A.
PENDAHULUAN
Agama Islam
adalah agama yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. al-Qur’an
sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia[1]. Oleh karena
itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap umatnya, tanpa harus ada
pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana umat itu berada. Begitu pula
ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam tentunya dituntut untuk dapat
menghadapi tantangan modernitas, karena islam adalah shalihun li kulli zaman wa makan.
Perkembangan hukum islam, seperti yang telah dapat
kita fahami dari penelitian baru-baru ini, menggambarkan dengan cara yang amat
bermakna fenomena saling bergantungan dari kesatuan dan keragaman dalam
peradaban islam[2].
Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim
pada abad 20 adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan,
perceraian, dan warisan) di negara-negara mayoritas muslim. Terutama Turki
misalnya, melakukan pembaharuan pada tahun 1917.
Turkiye cumhuriyeti (Republik of Turkey) yang
diproklamirkan sebagai negara modern sejak tahun 1924, yang memiliki motto
nasional yurthha sulh, cihandra sulh (peace at home, peace in the world)
bukanlah negara agama, tetapi ia menjamin kebebasan beragama. Bahkan menurut
sejarah, sikap kerajaan Turki pada masa kejayaannya cenderung tidak memaksakan
agama setelah berhasil menaklukan dan menguasai suatu wilayah, mereka tetap
memberikan kebebasan pihak gereja untuk menangani urusan umatnya, selain itu
dengan melindungi sejumlah gereja Kristen telah menimbulkan simpatik masyarakat
setempat terhadap penguasa usmani.
Untuk itu pemakalah akan menyajikan perkembangan Hukum Keluarga Islam
terutama mengenai hukum perdata
islam di Turki.
B. PEMBAHASAN
1. Selayang
pandang negara Turki
Negara Turki lahir dari
reruntuhan kesultanan Usmaniyah pasca perang dunia I yang terletak di Asia
kecil (Anatolia) yang didirikan oleh Mustofa Kemal Attaturk. Turki merupakan
negara sekuler pertama di dunia Islam. Negara yang berdekatan dengan benua
eropa ini memproklamirkan diri sebagai negara republik pada tahun 1923[3].
a. Letak
Geografis dan keadaan Penduduk
Turki negara Eropa Tenggara dan Asia kecil, berbatasan dengan
Georgia, Armenia, Azerbaijan, dan Iran di timur, Irak, Suriah dan laut tengah
di selatan, laut hitam di utara, laut Aegea di barat, dan Yunani serta di barat
laut. Luas :779.452 km2, diantaranya 755.688 km2 di Asia kecil (Semenanjung
Anatolia) dan 23.764 km di Eropa
Tenggara. Penduduk :56.941.000 (1990), sebagian besar diantaranya termasuk
etnis Turki. Agama : Islam (98%). Ibu kota :Ankara.
Persinggungan islam dengan Turki melalui sejarah
panjang, terhitung sejak abad pertama hijriah hingga suku-suku Turki menjadi
penganut dan pembela islam[4].
b. Proses Politik
Gerakan tanzimat[5] yang dikumandangkan oleh Turki Muda meupakan awal
pembaruan Turki di bidang militer, ekonomi, sosial, keagamaan. Gerakan tanzimat
didasari oleh pemikiran barat dan meninggalkan pola dasar syariát Islam.
Penyingkiran Islam oleh pemerintah Turki salah satunya tercermin dari
penghapusan kalimat “agama Negara Turki adalah Islam” yang semula terdapat pada
pasal 2 konstitusi negara. Pemerintah Turki juga membentuk komite untuk
mengkaji pembaruan Islam. Tujuan komite tersebut lebih bersifat politis yaitu
memisahkan seluruh lembaga sosial, pendidikan dari yurisdiksi para pemimpin
agama beserta sekutu-sekutu politik mereka, serta meletakkannya ke dalam
yurisdiksi direktorat urusan agama[6].
Rezim yang berkuasa
menjadi lebih sekuler ketika Islam “dinasionalisasi” pada bulan Januari 1932;
al-Qurán dibaca dalam bahasa Turki, Setahun kemudian muncul kebijakan tentang adzan
yang berbahasa Turki. Walaupun begitu Islam tetap digalang demi tujuan-tujuan
kewarganegaraan, seperti seruan agar masjid-masjid terus menyebarkan propaganda untuk mendukung perekonomian nasional[7].
Penerjemahan al-Qurán
dalam bahasa Turki yang dilakukan oleh Pemerintahan Mustofa Kemal Attaturk
dilakukan tanpa menyertakan teks aslinya (bahasa Arabnya). Walaupun begitu teks
Arabnya masih tetap dipakai dalam shalat. Dalam perkembangannya ada
kecenderungan orang-orang Turki kembali pada teks Arab dalam membaca al-Qurán.
Sedangkan penerjemahan al-Qurán ke dalam bahasa setempat dilakukan untuk lebih
memahami teks al-Qur’án[8].
Ketika politik multi partai diperkenalkan di Turki
pada tahun 1946, dakwaan bahwa umat islam tidak dapat beribadah dengan bebas
muncul secara menonjol diantara tuduhan-tuduhan yang
dilemparkan kepada Partai Rakyat
Republik yang telah berkuasa selama 27 tahun. Dakwaan ini datang dari sejumlah
partai politik yang baru saja terbentuk dengan suatu ideology islam yang
samar-samar sebagai dasarnya. Partai-partai itu antara lain :
- Partai Pembangunan Nasional (Party of National Development)
- Partai Keadilan Sosial (Party of Social Justice)
- Partai Tani (the cultivator peasent party)
- Partai Pembela Kemurnian (party of purification protection)
- Dan Partai Konservatif Turki (Turkish conservative Party)
Akan tetapi setelah pemilu tahun 1950 (pemilu
bebas pertama Turki) semua partai itu harus bubar cepat atau lambat karena
tidak memiliki dukungan pemilih[9].
c. Perubahan Sosial
Dalam periode 1960-1978, angka rata-rata kenaikan
GNP perkapita Turki mencapai 3,6 persen/tahun. Ini merupakan sukses besar.
Sementara itu pertambahan penduduk Turki sangat mencolok. Kalau tahun 1940
penduduknya berjumlah 17 juta, maka kini mencapai 56.941.000 jiwa. Turki
merupakan satu-satunya negara Timur Tengah yang memiliki dua kota besar yang berkembang
dengan rata-rata diatas 5 persen/tahun.
d. Pembangunan
Bidang Agama
Meskipun Turki termasuk negara sekuler, pertumbuhan
keagamaannya sangat mencolok. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penduduk yang
menjadi anggota sekte-sekte keagamaan. Pembangunan agama itu sendiri dilakukan
oleh pemerintah.
Dalam bidang sarana keagamaan, Turki sekarang ini
memiliki tidak kurang dari 62.000 masjid dan pembangunan masjid mencapai 1500
buah/tahun. Penjualan buku-buku dan kaset-kaset keagamaan menunjukan
angka peningkatan yang sangat besar. Selain itu telakh dibangun lebih dari 2.000
unit sekolah al-Qur’an.
2. Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga
Turki
Eksistensi hukum keluarga
di dunia sebagai hukum positif mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Tahir
Mahmood membagi tiga kategori negara berdasarkan hukum keluarga yang dianut[10].
1.
Negara yang menerapkan hukum keluarga
tradisional
Jumlah negara yang masuk
kategori ini adalah Saudi Arabia. Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania,
Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain.
2. Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler
Termasuk dalam kategori
ini adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Philiphina dan Uni Sovyet
(almarhum).
3. Negara yang menerapkan hukum keluarga yang diperbarui
Kategori ketiga ini
adalah negara yang melakukan pembaruan substantif dan atau pembaruan peraturan.
Pembaruan hukum keluarga Islam untuk pertama kalinya dlakukan di Turki, diikuti Lebanon dan Mesir.
Negara Brunei, Malaysia dan Indonesia juga masuk kategori ini.
Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam,
terutama di Asia Barat. Hukum
perdata Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga
menampung mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al adhiya[11]
yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat
aturan tentang hukum keluarga.
Aturan hukum yang berkaitan dengan
perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915. Materi perubahan pada
tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai yang menurut mazhab
Hanafi hanya menjadi otoritas suami[12]. Seorang isteri yang ditinggal pergi
oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa
ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai
dari suaminya.
Pada tahun yang sama dikeluarkan dua
ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan
suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki
sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian
dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit
tertentu yang membahayakan kelangsungan rumah tangga[13].Hukum tentang hak-hak keluarga (The
Ottoman Law of Family Rights/Qanun al-huquq al-Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian diundangkan pada
tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam.
Hukum tentang hak-hak keluarga tahun
1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turki Usmani mengatur tentang hukum
perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah).
Undang-undang ini bersumber pada berbagai mazhab sunni.
Hukum tentang hak-hak keluarga tahun
1917 dalam bagian tertentu berlaku bagi golongan minoritas Yahudi dan Nasrani,
karena undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menyatukan yurisdiksi hukum
pada pengadilan-pengadilan nasional[14]. Undang-undang yang terdiri dari 156
pasal ini hanya berlaku singkat selama dua tahun, namun munculnya undang-undang
ini memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengadopsinya dengan beberapa
modifikasi.
Beberapa tahun setelah pencabutan Hukum
tantang hak-hak keluarga tahun 1917 situasi politik di Turki memberikan sedikit
ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane
tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum
perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang hak-hak
keluarga tahun 1917, Majallah al-ahkam al adhiya tahun 1876 dan hukum
tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun
perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional seperti pengambilan materi dari mazhab
yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar
menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi kekosongan
hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut Pemerintah Turki mengadopsi hukum
perdata Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland, 1912) dengan
beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam
hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam
beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang
dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu
pada hukum perdata Swiss tahun 1912[15].Materi yang menonjol
dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang
pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal untuk kawin,
larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian,
dan lain-lain. Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau
isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah
pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah
tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di
pengadilan.
Ketentuan tentang perceraian diatur
pada Pasal 129-138 Hukum Perdata Turki
tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat
mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah
ditentukan sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zina.
2. Salah satu
pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak
lainnya.
3. Salah satu pihak melakukan kejahatan
atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam
kehidupan rumah tangga.
4. Salah satu
pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan
sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.
5. Salah satu
pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang
mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli
medis (dokter).
6. Terjadi
ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan.
Seiring dengan perkembangan zaman Hukum
Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap
pertama terjadi pada kurun waktu 1933-1956. hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti
kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk
memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk
perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing
pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak
yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta
dan keadaan kuat.
Proses amandemen kedua
terhadap Hukum Perdata Turki tahun 1926 berlangsung pada tahun 1988-1992.
Amandemen tahun 1988 memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (divorce
by mutual consents), nafkah istri dan penetapan sementara selama proses
perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan,
pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen yang dilakukan oleh legislative
tersebut berakhir tahun 1992.[16]
Materi amandemen tahun 1990 yang
berkaitan dengan perceraian, antara lain :
1. Salah satu
pihak dapat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari ketidakcocokan tabiat
yang berakibat pada rumah tangga yang tidak bahagia.
2. Pihak yang
tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi
yang layak dari pihak lain.
3. Pihak yang
tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan meminta nafkah
dari pihak lain selama setahun.
3. Metode Pembaruan Hukum Keluarga Turki
Perkembangan modern di dunia Islam
disebabkan oleh empat faktor[17]. (1) apakah suatu negara tetap
mempertahankan kedudukannya atau didominasi oleh negara eropa. (2) Watak
organisasi ulama atau kepemimpinan. (3) Perkembangan pendidikan Islam. (4)
sifat kebijakan kolonial dari negara-negara penjajah. Pembaruan hukum Islam di
Turki dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hukum
keluarga diikuti oleh penduduk Turki. Walaupun terdapat perbedaan antara
modernis dan tradisonalis, namun tidak sampai pada taraf antipati. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak
mempunyai institusi keagamaan yang kuat seperti di Mesir (al-Azhar). Hal ini
sebagai akibat dari sekularisasi yang diterapkan di Turki. Aturan-aturan hukum
yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan Turki telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan fiqh konvensional. Hal
ini setidaknya dapat dilihat dari uraian berikut :
1. Otoritas
pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami, sedangkan istri
tidak mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan apapun, sejak munculnya
hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri diperbolehkan mengajukan
perceraian.
2. Perceraian dilakukan di
pengadilan yang didahului dengan permohonan cerai dari pihak suami atau isteri
(Hasil Amandemen Pasal 129-135).
3. Dalam masalah perceraian menurut fiqh
konvensional tidak dikenal istilah pisah ranjang (juditial separation). Hukum
perdata Turki tahun 1926 mengatur dan membolehkan pisah ranjang.
4. Pihak suami
isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai dengan mendasarkan
pada ketentuan perundang-undangan (Pasal 129-138 Hukum Perdata Turki 1926 dan
Pasal 134-144 Hasil Amandemen Tahun 1990).
5. Suami atau
isteri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan perceraian) maka
perlakuan terhadap suami yang zina sama dengan isteri yang zina.
6. Penyakit
jiwaa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan perceraian, sedang
dalam fiqh konvensional berkaitan dengan fasakh.
7.
Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakataan bersama
(suami isteri) berdasar hasil Amandemen tahun 1988.
8.
Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat perceraian
diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak (Pasal 143 Hasil
Amandemen tahun 1990).
Metode pembaruan hukum Islam yang
digunakan di Turki pada tahap awal menggunakan metode takhayyur. Hal ini
dapat dilihat pada kodifikasi hukum majallat al-ahkam al-adhiya tahun
1876[18]. dengan memilih salah satu dari sekian
pendapat mazhab fiqh yang ada.
Aplikasi metode takhayyur dalam
perundang-undangan Turki menurut Anderson[19]. seperti pada aturan ta’lik talak yang
dicantumkan pada Pasal 38 Hukum tentang Hak-hak keluarga tahun 1917 bahwa
seorang isteri berhak mencantumkan dalam ta’lik talak bahwa poligami suami
dapat menjadi alasan perceraian. Metode pembaruan hukum keluarga yang dominan
terutama berkaitan dengan perceraian adalah maslahah mursalah. Hal ini
nampak dari ketentuan yang mewajibkan perceraian di Pengadilan, kemaslahatan
yang diperoleh adalah sikap kehati-hatian dan kepastian hukum. Keseimbangan hak
antara suami isteri dalam pengajuan cerai dengan alasan-alasan yang
mendasarinya juga dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan salah satu
pihak (suami) yang mengakibatkan kerugian dipihak lain dan mengembalikan posisi
isteri yang sering termarjinalkan oleh konstruksi pemahaman hukum Islam.
Pembaruan hukum keluarga di Turki dalam
perspektif kategorisasi metode pembaruan, dapat dikemukakan bahwa metode
pembaruan extra doctriner reform nampak pada masa-masa awal pembaruan
ditandai dengan munculnya protes kaum istri yang merasa terkekang oleh mazhab
Hanafi, kemudian memunculkan solusi alternatif perceraian dari pihak isteri
yang ditinggal suaminya yang lebih mengacu pada mazhab Hambali dan Maliki.
Metode intra doctriner reform lebih mewarnai pembaruan hukum keluarga di
Turki seperti penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan dengan
hanya mengakui perceraian yang terjadi dalam sidang di pengadilan. Pembaruan ini merupakan
bentuk kepastian hukum bagi masyarakat Turki.
4. Hukum Islam
Turki
Ketika Imperium kerajaan usmani masih berkuasa,
imperium memberlakukan system yudisial dan legal yang digabungkan dengan
syariah khususnya yurisprudensi mazhab Hanafi dimana pengadilan diarahkan untuk
menerapkan keputusan berbagai kasus. Sistem ini ditopang
oleh lembaga keagamaan yang
nyaris independen dari kekuasaan sultan (kepala pemerintahan)[20].
Sultan tidak boleh sewenang-wenang memberlakukan hukum syariah
tanpa legitimasi berupa fatwa dari lembaga mufti. Di pihak lain, mufti memiliki
kewenangan untuk memilih para hakim yang mengatur pemberlakuan syariah di
seluruh wilayah kerajaan. Namun pada masa abad 19, bersamaan dengan lengsernya
kekuasaan usmani, semua lembaga-lembaga keagamaan ini tidak lagi diberlakukan.
Untuk sistematisasi serta kodifikasi system hukum, pada tahun
1839 dikeluarkan dekrit Imperium Hatt-I Syarif sebagai pondasi bagi
rezim legislative modern[21].
Revolusi politik yang telah memporak-porandakan
wilayah imperium
usmani dan melengserkan jabatan khalifah ikut memberi dampak terhadap penggantian
UU sipil tahun 1876 dan hukum keluarga
yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam mazhab
Hanafi yang belum sempat terkodifikasi dengan UU sipil pada tahun 1926.
Sebelumnya untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan
status perseorangan, hubungan keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah
usmani secara formal dengan mengadopsi hukum dari mazhab Hanafi, tetapi hanya
berlangsung sampai tahun 1915, perubahan terjadi karena tuntutan perubahan
kondisi sosial yang terjadi, sekalipun upaya perealisasiannya dilakukan secara
bertahap.
5. Materi
Hukum Keluarga Turki
a. Pertunangan
Hukum keluarga Turki mendorong pengadilan untuk
tidak mengadakan perjanjian khusus pernikahan[22]. Jika pesta
pertunangan sudah dilakukan, ternyata perjanjian pernikahan batal, pihak yang
dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan dibebani kewajiban membayar ganti
rugi berupa ganti biaya pesta yang telah dikeluarkan. Ulama Hanafiyah
menjelaskan bahwa khitbah bertujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga
dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama suka. Jika ada hadiah yang
diberikan dalam pesta pertunangan yang gagal tersebut, hadiah yang dimaksud
harus dikembalikan nilainya dalam batas waktu satu tahun.
b. Umur Pernikahan
Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang
yang hendak nikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi
perempuan.Dalam kasus-kasus tertentu pengadilan dapat mengizinkan pernikahan
pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan14 tahun bagi perempuan setelah mendapat
izin dari orang tua atau wali[23].
c. Poligami
Undang-undang Turki melarang perkawinan lebih dari
satu selama perkawianan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa
seorang tidak menikah , jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan yang
pertama bubar karena kematian, perceraian atau pembatalan. Pernikahan yang kedua
dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah
berumah tangga saat menikah.
Dalam ottoman law offamily Rights (Qanun Qarar
al-Huquq Al-a’ilah al-usmaniyah) tahun 1917 pasal 38 menetapkan dibolehkannya
taklik talak bagi isteri bahwa suaminya tidak boleh menikah lagi dengan
wanita lain (poligami).tahun 1915, sultan dalam ketetapannya menyatakan bahwa
isteri dapat minta cerai kalau suami meninggalkan istrinya. Ketetapan lain
dikeluarkan pada tahun yang sama, seorang isteri dapat minta cerai dengan alasan
suami kena penyakit yang menyebabkan tidak mungkin
hidup bersama sebagai suami isteri[24].
Mengenai poligami, Tahir Mahmood mengutip al-Qur’an (IV:3) yang berbunyi:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S.
al-Nisa/4:3)
Ia mengatakan
meskipun seseorang diizinkan
mempunyai empat isteri pada waktu yang sama, namun mereka yang tidak
memperlakukan isteri-isterinya secara adil dan setara tidak boleh
melakukannya.
Perkawinan monogami akan lebih
baik karena menghindarkan
laki-laki berbuat tidak adil izin bagi laki-laki untuk melakukan poligami
sangat kondisional, tidak absolute dan karenanya sangat ketat dengan peraturan,
perjanjian atau hukum.
d. Resepsi
Pernikahan
UU sipil menyatakan bahwa perkawinan boleh
dirayakan sesuai dengan agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran
dilakukan sebelum perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi sesuai
dengan peraturan yang berlaku, kedua pasangan boleh merayakan pernikahan.
e. Syarat-syarat
Pernikahan
Para ulama menetapkan 10 persyaratan bagi
keabsahan suatu pernikahan, dan persyaratan tersebut telah disepakati :
- Calon mempelai wanita tidak mahram (yang haram dinikahi) bagi calon mempelai laki-laki, baik dalam waktu tertentu maupun selamanya.
- Shigat ijab Kabul tidak temporal.
- Ada dua orang yang adil
- Pernikahan dilakukan dengan sukarela oleh kedua belah pihak atau tidak dengan paksaan.
- Kedua calon mempelai jelas jati dirinya
- Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh
- Mempelai laki-laki dan para saksi tidak merahasiakan pernikahan
- Pernikahan dengan memberi mas kawin (mahar)
- Salah satu dari kedua calon mempelai tidak sedang sakit membahayakan
- Ada wali yang menikahkan
f. Pembatalan
Pernikahan
Suatu pernikahan harus dibatalkan di bawah UUsipil
Turki dalam kondisi berikut :
- Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah
- Salah satu pihak pada saat menikah menderita sakit jiwa atau penyakit permanen lain
- Pernikahan termasuk yang dilarang
g. Perceraian
dan pemisahan
Menurut UU sipil Turki ada 6 hal yang membolehkan
suami isteri menuntut pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, dengan catatan
meskipun dekrit perceraian telah diterbitkan, pengadilan boleh memberikan
pemilahan yudisial jika rekonlisiasi diantara pasangan memungkinkan. Jika
pemilahan diberikan dan tidak ada rekonsiliasi yang terjadi diantara keduanya sampai akhir periode
yang diberikan, salah satu pihak boleh meminta cerai. Keenam hal tersebut
adalah :
- Salah satu pihak telah memutuskan
- Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain
- Salah satu pihak telah melakukan tindak criminal yang membuat hubungan perkawianan tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
- Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa ada sebab yang jelas selama sekurang-kurangnya 3 bulan
- Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode sekurang-kurangnya 3 tahun
- Hubungan suami dan isteri sedemikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir
h. Hukum
Waris
Buku ketiga UU sipil berkaitan dengan kewarisan.
Buku ini mengenalkan semua skema
warisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU swizerland. Hukum Hanafi tentang
kewarisan sebelumnya telah diikuti oleh Turki sampai pada tahun 1926 dan
kemudian diganti dengan skema baru.
Salah satu bagian terpenting yang ditawarkan
adalah prinsip kesetaraan antara laki-laki perempuan yang berkaitan dengan
kewarisan. al-Qur’an menun jukkan tingkat kedekatan proposisi bahwa kesamaan
laki-laki harus terjadi dalam pembagian dua kali perempuan.
C. PENUTUP
Hukum keluarga di Turki telah mengalami
beberapa kali perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The
Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) diperbarui dengan
Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish civil code, 1926), kemudian
diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.
Materi pembaruan hukum keluarga dalam
masalah perceraian seputar persamaan hak dalam pengajuan perceraian antara
suami istri dan alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian. Metode pembaruan
yang diterapkan dalam masalah perceraian adalah maslahah mursalah.
Walaupun begitu extra dan intra doctriner reform cukup mewarnai
dinamika pembaruan hukum keluarga di Turki.
[1]Q.S. as-Saba/34 : 28 dan Surat al-Anbiya/21:107
[2] Atho Muzhdar dan Khairuddin Nasution, Hukum
Keluarga Di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 36
[3] Jonhn L. Esposito, Ensiklopedi Oxford
Dunia Islam, alih bahasa Eva Yn. Dkk, (Bandung:Mizan, 2001), h.63
[5]
Tanzimat secara etimologis berarti
pengaturan, penyusunan dan perbaikan. Secara terminologis berati
suatu usaha pembaruan yang mengatur dan menyusun serta memperbarui struktur
organisasi pemerintahan, social, ekonomi dan kebudayaan antara tahun 1939-1876.
Baca M. Yusron Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Islam (Jakarta:LSIK dan Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 65.
[6]
Jonhn L. Esposito, Ensiklopedi….h. 65
[8]
Fazlur Rahman, Islam dan
Modernitas Tentang Transformasi Intentelektual,
alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. II (Bandung:Pustaka, 2000), h. 47
[10] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The
Muslim Word, (Bombay: N.M. TRIPATHI, PVT.LTD, 1972), h. 3
[11]
Kodifikasi hukum Majallah al-ahkam al adhiya mempunyai makna yang
penting dalam sejarah yang dikenal sebagai kodifikasi hukum islam yang pertama
yang bersumber pada syariáh. Kodifikasi tersebut mulai terbuka dengan tidak
semata-mata mendasarkan pada mazhab Hanafi
[12]
Talak yang diucapkan suami dalam keadaan mabuk, di bawah ancaman, gurauan,
sekedar menakut-nakuti, bahkan dalam keadaan mimpi atau keadaan tidak sadar
karena sakit menurut mazhab Hanafi tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum.
Suami dapat menceraikan isterinya kapanpun ia kehendaki, dan isteri dapat
dicerai oleh suaminya, meskipun isteri tersebut tidak menghendaki cerai sama
sekali. Para isteri yang merasa terikat oleh mazhab Hanafi tersebut yang justru
pertama kali mendesak pemerintah Turki untuk melakukan pembaruan hukum
keluarga. Lihat J.N.D. Anderson, Hukum Islam…, hlm.57-58.
[13] Ibid.,
hlm. 27.
[14] Ibid,.
[15]
Tahir Mahmood, Family Law…, hlm. 17-18.
[16]
Tahir Mahmood, Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts
and Analysis, Revised Edition (New Delhi: ALR, 1995), h. 84
[18] David
Pearl and Werner Menski, Muslim Family Law, third edition (London:Sweet
and Maxwell, 1998), hlm. 21.
[19]
Sebagaimana dikutip Khoiruddin Nasution, Status Wanita…, hlm. 279.
[23] Muhammad Amin al-Shahir bin Ibn Ibidin, Hasyiyah Radd
al-Mukhtar , (Beirut : Dar al-Fikr), h. 599
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....