adalah
pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh anak dan
keperluan domestik lainnya.
Harta bersama
didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama
perkawinan berlangsung. Maka, harta bersama dikategorikan sebagai syirkah
mufaawadhah atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah
mufaawadlah karena perkongsian suami istri dalam harta bersama itu bersifat
tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama perkawinan mereka
termasuk dalam harta bersama. Warisan dan pemberian merupakan pengecualian.
Sedangkan harta bersama disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan
sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja
untuk nafkah hidup keluarganya.
Dalam fiqh mu’amalah, syirkah abdaan
ataupun syirkah mufaawadlah merupakan bagian dari syirkah ‘uqud. Syirkah
‘uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Dari penjelasan
diatas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama merupakan bentuk syirkah
sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Amir Syarifuddin terdahulu. Karena
mengandung pengertian bentuk kerjasama atau pengkongsian antara suami dan
istri. hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang bersifat
bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah dalam harta bersama
merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah
keluarga yang sakinah, yang dipenuhi mawaddah dan rahmah
termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
Selanjutnya kalau ditinjau dari Ketentuan
Undang-undang perkawinan, harta bersama perkawinan dirinci oleh KHI dalam pasal
85 sampai dengan 97. Sedangkan berkenaan dengan harta pribadi suami istri yang
dibawa ke dalam rumah tangga dan harta yang diperoleh selama dalam perkawinan
yang ditetapkan bersama dengan jalan akad syirkah atau melalaui
perjanjian dalam perkawinan, diatur dalam Bab VII Pasal 35, 36, dan 37 UU
Perkawinan.
Kalau dipahami lebih lanjut, maka dapat
disimpulkan bahwa harta bersama ini terdiri dari: hasil dan pendapatan suami,
hasil dan pendapatan istri, dan hasil dan pendapatan dari harta pribadi dari
suami ataupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk kepada harta
bersama asalkan kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan.[14]
Sedangkan harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada
saat perkawinan dilangsungkan dan tidak
termasuk kedalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain.[15]
Harta pribadi ini meliputi: harta bawaan suami/istri, harta hibahan suami/istri,
dan harta warisan suami/istri.[16]
Kedudukan harta bersama dalam hukum
perkawinan Indonesia diatur pada Pasal 35 dan Pasal 36
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan, bahwa harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan dapat dipergunakan
atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan harta bawaan, hadiah, dan warisan
tetap di bawah penguasaan masing-masing dan merupakan hak sepenuhnya sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.[17]
Oleh karena itu, harta bersama
merupakan harta perkawinan yang dimiliki suami istri secara bersama-sama.
Yakni, harta baik bergerak maupun tidak bergerak yang diperoleh sejak
terjalinnya hubungan suami istri yang sah, yang dapat dipergunakan oleh suami
dan istri untuk membiayai keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai
satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga. Karena itu, harta bersama adalah
harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Awal terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ini,
karena masih adanya prinsip masing-masing suami dan istri untuk berhak
menguasai harta bendanya sendiri, sebagaimana halnya sebelum mereka menjadi
suami istri, kecuali harta bersama yang tentunya dikuasai bersama.[18]
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 dan 36 di
atas, maka UU No. 1 Tahun 1974 tidak menganut asas percampuran atau penyatuan
harta akibat adanya perkawinan, sehingga harta bawaan, hadiah, dan warisan
suami dan istri terpisah dan tetap di bawah penguasaan masing-masing dan
merupakan hak sepenuhnya, sepanjang para pihak tidak menentukan lain melalui
perjanjian perkawinan. Sedangkan harta bersama yang diperoleh selama
dalam ikatan perkawinan, menjadi milik bersama suami istri, tanpa
mempersoalkan siapakah sesungguhnya yang menguras jerih payahnya untuk
memperoleh harta tersebut serta dikuasai dan dikelola secara bersama dan
masing-masing suami istri merupakan pemilik bersama atas harta bersama
tersebut.
Semua pendapatan
atau penghasilan suami istri selama ikatan perkawinan, selain harta asal
dan/atau harta pemberian yang mengikuti harta asal adalah harta bersama. Tidak dipermasalahkan apakah istri ikut
aktif bekerja atau tidak, walaupun istri
hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan yang bekerja
suami sendiri.[19] Apabila nanti perkawinan putus, maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.[20]
Adapun yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum
adat, dan kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Ketentuan di atas berbeda dengan Pasal 119
KUH Perdata yang menyatakan, bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka
menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh
tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau
diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri.[21] Dengan demikian, sejak mulai perkawinan
sudah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (algehele
gemeenschap van goederen) kalau tidak diadakan suatu perjanjian. Keadaan yang
demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama
perkawinan. Kalau orang ingin menyimpan dari peraturan tersebut, maka harus
diletakkan keinginannya itu dalam suatu perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden).
Perjanjian yang demikian itu, harus diadakan sebelum perkawinan ditutup di depan
Pegawai Pencatatan Sipil dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan itu
tetap, demi melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga.[22]
Ketika terjadi perceraian, maka harta bersama ini dibagi dua antara suami istri
tanpa perlu memperhatikan dari pihak mana barang-barang itu dahulu diperoleh.[23]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada
pasal 85 yang berbunyi: “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.” Dari
pasal ini dapat disimpulkan bahwa harta yang diperoleh suami dan istri karena
usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya
suami saja yang bekerja. Sedangkan istri hanya mengurus rumah tangga beserta
anak-anaknya di rumah. Ketika mereka terikat perjanjian perkawinan sebagai
suami istri, maka semuan menjadi bersatu, baik harta benda perkawinan maupun
anak-anak. Tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab
Kabul dan jika sudah memenuhi persyaratan-persyaratan lainnya sudah dianggap
adanya syirkah antara suami dan istri tersebut.
Yahya Harahap menjelaskan, bahwa jika
ditinjau sejarah terbentuknya harta bersama, telah terjadi perkembangan hukum
adat terhadap harta bersama didasarkan pada syarat ikutsertanya istri secara
fisik dalam membantu pekerjaan suami. Jika istri tidak ikut secara
fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama
menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan. Dalam
perjalanan sejarah lebih lanjut, pendapat tersebut mendapat kritik keras dari
berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan berkembangnya pandangan emansipasi
wanita dan arus globalisasi di segala bidang. Menanggapi kritik tersebut,
terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru, klimaksnya pada tahun
1950 mulai lahirlah produk pengadilan yang mengesampingkan syarat istri harus
aktif secara fisik mewujudkan harta bersama. Syarat tersebut diubah dengan
nilai baru seperti yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 51
K/SIP./1956 tanggal 7 November 1956.[24]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa Undang-undang telah menentukan suatu akibat hukum perantara dari
akad nikah dengan pemilikan harta yaitu penentuan bersyarikat. Dua orang suami
dan istri oleh undang-undang dipandang sebagai pasangan yang bermu’amalat
mengadakan syirkah. Padangan yang demikian tidaklah salah, karena
al-Qur’an dan Hadits tidak mengatur secara tegas mengenai hal ini, oleh Karena
itu, ia merupakan permasalahan ijtihadi dan didukung dengan adanya
kemaslahatan yang nyata, yakni kepastian hukum bagi harta keluarg yang suatu
saat akan ada kemungkinan dibagi berhubung adanya salah satu yang meninggal
atau terjadi perceraian. Di samping itu memperkuat pandangan itu adalah adanya
perintah mu’asyarah bil ma’ruf dan hidup tolong menolong antara suami
dan istri. Tanpa ijab dan Kabul yang nyata, syirkah telah dianggap
terjadi dan porsi atau saham masing-masing akan berimbang menurut kondisi dan
situasi mereka dalam berkarya bersama, atau
mungkin berimbang, dan lainnya.[25]
Keberadaan harta bersama dalam perkawinan
semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan suami dan istri secara
bersama-sama beserta anak-anak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus
atas persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara sepihak
dan semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada persangkaan atau terindikasi
adanya tindakan penyalahgunaan oleh salah satu pihak di antara suami atau
istri, dengan memindahtangankan kepada pihak lain, memboroskan atau
menggelapkan atas harta bersama tersebut, maka undang-undang memberikan jaminan
agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu tetap terlindungi dan terjaga
melalui upaya “penyitaan” atas permohonan yang diajukan pihak suami atau istri serta pihak yang
berkepentingan kepada pengadilan.
C.
Kewajiban Nafkah Setelah
Munculnya Konsep Harta Bersama
Suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi
tuntutan ekonomi keluarga. Untuk membentuk sebuah keluarga yang ideal, penuh
kebahagiaan dan kesejahteraan haruslah ditopang dengan terpenuhinya kebutuhan
masing-masing pihak dalam sebuah keluarga tersebut. Kebutuhan pangan, sandang,
tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari seorang isteri, anak-anak maupun suami
sendiri harus diperhatikan. Pengabaian terhadap kebutuhan material sama halnya
akan membiarkan terbukanya peluang keretakan dalam sebuah keluarga.
Ketentuan nash menunjukkan bahwa beban perekonomian
keluarga dibebankan kepada suami. Suami wajib memenuhi nafkah untuk isteri dan
anak-anaknya sesuai dengan kelayakan dan tingkat kemampuan yang dimiliki. Suami
harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang dapat mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarga. Di samping itu, perlunya peran seorang isteri untuk
memberikan dukungan terhadap suami dalam mencari rezeki. Karena untuk
mendapatkan rezeki, manusia harus bekerja keras dan mengerahkan segala daya dan
upaya.[26]
Dan di sinilah letak seorang isteri untuk terus memberikan semangat agar suami
bekerja secara maksimal dan memperoleh hasil yang optimal pula.
Dengan munculnya konsep harta bersama dalam
KHI dan UU No. 1 Tahun 1974, maka secara otomatis konsep fiqh klasik
tidak bisa lagi dijalankan untuk suami, dalam artian nafkah tidak lagi menjadi
kewajiban seorang suami saja, melainkan juga menjadi kewajiban istri. Kedua
aturan tersebut (KHI dan UU No. 1 tahun 1974) menyatakan bahwa harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, lewat suatu
pemikiran yang sederhana maka penghasilan yang diperoleh suami selama
perkawinan adalah harta bersama. Konsekuensi yang muncul terhadap harta bersama
adalah perbuatan hukum atas harta tersebut harus lewat persetujuan kedua belah
pihak karena keduanya sama-sama mempunyai hak terhadap harta tersebut.
Untuk lebih jelasnya, menurut pemikiran
penulis, paling tidak ada tiga hal konsekuensi yuridis yang akan terjadi ketika konsep harta bersama
diaplikasikan dalam keluarga masyarakat muslim di seluruh dunia, khususnya
Indonesia yang secara jelas mengaturnya di dalam UUP dan KHI , yaitu:
1. Nafkah menjadi tanggungjawab bersama suami
istri. Alasannya adalah: pertama, bahwa ketentuan harta bersama menunjukkan
bahwa suami istri sama-sama mempunyai peranan penting dalam ekonomi keluarga.
Buktinya yaitu adanya ketentuan perbuatan hukum atas harta bersama berdasarkan
kesepakatan suami istri dan masing-masing suami istri mempunyai bagian yang
sama apabila perkawinan putus. Kedua, jika definisi harta bersama menjadikan
seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, maka
secara yuridis maka menimbulkan persoalan hukum tatkala istri menuntut bahwa
yang diberikan selama perkawinan yang dimaksud suami sebagai nafkah adalah
harta bersama.
2. Pemisahan harta suami istri dalam
perkawinan. Jika KHI dan UUP tetap menggunakan ketentuan pemenuhan harta
menjadi kewajiban suami, maka kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara
penuh dengan dipakainya konsep harta terpisah dalam perkawinan.
3. Kompromi antara harta bersama dan kewajiban
suami memberi nafkah. Ini dilakukan dengan memberi penambahan aturan dalam
Pasal 80 KHI mengenai jenis harta yang dapat dipakai untuk memberi nafkah,
yaitu harta pribadi dan atau harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
Dalam artian penunaian kewajiban suami memberi nafkah dapat dilakukan dengan
menggunakan harta pribadinya dan atau dengan harta bersama dalam pengertian
harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
Di sisi lain, kalau dicermati dalam
kitab-kitab fiqh yang dikarang oleh ulama-ulama terdahulu, dapat dilihat bahwa
memang nafkah itu merupakan kewajiban yang mesti dipenuhi oleh suami. Kewajiban
memberikan nafkah ini bisa runtuh hanya disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1.
Nusyuz
Pada dasrnya nafkah
itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam
keadaan yang biasa, dimana suami ataupun istri sama-sama melaksanakan kewajiban
yang ditetapkan agama tidak ada masalah. Namun bila salah satu pihak tidak
menjalankan kewajibannya, maka berhakkah ia menerima hak yang sudah ditentukan,
seperti istri tidak menjalankan kewajibannya berhakkah menerima nafkah dari
suaminya; sebaliknya suami tidak menjalankan kewajibannya, berhakkah menerima
pelayanan dari istrinya; menjadi pembicaraan di kalangan ulama.
Dalam hal istri
tidak menjalankan kewajibannya yang disebut dengan nusyuz, menurut
jumhur ulama suami tidak wajib memberikan nafkah dalam masa nusyuz-nya
itu. Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafkah yang diterima istri itu
merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami. Istri yang nusyuz
hilang ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu ia tidak berhak atas nafkah
selama masa nusyuz itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyuz
itu berhenti.
Ulama zahiriyah
berpendapat bahwa istri yang nusyuz tidak gugur haknya dalam menerima
nafkah. Alasannya ialah nafkah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak pada
dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada suaminya, ia hanya dapat
diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
واللاتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلا
تبغوا عليهن سبيلا....
“Istri-istri
yang kamu kawatirkan akan berbuat nusyuz beri pengajaranlah dia, dan pisahkan
dari tempat tidur dan pukullah dia. Bila
ia telah taat kepadamu janganlah kamu mencari jalan (untuk menceraikannya)…”
2.
Wafat salah seorang suami atau isteri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau
suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka isteri tidak dapat mengambil
nafkah dari harta suaminya. Dan jika isteri yang meninggal dunia terlebih
dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya.[27]
3.
Murtad.
Apabila
seorang isteri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya isteri
dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan isteri
tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah isteri tidak gugur karena
halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal
kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke
dalam Islam, dia bisa melakukannya.[28]
4.
Talak.
Para ahli
fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapat nafkah
dan tempat tinggal, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang nafkah perempuan
yang ditalak tiga. Imam Malik, Syafi,i dan Ahmad, berpendapat bahwa perempuan
yang ditalak tiga tidak mendapat nafkah, namun menurut Malik dan Syafi,i ia
masih berhak mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah isteri
yang ditalak tiga masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.[29]
D.
Pengaturan dan Aplikasi Harta
Bersama di Negara-negara Muslim
Secara umum, baik
fiqh klasik maupun hukum keluarga (Islam) modern menetapkan bahwa nafkah adalah
kewajiban suami dan merupakan hak istri, meskipun dalam batas tertentu istri
bisa membantu suaminya dalam mencari nafkah. Namun demikian, pengaturan dan
penerapannya berbeda-beda di negara-negara Muslim. Untuk melihat hal tersebut
Tahir Mahmood menjelaskan bahwa eksistensi hukum keluarga di dunia sebagai
hukum posistif mempunyai bentuk yang
berbeda-beda, setidaknya ada tiga kategori Negara berdasarkan hukum keluarga
yang dianut:[30]
1.
Negara yang menerapkan hukum
keluarga tradisional (Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afghanistan, Mali,
Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain)
2.
Negara yang menerapkan hukum
Islam sekuler (Turki, Albania, Tanzania, Minoritas Muslim Filipina)
3.
Negara yang menerapkan hukum
Islam yang diperbaharui.
Kategori ketiga ini adalah
Negara yang melakukan pembaruan substantif dan atau pembaruan peraturan.
Pemaruan hukum keluarga Islam untuk pertama kalinya dilakukan di Turki, diikuti
Lebanon dan Mesir. Negara Brunei, Indonesia, dan Malaysia juga termasuk
kategori ini.
Tahir Mahmood mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang
menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak
menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang
sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki. Namun sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud
dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab Hambali menjadi mazhab resmi
di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan perundang-undangan
mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga
haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hambal.[31]
Ini tidak
dimaknai bahwa Saudi Arabia anti kepada Undang-undang yang bersifat tertulis.
Sebab seperti yang diutarakan oleh Edwar Mortimer, sekalipun dalam teori hukum
di Saudi Arabia bersifat abadi, yakni syariat Tuhan, namun tidak berarti bahwa
suatu perundang-undangan dalam
memenuhi suatu kebutuhan baru tidak dibenarkan. Sejak tahun 1950-an, memulai
dekrit, kerajaan telah mengesahkan sejumlah peraturan yang meliputi berbagai
segi kehidupan. Misalnya perdagangan, kebangsaan, pemalsuan, penyuapan,
pertambangan, perubahan dan tenaga kerja, jaminan sosial dan pertahanan sipil.
Di
Negara-negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum
perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh madhab yang dianutnya.
Pelaksanaan pernikahan serta hal hal lain yang terkait dengannya seperti talak
dan rujuk pada umumnya ditangani oleh para ulama atau institusi keagamaan
setempat yang dianggap berwenang mengenai masalah keagamaan umat Islam.
Di Iran, masalah
nafkah memegang pendapat madzhab Ja’fari, yakni suami berkewajiban memberikan nafkah pada istrinya. Nafkah ini meliputi sandang,
pangan, tempat tinggal, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang layak.
Jika seorang suami tidak memberikan nafkah tersebut, sang istri mengadukannya
pada pengadilan. Selanjutnya pengadilan akan memerintahkan suami untuk
memebrikan nafkah wajib pada istrinya. Jika sang suami tidak mematuhi perintang
pengadilan, sang istri dapat menuntut perceraian pada pengadilan.[32]
Undang-undang Hukum
Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip madzhab Maliki dalam hak istri untu
mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci diatur dalam pasal-pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa
istri diizinkan untuk membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai
biaya hidup dengan maksud untuk diminta ganti dari suami. Adapaun besarnya
jumlah nafkah, tergantung kemampuan suami (pembayar) dan status istri, serta
biaya hidup yang wajar (kepantasan) pada saat itu (pasal 52).[33]
Fiqh madzhab Maliki
yang banyak dijadikan sumber rumusan Undang-undang Tunisa menyatakan bahwa
nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah
baligh. Pandangan itu berbeda dengan
padangan Abu Hanifah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i yang tidak
mensyaratkan suami harus baligh.
Menurut
Undang-undang Yaman, nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi juga kewajiban
bersama, sehingga kedua pasangan harus memberikan andil dalam mengupayakan
pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka.[34]
Bahkan biaya pernikahan saja, masing-masing harus ikut menanggung pembiayaan.
Penyimpangan dari ketentuan ini dapat
ditolerir bila salah satu dari pasangan tersebut memang tidak mampu ikut
menyumbang pembiayaan kehidupan mereka.
Penerapan
Undang-undang ini terjadi karena kepentingan politik pemerintah menuntut
kebijakan yang radikal-revolusioner untuk mengikis habis kekuatan konservatifme
kelompok-kelompok oposan yang didukung oleh Saudi Arabia, Omman, dan
Negara-negara lain yang tergabung dalam blok barat vis a vis blok
timur-sosialis.[35]
Ketentuan ini
benar-benar baru dalam hukum Islam, yang secara ekstrim menerapkan persamaan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam pola hubungan rumah
tangga. Dalam masalah ketidak mampuan suami memberikan nafkah (minimal untuk
kebutuhan pook), para fuqaha kebanyakan bahwa istri berhak mengajukan
perceraian ke pengadilan, termasuk menurut fuqaha’ Syafi’iyah. Tetapi ketentuan
tersebut tidak berlaku sebaliknya, karena memang tidak ada kewajiban bagi istri
untuk ikut menanggung biaya rumah tangga.
Negara Malaysia,
merupakan salah satu negara yang mengakui prinsip harta bersama bagi suami dan
istri. Bahkan mengenai hal ini telah pun diatur dalam Undang-undang Pentadbiran
Harta Islam di Malaysia. Pensyari’atan harta pencarian bersama suami istri ini
berdasarkan adat melayu yang telah lama diamalkan dan juga fatwa yang telah
disiarkan di seluruh penjuru Malaysia.[36]
Harta bersama ini diatur oleh Undang-undang AUKISWP 1984 (Akta 303) Pasal 58,
dan dan Pasal 122 (2) EUKIS, EUKI Perak,
dan Negeri Sembilan (N.9), dan EKIM.
Menurut hemat
penulis, meskipun negara Malaysia menganut konsep harta bersama sebagaiana
halnya Indonesia, tetapi dalam masalah nafkah, tetap menjadi kewajiban seorang
suami. Hal ini karena istri dalam pandangan hukum Islam di Malaysia hanya
sekedar menemani suami dan menjaga rumahtangga
dan keluarga ketika suami keluar mencari nafkah. Di dalam Peruntukan
EKIM misalnyasekiranya terdapat suami gagal membayar nafkah kepada istrinya,
maka si istri boleh mengemukakan tuntutan di Mahkamah Kadi. Ketika permintaan
ini dikabulkan oleh Mahkamah Kadi, maka suami akan diperintahkan membayar
nafkah tertentu dengan syarat si istri tidak ingkar (nusyuz) dengan
mentaati suami. Ketika si istri ingkar, maka hilanglah haknya untuk memperoleh
nafkah dari suami.[37]
Di Brunei Darussalam, Pembicaan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam
terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk kedalam ini adalah para istri,
anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal),
orang yang berpenyakit dan anak diluar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan
tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah.
Dalam kasus anak diluar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang
dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau
Mahkamah Kadi Besar.[38]
Demikian juga
dengan Mesir, yang mengatur perkara nafkah ini ke dalam Undang-undang. Dalam
Undang-undang Mesir suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan
meskipun istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi
hak istri untuk mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat
tinggal, pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member nafkah jika
istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alas an, atau pergi tanpa
izin suaminya.[39]
III. KESIMPULAN
1. Hukum islam
(Al-Qur’an, Sunnah, dan Fiqh) tidak melihat adanya harta bersama. Hukum
Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami
dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula
sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami memberikan
sebagian hartanya itu kepada istrinya atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya
digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan harta,
kecuali dalam bentuk syirkah, yang untuk itu dilakukan dalam suatu akad
khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.
2.
Nafkah isteri bisa menjadi gugur menurut hukum Islam di atas, apabila akad
nikah mereka ternyata batal atau fasid, isteri nusyuz yaitu
isteri tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai seorang isteri,
Isteri murtad, isteri melanggar larangan-larangan Allah yang berhubungan dengan
kehidupan suami isteri, seperti meningalkan tempat kediaman suami tanpa seizin
suami, isteri dalam keadaan sakit yang oleh karena tidak bersedia serumah
dengan suaminya, tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya, maka dia
tetap mendapatkan nafkah, Pada waktu akad nikah isteri masih belum
baligh, dan ia masih belum serumah dengan suaminya.
3.
Dengan diterapkannya konsep harta bersama, maka nafkah menjadi
tanggungjawab bersama suami istri.
Nafkah bisa saja menjadi kewajiban suami, namun harus diterapkan
pemisahan harta suami istri dalam perkawinan, atau dengan dengan
mengkompromikan antara harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah. Ini
dilakukan dengan memberi penambahan aturan dalam Pasal 80 KHI mengenai jenis
harta yang dapat dipakai untuk memberi nafkah, yaitu harta pribadi dan atau
harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
4.
Pemberian
nafkah yang terdapat didalam administrasi pernikahan di Indonesia ada dua
macam: pertama, Prosedur pemberian nafkah mut’ah, yakni kewajiban bekas suami bilamana perkawinan
putus karena talaq, hal ini sesuai dengan pasal 149 ayat pertama pada Kompilasi
Hukum Islam Buku I. kedua, Prosedur pemberian nafkah madhiyah, Pembahasan
mengenai nafkah madhiyah ini berkaitan dengan kewajiban suami
sebagaimana tercantum dalam pasal 80 ayat 4 pada Kompilasi Hukum Islam Buku I
yakni: “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: nafkah, kiswah
dan tempat kediaman bagi istri. biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan
biaya pengobatan bagi istri dan anak. biaya pendidikan bagi anak.
5.
Negara-negara muslim di dunia, kebanyakan belum
mengenal konsep harta bersama. Sehingga penerapan harta bersama ini tidak di
temukan di negara seperti Arab Saudi, Yaman, Kuwait, Afghanistan.
Konsep harta bersama sejauh yang penulis ketahui baru di atur di negara
Indonesia dan Malaysia dalam bentuk hukum positif. Sedangkan negara-negara
muslim lainnya masih menerapkan konsep yang terdapat dalam nash dan fiqh
klasik, yakni pemisahan antara harta suami dan harta istri.
[1] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), jilid II, cet. II, hal. 765
[2] Ibid,
hal. 765
[3] Abdurrahman
al-Jaziri, kitab al-Fiqh ‘ala Madzhabi al-Arba’ah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1969), juz. IV, hal. 485
[4] Wahbah
al-Zuhaili, op.cit., hal. 765
[5] Muhammad Abu
Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (t.t, Dar al-Fikr al-‘Arabi,
1957), cet. III, hal. 269
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. II, hal. 165
[9] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet. IV, hal. 211
[17] Lihat, Pasal 35, 36, dan 37 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1.
Melalui pasal-pasal tersebut telah meningkatkan hukum adat mengenai pencaharian
bersama suami istri menjadi hukum tertulis, sesuai dengan GBHN (Garis-Garis
Besar Haluan Negara) tahun 1973 yang memerintahkan peningkatan dan
penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaruan,
kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. Ismuha, Pencaharian Bersama
Suami Isteri di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. II, hal.
45.
[19] Hilman Hadikusuma, Hukum
Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), Cet. VII, hal. 60.
[21] Solahuddin (Penghimpun), Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (KUHP, KUHAP, &
KUHPdt), (Jakarta: Visimedia, 2008), , Cet. I, hal. 253.
[24] Yahya Harahap, Perlawanan
Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Arbitrase dan Standar
Hukum Eksekusi, Bandung; Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 194. Lebih lanjut
dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 November 1956, Reg. No. 51
K/SIP./1956 dinyatakan bahwa “menurut hukum adat semua adat yang diperoleh
selama berlangsungnya perkawinan, termasuk dalam gono gini, meskipun mungkin
hasil kegiatannya suami sendiri.” Ismuha, Pencaharian Bersama … Op.Cit.,
hlm. 137.
[25] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995), hal. 113-114
[26] Ridha Bak Najjad, Hak dan Kewajiban Isteri dalam Islam, (Jakarta: Lentera
Basrimata, 2002), cet. I, hal. 106.
[27] Wahbah al- Zuhaili, op.cit, hal . 7363. Menurut Djaman Nur, nafkah
isteri menjadi gugur apabila: Akad nikah mereka ternyata batal atau fasid, Isteri
nusyuz yaitu isteri tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai
seorang isteri, Isteri murtad, Isteri melanggar larangan-larangan Allah yang
berhubungan dengan kehidupan suami isteri, seperti meningalkan tempat kediaman
suami tanpa seizin suami, Isteri dalam keadaan sakit yang oleh karena tidak
bersedia serumah dengan suaminya, tetapi jika ia bersedia serumah dengan
suaminya, maka dia tetap mendapatkan nafkah, Pada waktu akad nikah
isteri masih belum baligh, dan ia masih belum serumah dengan suaminya. Lihat Djaman Nur, Fiqih Munakahat,
(Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), cet. III, hlm. 106.
[30] Ahsan Dawi, dikutip dari Tahir Mahmood, Family Law
Reform in the Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi, PVT. LTD, 1972), hal.
3-8
[31] Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari
Indonesia hingga Negeria,( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), hal.156
[32] M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
[37] Rahimin Affandi Abd. Rahim, dkk., Reformasi
Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia: Satu Analisis Terhadap Gagasan Konsep
Fiqh Semasa (edisi pdf)., Jurnal Syari’ah, Jil. 16, Tahun 2008, hal. 198.
[38] Undang-undang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77, yang sudah diamandemen tahun
1984, Bagian VII tentang Nafkah Tanggungan (mulai pasal 157-163)
[39] UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100
tahun 1985. Ahsan Dawi, dikutip dari Tahir Mahmood,Personal law, hal. 32.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....