Sabtu, 28 Desember 2013

NIKAH BEDA AGAMA



A.      PENDAHULUAN
Merupakan sebuahsunatullah, bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan.Ikatan mereka tersebut dibuhul oleh sebuah ikatan yang telah diajarkan oleh Islam yang disebut dengan pernikahan. Sifat berpasang-pasangan ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT pada surat al-Dzariyat ayat 49:
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi pernikahan. Meskipun dengan cara berbeda-beda. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi pernikahan, tetapi memiliki persepsi yang spesifik tentang hubungan seksual diluar perkawinan.
Dalam Islam, pernikahan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) danrahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini tergambarkan pada firman Allah dalam al-Rum ayat 21:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan pernikahan itu sendiri yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan pernikahan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, pembagian harta warisan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, Makalah ini sedikit membahas permasalahanpernikahan beda agama ditinjau perspektif hukum Islam,  undang-undang perkawinan, dan kompilasi hukum Islam.

B.       PERNIKAHAN BEDA AGAMA
1.         Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan dalam bahasa arab adalah الزواج, diartikan pasangan atau jodoh, sebagaimana disebutkan di salah satu firman Allah ta’ala:
y7Ï9ºxŸ2Nßg»oYô_¨ryurAqçt¿2&ûüÏãÇÎÍÈ
Demikianlah, dan kami nikahkan mereka dengan bidadari.(al-Dhukhan : 54)
Maksudnya, kami pasangkan mereka dengan bidadari. Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:
#sŒÎ)urâ¨qàÿZ9$#ôMy_ÍirãÇÐÈ
 Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)
Maksudnya, setiap bangsa berpasangan dengan orang yang dicintainya.
Menurut bahasa, kata nikah diartikan juga dengan الضمّ (berkumpul atau bergabung) dan الإختلاط (bercampur), seperti terdapat dalam sebuah kalimat:
تتناكحت الأشجار
"Pohon-pohon itu kawin"
Dimaksudkan ketika bergabung satu dengan yang lain. Dalam kalimat lain juga diungkapkan:
نكح المطر الأرضَ
“hujan itu bergabung (menyatu) dengan tanah”
Selain makna bahasa di atas, para ulama merinci makna kata nikah menjadi tiga macam makna:
1)   Nikah dalam arti akad yang sebenarnya, atau ikatan sebuah kesepakatan atau perjanjian.
2)   Nikah dalam arti akad kiasan, untuk menutupi maksud dari akad itu sendiri, yaitu penghalalan hubungan suami isteri.
3)   Nikah dalam lafal musytarak, artinya dalam lafal nikah terdapat dua makna.

Bermacam-macam pendapat para ulama fiqh dan para pakar hukum mengenai pengertian pernikahan atau perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan tersebut. Berikut beberapa defenisi nikah atau zawaj:
1)   Mazhab Syafi’i mengartikan nikah adalah akad yang mengandung pembolehan wata’ (hubungan suami isteri) dengan mengucapkan lafal nikah, tazwij(perkawinan), atau dengan lafal yang semakna dengan itu.
2)   Mazhab Hambali, nikah menurut syari’at adalah akad yang mengandung lafal nikah atau tazwij dalam sebentuk kalimat, dan maharnya (ma’qud anhu) adalah manfaat istimta’ (saling berbagi kebahagian dan kesenangan)
3)   Mazhab Hanafi mendefenisikan nikah, yaitu akad yang bertujuan untuk memiliki mut’ah dengan tujuan tertentu. Mut’ah diartikan dengan istimta’.[1]
4)   Zawajadalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan pertolongan laki-laki dan wanita, membatasi hak-hak serta kewajiban masing-masing mereka.[2]
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan (pernikahan) adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan makna dari firman Allah pada surat Yasin ayat 36:
z`»ysö6ßÏ%©!$#t,n=y{ylºurøF{$#$yg¯=à2$£JÏBàMÎ7/Yè?ÞÚöF{$#ô`ÏBuróOÎgÅ¡àÿRr&$£JÏBurŸwtbqßJn=ôètƒÇÌÏÈ
Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

dan firman Allah lainnya dalam surat al-Mu’minun ayat 27:
!$oYøŠym÷rr'sùÏmøs9Î)Èbr&ÆìoYô¹$#y7ù=àÿø9$#$oYÏ^ãŠôãr'Î/$oYÍŠômurur#sŒÎ*sùuä!$y_$tRâöDr&u$sùurâqZ­F9$# òè=ó$$sù$pkŽÏù`ÏB9e@à2Èû÷üy`÷ryÈû÷üuZøO$#šn=÷dr&uržwÎ)`tBt,t7yÏmøn=tããAöqs)ø9$#öNßg÷YÏB(ŸwurÓÍ_ö7ÏÜ»sƒéBÎûtûïÏ%©!$#(#þqßJn=sß(Nåk¨XÎ)šcqè%{øóBÇËÐÈ
Lalu kami wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk kami, Maka apabila perintah kami Telah datang dan tanur. Telah memancarkan air, Maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang Telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, Karena Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
Sejatinya perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah.[3]
Sedangkan yang dimaksud dengan pernikahan atau perkawinan beda  agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia.
2.    Hukum Pernikahan Beda Agama
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi,
(1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlual-kitab ataupun musyrik, dan
(2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlual-kitab ataupun musyrik. Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat masih muncul resistensi yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama.Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu dipisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahlu al-kitab atau musyrik, ataukah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlu al-kitab atau musyrik.
a)   Menikah dengan Orang Musyrik
Apa bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non Muslim baik ahl al-kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah, ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah pada suratal-Baqarah ayat 221:
Ÿwur(#qßsÅ3Zs?ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$#4Ó®Lym£`ÏB÷sãƒ4×ptBV{urîpoYÏB÷sB׎öyz`ÏiB7px.ÎŽô³Böqs9uröNä3÷Gt6yfôãr&3Ÿwur(#qßsÅ3Zè?tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#4Ó®Lym(#qãZÏB÷sãƒ4Óö7yès9urí`ÏB÷sB׎öyz`ÏiB78ÎŽô³Böqs9uröNä3t6yfôãr&3y7Í´¯»s9'ré&tbqããôtƒn<Î)Í$¨Z9$#(ª!$#ur(#þqããôtƒn<Î)Ïp¨Yyfø9$#ÍotÏÿøóyJø9$#ur¾ÏmÏRøŒÎ*Î/(ßûÎiüt7ãƒur¾ÏmÏG»tƒ#uäĨ$¨Y=Ï9öNßg¯=yès9tbr㍩.xtGtƒÇËËÊÈ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Ayat ini turun berhubungan dengan Kannaz Ibn Hasim al-Ghanawi yang diutus Rasulullah SAW ke Mekkah membawa sebuah misi.Di Mekkah dia mengenal seorang wanita bernama Anaz yang sangat dicintainya sejak Jahiliyah.Kannaz datang menemuinya dan memberitahukannya bahwa Islam telah melarang apapun yang biasa dilakukan pada masa Jahiliyah. Anaz menjawab, “kalau begitu nikahilah aku!”. Kannaz menjawab bahwa ia akan meminta izin Nabi SAW. Nabi SAW tidak menginzinkannya berdasarkan ayat di atas.
Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa ayat ini berhubungan dengan kasus Abdullah bin Rawahah, seorang sahabat Nabi SAW memiliki seorang budak wanita hitam. Mengetahui hal ini nabipun marah, dan berkata, “apa yang terjadi, wahai Abdullah?” Abdullah menjawab, “wahai Rasulullah budak ini berpuasa, berdoa, mensucikan dirinya serta percaya kepada Allah dan engkau adalah utusan Allah”, Nabi SAW menanggapi, “kalau begitu dia adalah seorang yang beriman”.Abdullah berkata, “maka demi Allah yang telah mengutus engkau membawa kebenaran, aku akan memerdekannya dan menikahinya”. Setelah Abdullah menikahinya, banyak orang Islam yang mencelanya, bahwa ia menikahi seorang budak wanita. Karena mereka yang mencela itu, lebih suka menikahi wanita musyrik hanya karena ketinggian keturunannya.Sehingga turunlah ayat ini karena peristiwa tersebut.[4]
Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Alasan yang disebutkan dalam ayat di atas, tidak bolehnya orang-orang beriman baik laki-laki ataupun perempuan menikahi orang-orang musyrik karena akan menjerumuskan ke dalam neraka. Memang memungkinkan seorang muslim dapat mempengaruhi pasangannya yang musyrik, keluarga, dan keturunannya agar berkenan memeluk Islam. Namun kemungkinannya juga sama bahwa orang yang musyrik itu dapat menyeret pasangannya yang muslim, keluarga, dan keturunannya menuju jalan kemusyrikan.Dan yang paling mungkin dihasilkan dari perkawinan semacam itu adalah bercampurnya antara keturunan Islam dan bukan Islam dalam keluarga tersebut.
b)   Menikah dengan Ahlu al-Kitab
Ahlu al-kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang percaya kepada Kitabullah, Taurat dan Injil.Menikah dengan wanita ahlu al-kitabmemang diperkenankan dalam Islam berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah (5) ayat 5:
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

Pernikahan ini diamalkan oleh beberapa orang sahabat seperti, Thalhah, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah, dan para ulama Tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab, Sa’id bin Zubair, dan lain-lain. Namun, menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlual-kitab, hukumnya haram. Lebih lanjut dia berpendapat, “Allah telah melarang menikahi orang musyrik, maka aku tidak tahu mana lagi kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal sesungguhnya Isa hanyalah hamba dan Rasul Allah di antara Rasul-RasulNya yang lain”.[5]
Berikut pandangan Ulama Mazhab Fiqh tentang pernikahan dengan ahlu al-kitab:
1)   Mazhab Hanafi mengharamkan menikahi wanita ahlu al-kitab apabila wanita itu berada di negeri yang terjadi konflik perang dengan orang-orang Islam (daar al-harbi). Dalam keadaan demikian, anak-anak hasil pernikahan tersebut akan lebih cenderung pada agama ibunya.
2)   Mazhab Maliki mempunya dua pendapat. Pertama, menikah dengan ahlu al-kitabhukumnya makruh sama sekali, baik dia seorang dzimmi ataukah penduduk dalam wilayah perang. Kedua, menikahi ahlu al-kitab tidak makruh karena Al-Quran telah mendiamkannya.
3)   Mazhab Syafi’I dan Hambali memberikan syarat yang cukup ketat, bahwa diharuskan kedua orang tua si wanita ahlu al-kitabjuga ahlu al-kitab. Apabila ibunya seorang penyembah berhala, maka perkawinan itu tidak diperkenankan (haram) sekalipun wanita itu telah dewasa dan menerima ayahnya.
Sebab lain pengharaman pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanitaahlual-kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya.Dia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam keluarganya.Dia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Bahkan, Ali Al-Sabuni menegaskan dalam tafsirnya, apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1)   Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama samawi.
2)   Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshanat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina).
3)   Wanita kitabiyah yang bukan kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Al-quran dalam surat al-Maidah ayat 5. Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu surat Al-Baqarah ayat 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahlu al-kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim.Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.[6]
3.    Pernikahan Beda Agama Menurut Mazhab Empat
Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlu al-kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlu kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut.
Berikut pandangan mazhab yang empat tentang hukum perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama:
1)        Mazhab Hanafi
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlu al-kitab (Yahudi dan Nasrani), yang terpenting adalah ahlu alkitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlu al-kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlu al-kitab dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Daaral-Harbi boleh hukmnya, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada diDaar al-Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid (kerusakan-kerusakan) yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlu al-kitabzimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlu al-kitab dzimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2)        Mazhab Maliki
Pandangan mazhab Maliki tentang hukum perkawinan beda agama ini mempunyai dua pendapat yaitu:
a.    Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.
b.    Menikah dengan kitabiyahtidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al-Zarai’ (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3)        Mazhab Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab Syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlu al-kitab.Yang termasuk golongan wanita ahlu al-kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
a.    Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
b.    Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada surat Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi Rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori ahlu al-kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4)        Mazhab Hambali.
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin Hambal, yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang termasuk ahlual-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
4.    Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Undang-undang perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1974 mempunyai ciri khas kalau dibandingkan dengan hukum perkawinan sebelumnya, terutama dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hukum agama. Di Indonesia pernah berlaku peraturan hukum antar golongan tentang pernikahan campuran, yaitu Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau peraturan tentang perkawinan campuran sebagaimana dimuat dalam Staatblad 1898 Nomor 158.
Kemudian dengan berlakunya undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, seperti disebut pada pasal 66, maka semua ketentuan-ketentuan perkawinan terdahulu dalam GHR dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama.Artinya sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah fundamental Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama.
Pasal 2 ayat 1 Undang Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Anak kalimat “agamanya dan kepercayaannya itu” berasal dari ujung ayat 2 Pasal 29 Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu adalah tepat dan berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan disahkan pada tahun 1974, seperti telah disinggung di atas, bahwa perkataan kepercayaan dalam pasal 2 ayat 1  Undang-undang perkawinan yang berasal dari Undang-undang Dasar 1945 itu adalah kepercayaan agama yang diakui eksistensinya dalam Negara Republik Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang ini adalah: Pasal 29 UUD 1945 berada di bawah judul agama dan perkataan itu yang terletak setelah perkataan “kepercayaan” yang dimaksud.
Dengan demikian,dalam negara Indonesia tidak boleh dilangsungkan pernikahan di luar hukum agama atau kepercayaan agama yang diakui eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan Buda di tanah air kita.Dan sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa perkawinan adalah sah kalau dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan agama, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh warga negara Indonesia.
Tentang perkawinan orang-orang berbeda agama, jika dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah:
1)   Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia, kebebasan seseorang untuk menentukan pasangannya, hak dan kedudukan suami istri yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pegaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut pendapat ini, perkawinan yang demikian dapat mempergunakan S. 1898 No. 158 tentang perkawinan campuran peninggalan Belanda dahulu sebagai landasan dan mencatatkannya pada kantor Catatan Sipil di tempat mereka melangsungkan pernikahan.
2)   Sedangkan Pendapat ini mengatakan bahwa UUP No. 1 Tahun 1974, tidak mengatur perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama. Oleh Karena itu, kata penganut pendapat ini, perlu dirumuskan ketentuan hukumnya. Daripada membiarkan kemaksiatan, lebih baik membenarkan atau mengesahkan pernikahan orang-orang yang saling jatuh cinta itu, meskipun keyakinan agama yang mereka anut berbeda.
3)   Pendapat yang ketiga ini mengatakan bahwa perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR Republik Indonesia. Kehendak itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1 mengenai sahnya perkawinan dan pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan. Dalam pasal huruf (f) Undang-undang perkawinan dengan jelas dirumuskan bahwa, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan, yang oleh agamanya atau peraturan yang beralaku dilarang kawin”. Artinya Undang-undang Perkawinan melarang dilakukan atau disahkan perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam Republik Indonesia. Larangan yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan ini selaras dengan larangan agama dan hukum masing-masing agama. Oleh karena itu pula pembenaran dan pengesahan perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama, selain dengan bertentangan dengan agama atau hukum agama, sesungguhnya, bertentangan pula dengan Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi segenap warga Negara dan penduduk Indonesia.
Tidak diaturnya perkawinan antar agama secara tegas dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan/pernikahan, karena pernikahan itu tidak dikehendaki pelaksanaanya. Hal ini mengacu pasal 2 ayat 1 menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Sedangkan pendapat yang cenderung membuka kemungkinan dipaksakannya perkawinan berbeda agama berdasarkan pasal 57 UU No. 1/1974 (… perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda…), tentunya pasal tersebut tidak dipahami secara parsial dan seharusnya antara pasal-pasal dalam bab itu dipahami secara menyeluruh dalam satu kesatuan dengan konteks perbedaan kewarganegaraan.[7]Dengan demikian ketentuan boleh tidaknya perkawinan di Indonesia harus dikembalikan kepada hukum agama.Artinya bila hukum agama menyatakan boleh maka boleh pula menurut hukum negara, demikian sebaliknya.
5.    Pernikahan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Adanya perbedaan hukum dalam pernikahan beda agama ini akan berimplikasi pada timbulnya putusan yang berbeda pada kasus yang sama di peradilan. Hal ini akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum, ditambah lagi hakimnya mempunyai paham hukum yang berbeda pula.
Maka dilakukanlah berbagai upaya untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga tertuang dalam kompilasi hukum Islam.Dalam kompilasi hukum Islam dengan Inpres No. 1/1991, di antara pasalnya tersebut terdapat suatu rumusan yang menetapkan perkawinan seorang pria Islam dilarang dilangsungkan dengan wanita yang tidak beragam Islam (pasal 40 huruf c). Dengan demikian KHI khususnya dalam pasal tersebut telah menghilangkan wacana perbedaan pendapat dalam masalah tersebut yang sekaligus akan dapat menjaga aqidah agama serta mewujudkan kemaslahatan umat.[8]
Adapun posisi pemerintah (Inpres) untuk menghilangkan perbedaan dan menjaga kemaslahatan. Karena berdasarkan kaidah fiqh: ”tindakan imam terhadap rakyat harus berkaitan dengan kemaslahatan”. Larangan pernikahan beda agama ini semata-mata untuk menjaga keutuhan kebahagiaan rumah dan aqidah keberagamaannya.


[1] Muhammad al-Dusuqy, Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Madzhab al-Syafi’I, (Kairo: Darussalam, 2011), h. 18
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 37
[3] Abdurarahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h. 114
[4] Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam (terj), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), h. 32
[5]Abdur Rahman,Loc.cit, h. 34
[6] Nurcholis Majid dkk, Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: PARAMADINA, 2004), h. 162
[7]Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 148
[8] Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Op.cit, h. 155

4 komentar:

  1. Permisi Numpang Promo
    Refiza Souvenir menyediakan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com

    BalasHapus
  2. permisi numpang promo

    yang mau ikutan sukses bersama UYM dengan bisnis nya, boleh tanya saya..

    wa:085352016511
    bbm:5a399ce6

    atau langsung klik link dibawah ini
    www.paytrentnt.com/ayoom

    BalasHapus
  3. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus