A.
PENDAHULUAN
Merupakan sebuahsunatullah, bahwa
manusia diciptakan berpasang-pasangan.Ikatan mereka tersebut dibuhul oleh
sebuah ikatan yang telah diajarkan oleh Islam yang disebut dengan pernikahan.
Sifat berpasang-pasangan ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT pada surat
al-Dzariyat ayat 49:
Dan
segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia
priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi pernikahan. Meskipun
dengan cara berbeda-beda. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas
yang walaupun mengakui institusi pernikahan, tetapi memiliki persepsi yang
spesifik tentang hubungan seksual diluar perkawinan.
Dalam Islam, pernikahan dimaksudkan adalah
untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk
melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai)
danrahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini
tergambarkan pada firman Allah dalam al-Rum ayat 21:
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang
dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu
tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan
keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih
sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya
terwujud tujuan pernikahan itu sendiri yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan pernikahan
tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut
berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan
ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai
permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadah,
pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, pembagian
harta warisan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, Makalah ini sedikit membahas
permasalahanpernikahan beda agama ditinjau perspektif hukum Islam, undang-undang perkawinan, dan kompilasi hukum
Islam.
B.
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
1.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau
perkawinan dalam bahasa arab adalah الزواج,
diartikan pasangan atau jodoh, sebagaimana disebutkan di salah satu firman
Allah ta’ala:
y7Ï9ºx2Nßg»oYô_¨ryurAqçt¿2&ûüÏãÇÎÍÈ
Demikianlah, dan kami nikahkan mereka dengan bidadari.(al-Dhukhan : 54)
Maksudnya, kami pasangkan mereka dengan bidadari. Dalam ayat yang lain
Allah juga berfirman:
#sÎ)urâ¨qàÿZ9$#ôMy_ÍirãÇÐÈ
Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan
tubuh)
Maksudnya, setiap
bangsa berpasangan dengan orang yang dicintainya.
Menurut bahasa, kata nikah diartikan juga dengan الضمّ
(berkumpul atau bergabung) dan الإختلاط (bercampur), seperti terdapat dalam sebuah kalimat:
تتناكحت الأشجار
"Pohon-pohon itu kawin"
Dimaksudkan ketika bergabung satu dengan yang lain. Dalam kalimat lain
juga diungkapkan:
نكح المطر الأرضَ
“hujan
itu bergabung (menyatu) dengan tanah”
Selain makna bahasa di atas, para ulama merinci makna kata nikah menjadi
tiga macam makna:
1) Nikah dalam arti akad yang sebenarnya, atau ikatan sebuah kesepakatan
atau perjanjian.
2) Nikah dalam arti akad kiasan, untuk menutupi maksud dari akad itu
sendiri, yaitu penghalalan hubungan suami isteri.
3) Nikah dalam lafal musytarak, artinya dalam lafal nikah terdapat
dua makna.
Bermacam-macam
pendapat para ulama fiqh dan para pakar hukum mengenai pengertian pernikahan
atau perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi
yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah
memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan
tersebut. Berikut beberapa defenisi nikah atau zawaj:
1)
Mazhab Syafi’i mengartikan nikah adalah akad
yang mengandung pembolehan wata’ (hubungan suami isteri) dengan
mengucapkan lafal nikah, tazwij(perkawinan), atau dengan lafal yang
semakna dengan itu.
2)
Mazhab Hambali, nikah menurut syari’at adalah
akad yang mengandung lafal nikah atau tazwij dalam sebentuk kalimat, dan
maharnya (ma’qud anhu) adalah manfaat istimta’ (saling berbagi
kebahagian dan kesenangan)
3)
Mazhab Hanafi mendefenisikan nikah, yaitu akad
yang bertujuan untuk memiliki mut’ah dengan tujuan tertentu. Mut’ah
diartikan dengan istimta’.[1]
4)
Zawajadalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan pertolongan laki-laki
dan wanita, membatasi hak-hak serta kewajiban masing-masing mereka.[2]
Dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan
(pernikahan) adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada
pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar
Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu
perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk
keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang
makna perkawinan dikaitkan dengan makna dari firman Allah pada surat Yasin ayat
36:
z`»ysö6ßÏ%©!$#t,n=y{ylºurøF{$#$yg¯=à2$£JÏBàMÎ7/Yè?ÞÚöF{$#ô`ÏBuróOÎgÅ¡àÿRr&$£JÏBurwtbqßJn=ôètÇÌÏÈ
Maha Suci Tuhan
yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.
dan firman
Allah lainnya dalam surat al-Mu’minun ayat 27:
!$oYøym÷rr'sùÏmøs9Î)Èbr&ÆìoYô¹$#y7ù=àÿø9$#$oYÏ^ãôãr'Î/$oYÍômurur#sÎ*sùuä!$y_$tRâöDr&u$sùurâqZF9$# òè=ó$$sù$pkÏù`ÏB9e@à2Èû÷üy`÷ryÈû÷üuZøO$#n=÷dr&urwÎ)`tBt,t7yÏmøn=tããAöqs)ø9$#öNßg÷YÏB(wurÓÍ_ö7ÏÜ»séBÎûtûïÏ%©!$#(#þqßJn=sß(Nåk¨XÎ)cqè%{øóBÇËÐÈ
Lalu kami
wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk kami,
Maka apabila perintah kami Telah datang dan tanur. Telah memancarkan air, Maka
masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga)
keluargamu, kecuali orang yang Telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa
azab) di antara mereka. dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang
orang-orang yang zalim, Karena Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
Sejatinya
perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap
makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan
masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda
dengan rasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi
hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk
menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus
sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi
manusia dibumi.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan
akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah.[3]
Sedangkan yang
dimaksud dengan pernikahan atau perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua
peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan
perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk
membentuk keluarga bahagia.
2.
Hukum Pernikahan Beda Agama
Sebagaimana
telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah
perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau
seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang
beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi,
(1) calon isteri beragama Islam, sedangkan
calon suami tidak beragama Islam, baik ahlual-kitab ataupun musyrik,
dan
(2) calon suami
beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlual-kitab
ataupun musyrik. Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum
perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat masih
muncul resistensi yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama.Hal ini
disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan
mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok
ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Mengenai hukum
perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus
terlebih dahulu dipisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita
Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahlu al-kitab atau musyrik,
ataukah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlu
al-kitab atau musyrik.
a)
Menikah dengan Orang Musyrik
Apa bila
terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non
Muslim baik ahl al-kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam
bukunya Fiqh al-Sunnah, ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan
perkawinan ini. Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah pada suratal-Baqarah
ayat 221:
wur(#qßsÅ3Zs?ÏM»x.Îô³ßJø9$#4Ó®Lym£`ÏB÷sã4×ptBV{urîpoYÏB÷sB×öyz`ÏiB7px.Îô³Böqs9uröNä3÷Gt6yfôãr&3wur(#qßsÅ3Zè?tûüÏ.Îô³ßJø9$#4Ó®Lym(#qãZÏB÷sã4Óö7yès9urí`ÏB÷sB×öyz`ÏiB78Îô³Böqs9uröNä3t6yfôãr&3y7Í´¯»s9'ré&tbqããôtn<Î)Í$¨Z9$#(ª!$#ur(#þqããôtn<Î)Ïp¨Yyfø9$#ÍotÏÿøóyJø9$#ur¾ÏmÏRøÎ*Î/(ßûÎiüt7ãur¾ÏmÏG»t#uäĨ$¨Y=Ï9öNßg¯=yès9tbrã©.xtGtÇËËÊÈ
Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
Ayat ini turun
berhubungan dengan Kannaz Ibn Hasim al-Ghanawi yang diutus Rasulullah SAW ke
Mekkah membawa sebuah misi.Di Mekkah dia mengenal seorang wanita bernama Anaz
yang sangat dicintainya sejak Jahiliyah.Kannaz datang menemuinya dan
memberitahukannya bahwa Islam telah melarang apapun yang biasa dilakukan pada
masa Jahiliyah. Anaz menjawab, “kalau begitu nikahilah aku!”. Kannaz menjawab
bahwa ia akan meminta izin Nabi SAW. Nabi SAW tidak menginzinkannya berdasarkan
ayat di atas.
Abdullah bin
Abbas menyebutkan bahwa ayat ini berhubungan dengan kasus Abdullah bin Rawahah,
seorang sahabat Nabi SAW memiliki seorang budak wanita hitam. Mengetahui hal
ini nabipun marah, dan berkata, “apa yang terjadi, wahai Abdullah?” Abdullah
menjawab, “wahai Rasulullah budak ini berpuasa, berdoa, mensucikan dirinya
serta percaya kepada Allah dan engkau adalah utusan Allah”, Nabi SAW
menanggapi, “kalau begitu dia adalah seorang yang beriman”.Abdullah berkata,
“maka demi Allah yang telah mengutus engkau membawa kebenaran, aku akan
memerdekannya dan menikahinya”. Setelah Abdullah menikahinya, banyak orang
Islam yang mencelanya, bahwa ia menikahi seorang budak wanita. Karena mereka
yang mencela itu, lebih suka menikahi wanita musyrik hanya karena
ketinggian keturunannya.Sehingga turunlah ayat ini karena peristiwa tersebut.[4]
Demikian tegas
dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang
wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya
terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka
perkawinan ini harus dibatalkan.
Alasan yang
disebutkan dalam ayat di atas, tidak bolehnya orang-orang beriman baik
laki-laki ataupun perempuan menikahi orang-orang musyrik karena akan
menjerumuskan ke dalam neraka. Memang memungkinkan seorang muslim dapat
mempengaruhi pasangannya yang musyrik, keluarga, dan keturunannya agar
berkenan memeluk Islam. Namun kemungkinannya juga sama bahwa orang yang musyrik
itu dapat menyeret pasangannya yang muslim, keluarga, dan keturunannya menuju
jalan kemusyrikan.Dan yang paling mungkin dihasilkan dari perkawinan semacam
itu adalah bercampurnya antara keturunan Islam dan bukan Islam dalam keluarga
tersebut.
b)
Menikah dengan Ahlu al-Kitab
Ahlu al-kitab adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang percaya kepada Kitabullah, Taurat dan
Injil.Menikah dengan wanita ahlu al-kitabmemang diperkenankan dalam
Islam berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah (5) ayat 5:
Pada hari Ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.
Pernikahan ini
diamalkan oleh beberapa orang sahabat seperti, Thalhah, Ibnu Abbas, dan
Hudzaifah, dan para ulama Tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab, Sa’id bin Zubair,
dan lain-lain. Namun, menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria muslim
dengan ahlual-kitab, hukumnya haram. Lebih lanjut dia berpendapat,
“Allah telah melarang menikahi orang musyrik, maka aku tidak tahu mana lagi
kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang berkata bahwa
Tuhannya adalah Isa, padahal sesungguhnya Isa hanyalah hamba dan Rasul Allah di
antara Rasul-RasulNya yang lain”.[5]
Berikut
pandangan Ulama Mazhab Fiqh tentang pernikahan dengan ahlu al-kitab:
1)
Mazhab Hanafi mengharamkan menikahi wanita ahlu
al-kitab apabila wanita itu berada di negeri yang terjadi konflik perang dengan
orang-orang Islam (daar al-harbi). Dalam keadaan demikian, anak-anak
hasil pernikahan tersebut akan lebih cenderung pada agama ibunya.
2)
Mazhab Maliki mempunya dua pendapat. Pertama,
menikah dengan ahlu al-kitabhukumnya makruh sama sekali, baik dia
seorang dzimmi ataukah penduduk dalam wilayah perang. Kedua, menikahi
ahlu al-kitab tidak makruh karena Al-Quran telah mendiamkannya.
3)
Mazhab Syafi’I dan Hambali memberikan syarat
yang cukup ketat, bahwa diharuskan kedua orang tua si wanita ahlu al-kitabjuga
ahlu al-kitab. Apabila ibunya seorang penyembah berhala, maka perkawinan
itu tidak diperkenankan (haram) sekalipun wanita itu telah dewasa dan menerima
ayahnya.
Sebab lain
pengharaman pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanitaahlual-kitab
adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang
pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya.Dia adalah teladan dalam pembinaan
akhlaq Islam dalam keluarganya.Dia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama
Islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Bahkan, Ali
Al-Sabuni menegaskan dalam tafsirnya, apabila dihawatirkan suami dan
anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah, maka
nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi
masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah
adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus
diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1)
Kitabiyah itu
benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan
tidak beragama selain agama samawi.
2)
Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshanat
(memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina).
3)
Wanita kitabiyah yang bukan kaumnya
berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Namun di sisi
lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan
bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep
ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang
benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut
mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Al-quran
dalam surat al-Maidah ayat 5. Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madaniyah
yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik,
sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara
eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena
pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu surat Al-Baqarah ayat 221
menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim.
Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahlu al-kitab
(Nasrani dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim.Maka
menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat
sebelumnya.[6]
3.
Pernikahan Beda Agama Menurut Mazhab Empat
Sebagaimana
yang telah diuraikan bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang
beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlu al-kitab
ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan
tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlu kitab atau musyrik,
maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik
dan ahlul kitab tersebut.
Berikut
pandangan mazhab yang empat tentang hukum perkawinan beda agama. Walaupun pada
prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah
boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh
tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama:
1)
Mazhab Hanafi
Iman Abu
Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlu al-kitab
(Yahudi dan Nasrani), yang terpenting adalah ahlu alkitab tersebut
memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlu
al-kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah
diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As
dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut
mazhab ini mengawini wanita ahlu al-kitab dzimmi atau wanita kitabiyah
yang ada di Daaral-Harbi boleh hukmnya, hanya saja menurut mazhab ini,
perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada diDaar al-Harbi
hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung
mafasid (kerusakan-kerusakan) yang besar, sedangkan perkawinan dengan
wanita ahlu al-kitabzimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka
adalah karena wanita ahlu al-kitab dzimmi ini menghalalkan minuman arak
dan menghalalkan daging babi.
2)
Mazhab Maliki
Pandangan mazhab
Maliki tentang hukum perkawinan beda agama ini mempunyai dua pendapat yaitu:
a.
Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh
mutlak baik dzimmiyah (wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah
atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh
menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan
bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan
meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.
b.
Menikah dengan kitabiyahtidak makruh
mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir
mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al-Zarai’ (menutup jalan
yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan
yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3)
Mazhab Syafi’i
Demikian halnya
dengan mazhab Syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlu
al-kitab.Yang termasuk golongan wanita ahlu al-kitab menurut mazhab
Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa
Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi
dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
a.
Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya
diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
b.
Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu)
pada surat Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan
Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab
ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama
tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi Rasul, yaitu semenjak
sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan
Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori
ahlu al-kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum
tersebut.
4)
Mazhab Hambali.
Mazhab Hambali mengemukakan
bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita
Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat
guru Ahmad bin Hambal, yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang
termasuk ahlual-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja,
tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani
sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
4.
Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut
Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Undang-undang
perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1974 mempunyai
ciri khas kalau dibandingkan dengan hukum perkawinan sebelumnya, terutama
dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah
kolonial Belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja,
lepas sama sekali dengan agama atau hukum agama. Di Indonesia pernah berlaku
peraturan hukum antar golongan tentang pernikahan campuran, yaitu Regeling
op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau peraturan tentang perkawinan campuran
sebagaimana dimuat dalam Staatblad 1898 Nomor 158.
Kemudian dengan
berlakunya undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, seperti disebut pada
pasal 66, maka semua ketentuan-ketentuan perkawinan terdahulu dalam GHR
dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang
perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan
agama.Artinya sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya.
Ini sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah
fundamental Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan
dan dirumuskan dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab
Agama.
Pasal 2 ayat 1
Undang Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Anak
kalimat “agamanya dan kepercayaannya itu” berasal dari ujung ayat 2 Pasal 29
Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu adalah tepat dan
berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan disahkan
pada tahun 1974, seperti telah disinggung di atas, bahwa perkataan kepercayaan
dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang perkawinan yang berasal dari
Undang-undang Dasar 1945 itu adalah kepercayaan agama yang diakui eksistensinya
dalam Negara Republik Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang ini adalah:
Pasal 29 UUD 1945 berada di bawah judul agama dan perkataan itu yang
terletak setelah perkataan “kepercayaan” yang dimaksud.
Dengan
demikian,dalam negara Indonesia tidak boleh dilangsungkan pernikahan di luar
hukum agama atau kepercayaan agama yang diakui eksistensinya yaitu Islam,
Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan Buda di tanah air kita.Dan
sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa perkawinan adalah sah kalau dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaan agama, maka segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh
warga negara Indonesia.
Tentang perkawinan
orang-orang berbeda agama, jika dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan
tahun 1974 terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah:
1)
Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan
antara orang-orang yang berbeda agama dapat saja dilangsungkan sebagai
pelaksanaan hak asasi manusia, kebebasan seseorang untuk menentukan
pasangannya, hak dan kedudukan suami istri yang seimbang dalam kehidupan rumah
tangga dan pegaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut pendapat ini,
perkawinan yang demikian dapat mempergunakan S. 1898 No. 158 tentang perkawinan
campuran peninggalan Belanda dahulu sebagai landasan dan mencatatkannya pada
kantor Catatan Sipil di tempat mereka melangsungkan pernikahan.
2)
Sedangkan Pendapat ini mengatakan bahwa UUP No.
1 Tahun 1974, tidak mengatur perkawinan campuran antara orang-orang yang
berbeda agama. Oleh Karena itu, kata penganut pendapat ini, perlu dirumuskan
ketentuan hukumnya. Daripada membiarkan kemaksiatan, lebih baik membenarkan
atau mengesahkan pernikahan orang-orang yang saling jatuh cinta itu, meskipun
keyakinan agama yang mereka anut berbeda.
3)
Pendapat yang ketiga ini mengatakan bahwa
perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama tidak dikehendaki
oleh pembentuk Undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR Republik Indonesia.
Kehendak itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1 mengenai sahnya
perkawinan dan pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan. Dalam pasal huruf
(f) Undang-undang perkawinan dengan jelas dirumuskan bahwa, “Perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan, yang oleh agamanya atau
peraturan yang beralaku dilarang kawin”. Artinya Undang-undang Perkawinan
melarang dilakukan atau disahkan perkawinan yang dilarang oleh agama dan
peraturan lain yang berlaku dalam Republik Indonesia. Larangan yang tercantum
dalam Undang-undang perkawinan ini selaras dengan larangan agama dan hukum
masing-masing agama. Oleh karena itu pula pembenaran dan pengesahan perkawinan
campuran orang-orang yang berbeda agama, selain dengan bertentangan dengan agama
atau hukum agama, sesungguhnya, bertentangan pula dengan Undang-undang
Perkawinan yang berlaku bagi segenap warga Negara dan penduduk Indonesia.
Tidak diaturnya
perkawinan antar agama secara tegas dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan/pernikahan, karena pernikahan itu tidak dikehendaki
pelaksanaanya. Hal ini mengacu pasal 2 ayat 1 menentukan sah atau tidaknya
perkawinan. Sedangkan pendapat yang cenderung membuka kemungkinan dipaksakannya
perkawinan berbeda agama berdasarkan pasal 57 UU No. 1/1974 (… perkawinan
antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda…), tentunya pasal
tersebut tidak dipahami secara parsial dan seharusnya antara pasal-pasal dalam
bab itu dipahami secara menyeluruh dalam satu kesatuan dengan konteks perbedaan
kewarganegaraan.[7]Dengan
demikian ketentuan boleh tidaknya perkawinan di Indonesia harus dikembalikan
kepada hukum agama.Artinya bila hukum agama menyatakan boleh maka boleh pula
menurut hukum negara, demikian sebaliknya.
5.
Pernikahan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
Adanya perbedaan hukum dalam pernikahan beda
agama ini akan berimplikasi pada timbulnya putusan yang berbeda pada kasus yang
sama di peradilan. Hal ini akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum,
ditambah lagi hakimnya mempunyai paham hukum yang berbeda pula.
Maka dilakukanlah berbagai upaya untuk
menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga tertuang dalam kompilasi
hukum Islam.Dalam kompilasi hukum Islam dengan Inpres No. 1/1991, di antara
pasalnya tersebut terdapat suatu rumusan yang menetapkan perkawinan seorang
pria Islam dilarang dilangsungkan dengan wanita yang tidak beragam Islam (pasal
40 huruf c). Dengan demikian KHI khususnya dalam pasal tersebut telah
menghilangkan wacana perbedaan pendapat dalam masalah tersebut yang sekaligus
akan dapat menjaga aqidah agama serta mewujudkan kemaslahatan umat.[8]
Adapun posisi pemerintah (Inpres) untuk
menghilangkan perbedaan dan menjaga kemaslahatan. Karena berdasarkan kaidah
fiqh: ”tindakan imam terhadap rakyat harus berkaitan dengan kemaslahatan”. Larangan
pernikahan beda agama ini semata-mata untuk menjaga keutuhan kebahagiaan rumah
dan aqidah keberagamaannya.
[1]
Muhammad al-Dusuqy, Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Madzhab al-Syafi’I, (Kairo:
Darussalam, 2011), h. 18
[2]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta:
Amzah, 2009), h. 37
[3]
Abdurarahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2004), h. 114
[4]
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam (terj), (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1996), h. 32
[5]Abdur
Rahman,Loc.cit, h. 34
[6]
Nurcholis Majid dkk, Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis, (Jakarta: PARAMADINA, 2004), h. 162
[7]Abdul
Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman
yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 148
[8]
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Op.cit, h. 155
Permisi Numpang Promo
BalasHapusRefiza Souvenir menyediakan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com
makasih gan penjelasannya, bagus lengkap
BalasHapusSouvenir Wedding Kediri
permisi numpang promo
BalasHapusyang mau ikutan sukses bersama UYM dengan bisnis nya, boleh tanya saya..
wa:085352016511
bbm:5a399ce6
atau langsung klik link dibawah ini
www.paytrentnt.com/ayoom
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....