Sabtu, 28 Desember 2013

Posisi Kesediaan Istri untuk Rujuk



  1. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW, sebagai panutan umat khususnya dalam berkeluarga.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi derajat seorang perempuan dan memuliakannya. Banyak kemulian telah diberikan Islam kepada kaum perempuan. Diantarannya mengembalikan hak-hak perempuan yang dirampas dan dijajah oleh kaum laki-laki jahiliyyah.
Meskipun masa jahiliyyah telah berlalu, akan tetapi perbuatan jahiliyyah masih kita temukan khususnya di Indonesia. Dalam banyak media kita dapati prosentase kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat tiap tahunnya. Yang dalam kekerasan itu rata-rata sebagai objeknya adalah kaum hawa ( para istri). Kekerasan yang terjadi tersebut berakibat kepada keselamatan hidup yang tidak terjamin bahkan sampai kepada keselamatan nyawa.
Keadaan ini merupakan permasalahan serius, karena bertolak belakang dengan ajaran Islam dan tuntunan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan perlindungan hukum dan hak-hak perempuan.
Pada kesempatan kali ini penulis mencoba membahas tentang problematika rumah tangga, khususnya posisi kesedian istri dalam rujuk ditinjau dari pendapat Ulama Klasik (Mazhab Arba’ah) dan Ulama Syi’ah serta membandingkannya dengan hasil ijtihad ulama Indonesia yang dituangkan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu pada pasal 164 (hak wanita mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya) dan pasal 165 (rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan PA), dan juga perbandingannya di dunia Islam.

  1. Posisi Kesedian Istri dalam Rujuk
1.      Pengertian Rujuk
Secara umum rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Secara etimologi; الرجوع مصدر رجع  (kata rujuk itu masdar katanya ra-ja-‘a), yang berarti; العودة إلى حال الأول  (mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula).[1] Kata rujuk juga dipakai sebagai penamaan untuk orang yang baru satu kali melakukan rujuk kepada istrinya. Kata lain yang sering terdapat dalam al-Qur’an adalah إمساك dan رد.
Adapun pengertian rujuk secara terminologi;
a.       Ulama Hanafiyah, rujuk adalah meneruskan hak milik (pernikahan) yang masih ada tanpa ganti rugi selama masih dalam masa iddah yaitu melanjutkan pernikahan dalam masa iddah talak raj’i.[2]
b.      Ulama Malikiyah, rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak untuk memelihara pernikahan tanpa memerlukan aqad yang baru.[3]
c.       Ulama Syafi’iyah, rujuk adalah mengembalikan seorang wanita kepada pernikahan yang telah di talak selain talak ba’in dan masih dalam masa iddah dengan tata cara yang telah ditentukan.[4]
d.      Ulama Hanabillah, rujuk adalah mengembaliikan istrinya yang telah ditalak kepada perkawinan yang pernah terjadi tanpa memerlukan aqad.[5]
e.       Sedangkan dari ulama Syi’ah (Imamiyah), penulis tidak mendapatkan sebuah redaksi yang jelas tentang defenisi rujuk, hanya saja mereka langsung memberikan penafsirannya yang berdasarkan kepada surat al-Baqarah ayat 228, yaitu tentang bahwa suami lebih berhak merujuk istrinya yang dalam talak raj’I, meskipun sang istri tidak mengetahui atau ghaibah. Selain itu juga Ulama syi’ah (Imamiyah) berpendapat rujuk dapat terjadi melalui watha’, qobbala, sentuhan yang disertai syahwat atau tidak, dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Rujuk tidak membutuhkan pendahuluan berupa ucapan, sebab wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam ‘iddah, dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat rujuk.[6]
f.       Menurut al-Mahalli, rujuk adalah kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masih iddah.[7]
g.      Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), rujuk adalah kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih di masa iddah.[8]
Dari beberapa defenisi diatas dapat dilihat adanya beberapa penilaian yang berbeda dikalangan ulama tentang pengertian rujuk, yang berimbas kepada berbedanya mereka dalam merumuskan proses dan juga syarat-syarat dalam pelaksanaan rujuk. Hal yang sangat nyata perbedaannya adalah tentang terjadinya rujuk dengan perbuatan, baik dengan watha’ langsung ataupun dengan sentuhan-sentuhan yang mengarah kepada hubungan badan tanpa diawali dengan ucapan.
2.      Proses Rujuk Menurut Lima Mazhab
Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri yang ditalak, atau dengan perbuatan. Rujuk dengan ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh para ulama, dan dilakukan dengan lafazh yang sharih (jelas), misalnya dengan ucapan “saya rujuk kembali kepadamu” atau dengan kinayah (sindiran), seperti ucapan“sekarang, engkau sudah seperti dulu”. Kedua ungkapan ini, bila diniatkan untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk, maka tidak sah.
Sedangkan rujuk dengan perbuatan ulama berbeda pendapat:
a.       Ulama Hanafi berpendapat bahwa rujuk dapat terjadi dengan  perbuatan watha’ dan juga dengan perbuatan lain yang dapat mengarah kepada hubungan tersebut seperti sentuh-sentuhan atau ciuman yang disertai syahwat.
b.      Ulama Malikiyah berpendapat sah rujuk yang dilakukan dengan perbuatan dengan syarat harus dengan niat rujuk.[9]
c.       Ulama Syafi’iyah mengatakan apabila seorang suami maenggauli istrinya yang telah ditalak, baik dengan niat rujuk ataupun tidak, maka hubungan mereka tersebut dinilai syubhat, tidak ada ketentuan bagi mereka berdua dalam hal itu, dan dikenakan sanksi bagi suami dan istri bila mereka mengetahui  hal tersebut. Dan bagi suami wajib membayar mahar mitsil kepada sang istri.
d.      Ulama Hambali mengatakan sah rujuk yang dilakukan dengan perbuatan watha’ meskipun tidak diiringi dengan niat. Ulama Hambali menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan tersebut adalah hubungan badan suami istri, sedangkan perbuatan selain watha’, seperti bersentuhan atau ciuman sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya rujuk meskipun perbuatan tersebut diiringi dengan syahwat.
e.       Ulama Syi’ah (Imamiyah) menyatakan bahwa rujuk dapat terjadi dengan perbuatan hubungan suami istri, sentuhan-sentuhan ataupun dengan berciuman atau perbuatan lainnya yang halal dilakukan oleh suami kepada istrinya, baik perbuatan itu diiringi dengan syahwat ataupun tidak dan dengan niat rujuk ataupun tidak.[10]
Dari uraian diatas para ulama berbeda pendapat dari segi proses rujuk, akan tetapi mereka sepakat bahwa bekas istri yang dirujuk itu harus berada dalam masa iddah talak raj’i tersebut tidak bergantung kepada persetujuan istri.[11]
3.      Syarat Sah Rujuk
Syarat sah rujuk ialah: 1) Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau dari hakim. 2) Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka tidak ada rujuk. Demikian menurut kesepakatan ulama. 3) Masih dalam waktu iddah. Kalau sudah diluar waktu iddah (selesai iddah) masalahnya lain, harus diperhatikan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan dalam talak. contoh kalau talak bain kubra, tidak bisa dinikahi oleh bekas suaminya sebelum dinikahi oleh laki-laki lain dan berkumpul.[12]
4.      Hal-Hal yang Tidak Disyaratkan dalam Rujuk
Wahbah az-Zuhaily dalam kitabnya  al-fiqh al-Islam wa adillatuh merincikan secara sistematis apa saja yang tidak disyaratkan dalam proses pelaksanaan rujuk, yaitu :[13]
1.      Persetujuan istri
Para ulama sepakat bahwa tidak disyaratkan persetujuan istri dalam proses rujuk, hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228:
4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 ÇËËÑÈ                                                  
  dan suami suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (rujuk)”
Ayat ini menjelaskan bahwa hak rujuk ada pada suami. Dan tidak  diberikan pilihan kepada bagi sitri (untuk menerima atau menolak). Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam firmannya:
فأمسكوهن بمعروف
“maka tahanlah mereka dengan cara yang baik”
Karena rujuk itu adalah menahan si istri dalam hubungan pernikahan, maka tidak perlu persetujuannya dalam rujuk dan juga tidak diperlukan wali dalam rujuk.
2.      Memberitahukan keadaan rujuk kepada istri
Dianggap sah rujuk meskipun sang istri tidak mengetahui bahwa ia telah di rujuk suaminya, karena tidak disyaratkan untuk memberitahukan sang istri dan rujuk merupakan hak mutlak suami tanpa membutuhkan persetujuan istri sebagaimana juga talak. akan tetapi memberitahukan sang istri tentang keinginan rujuk adalah hal yang dianjurkan, agar sang istri tidak dinikahi oleh orang lain setelah habis masa iddahnya, dan juga agar tidak terjadi perselisihan pendapat antara suami-istri apabila telah ditetapkan kepastian rujuknya sang suami.
3.      Saksi dalam rujuk
Saksi dalam rujuk bukanlah merupakan syarat sahnya rujuk, ini menurut pendapat jumhur yang terdiri dari Hanafiyah dam Malikiyah yang tergolong dalam mazhab yang masyhur, kemudian diikuti oleh Syafi’iyah, Hanabillah dan Imamiyah. Akan tetapi mendatangkan saksi di anjurkan (sunnah) untuk menghindari pengingkaran istri setelah habis masa iddahnya, dan menghilangkan keraguan pelaksanaan rujuk.
Menurut mazhab Zhahiriyah: wajib adanya saksi dalam rujuk, apabila tanpa saksi maka rujuk tersebut dinyatakan tidak sah, hal ini didasari oleh firman Allah SWT dalam surat at-Thalaq ayat 2:
فإذا بلغن اجلهن فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف و أشهدوا ذوي عدل منكم
Bentuk “amar” dalam ayat tersebut (menurut Zhahiriyah) menunjukkan wajib, maka ia menjadi syarat dalam proses rujuk. Namun menurut pendapat jumhur bentuk kata “amar” dalam ayat tersebut mengandung makna sunnah, karena adanya qarinah dari ayat-ayat yang lain seperti: فأمسكوهن بمعروف dan و بعولتهن أحق بردهن kemudian ditambah lagi dengan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yaitu:
أخبرنا يوسف ابن عيسى مروزي قال حدثنا الفضل بن موسى قال حدثنا حنظلة عن سالم عن ابن عمر انه طلق امرأته و هي حائض فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجعها
‘Telah memberitakan kepada kami Yusuf ibn ‘iysa Marwazi  telah menceritakan kepada kami al-Fadl ibn Musa telah menceritakan kepada kami Hanzolah dari Salim dari ibn Umar, bahwasanya ibnu Umar telah mentalak istrinya dan dia (istrinya) dalam keadaan haid, maka Nabi SAW memerintahkan (Ibn Umar untuk merujuk istrinya) maka ia merujuknya.’[14]
Dalam hadis ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk mengadakan saksi dalam pelaksanaan rujuknya tersebut, kalaulah saksi merupakan syarat rujuk, maka pastilah Nabi memerintahkannya.
Dari qarain di atas maka jumhur berpendapat bahwa bentuk kata “amr” yang terdapat dalam ayat ‘wa asyhiduw’ bukan lah bermakna perintah wajib melainkan sunnah, dan inilah yang menjadi dalil bahwa saksi dalam rujuk tidak menjadi syarat menurut para jumhur.
5.      Pelaksanaan Rujuk di Dunia Islam
Pada abad ke-20, pada umumnya negeri-negeri muslim telah memberlakukan UU tentang Hukum Keluarga yang semangat dasarnya adalah melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat wanita. Hal ini terbukti dalam pengaturan-pengaturan dalam berbagai bidang. Seperti: selisih umur kawin, pencatatan perkawinan, perceraian di depan pengadilan, dan pembatasan atau pelarangan poligami. Pada umumnya isi pengaturan dalam bidang-bidang tersebut berbeda dengan pendapat yang ada dalam kitab-kitab fikih. Pengaturan tentang rujuk (berdasarkan kesedian istri) sedikit sekali Negara-negara Islam yang melakukan reformasi. Rata-rata Negara-negara Islam di dunia masih merujuk ke fikih klasik, bahwah proses pelaksanaan rujuk tidak membutuhkan persetujuan bekas istri.
Seperti Negara Aljazair yang mayoritas masyarakatnya menganut paham Malikiyah, tentang masalah rujuk (tidak perlu persetujuan istri). Sedangkan hukum rujuk lainya dikodifikasi berdasarkan mashlahah, diantaranya ‘jika suami ingin kembali pada istri selama berlangsungnya usaha damai, tidak perlu membuat akad baru. Namun bila ia kembali setelah perceraian, hubungan mereka mesti dikukuhkan dengan akad baru (pasal 50)’.[15]
Diantara Negara-negara Islam yang melakukan reformasi dan kodifikasi  hukum tentang diperlukan kesedian istri dalam rujuk  adalah Brunei Darussalam dan Indonesia.
a.      Brunei Darussalam
Dalam undang-undang mereka disebutkan adanya rujuk setelah dijatuhkan talak, yaitu apabila cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan kedua belah pihak dengan syarat tidak melanggar hukum muslim dan qadi harus mendaftarkan untuk “tinggal bersama” itu (pasal 146 ayat 5).
Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri, maka ia tidak dapat diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara itu (pasal 150 ayat 5).
Kemudian jika setelah menjatuhkan talak yang masih bisa dirujuk kembali- pihak suami mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan oleh qadi untuk tinggal bersama, tetapi perintah tersebut tidak bisa dibuat sekiranya istri tidak memberi kerelaan (pasal 150 ayat 6).[16]
b.      Indonesia
Pelaksanaan Rujuk Menurut KHI
Proses pelaksanaan rujuk yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat dalam BUKU 1 tentang Hukum Perkawinan pada bab XVIII. Di dalam bab tersebut di uraikan prosesnya dalam bentuk pasal-pasal yaitu sebanyak tujuh pasal yang dimulai dari pasal 36 sampai dengan pasal 169 yang terbagi kepada dua bagian, sebagai berikut:
BAGIAN KESATU (UMUM)
Pasal 163:
(1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.
Pasal   164 :
Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegewai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165 :
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166 :
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.
BAGIAN KEDUA (TATA CARA RUJUK)
Pasal 167:
(1)   Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
(2)   Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3)   Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4)   Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5)   Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati susmi istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168 :
(1)   Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang melayaninya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2)   Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai  Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3)   Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169 :
(1)   Pegawai Pencatat Nikah Membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan Buku Pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2)    Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut dating ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talakdahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3)   Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan panitera.[17]
Dari rincian pasal di atas dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan proses rujuk harus melalui tahapan-tahapan dan ketentuan-ketentuan yang baru serta harus ditaati oleh kedua belah pihak. Proses ini merupakan hasil ijtihad para ulama yang menginginkan pembaharuan dan perbaikan serta kemashlahatan umat Islam di Indonesia.
Dalam pasal 164 dan 165 disyaratkan adanya persetujuan istri dalam proses rujuk yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istri yang telah ditalaknya. Disebutkan secara tegas bahwa seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan PPN disaksikan dua orang saksi, kemudian pada pasal berikutnya (165); rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan PA.
Sedangkan dalam ketetapan para Imam Mazhab rujuk itu tidak membutuhkan persetujuan dari istri, tanpa ada perbedaan pendapat (dikalangan ulama), meskipun ketika dirujuk si istri sedang ghaib, maka rujuk tersebut dinyatakan sah. Dan dalam rujuk itupun tidak dimintakan ‘iwadh dan tidak pula mahar. Juga hal ini tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan ulama).[18] Ini senada dengan perkataan Imam Qurthuby dalam kitabnya bahwa lafaz ‘wa bu’u latuhunna ahaqqu biroddihinna’ adalah ketentuan hukum yang berlaku bagi selain talak tiga, dalam hal ini ulama sepakat bahwa bila seorang laki-laki yang mentalak istrinya baik talak satu maupun dua, maka (laki-laki tersebut) berhak merujuki bekas istrinya tersebut selagi masih dalam masa iddah meskipun bekas istrinya tersebut enggan.[19]
Berbedanya ketetapan Imam Mazhab dengan KHI tentang proses pelaksanaan rujuk perlu atau tidaknya izin istri tidak terlepas dari dalil- dalil dan perkembangan hukum yang ditentukan oleh peralihan zaman dan keadaan. Seperti KHI menetapkan adanya persetujuan istri dikaitkan dengan bahwa harus adanya persetujuan janda dan wanita gadis ketika ia hendak dinikahkan. Dalilnya dari hadis Nabi SAW:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تنكح الأيم حتى تستامر ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا يارسول الله وكيف اذنها قال ان تسكت (متفق عليه)[20]
‘Dari Abi Hurairah r.a di a berkata: telah bersabda Rasulullah SAW; janganlah kamu menikahkan janda sebelum kamu memintakan persetujuannya, dan janganlah kamu menikahkan gadis perawan sebelum meminta izinnya, mereka (para sahabat) bertanya: ya Rasulullah; bagaimana bentuk izinya? Berkata Rasululah: yaitu diamnya.
Inilah yang menjadi dasar timbulnya ketetepan bahwa harus adanya persetujuan istri dalam proses rujuk, ketika harus adanya persetujuan secara langsung bagi al-Ayyim (janda) dan izin bagi al-bikr ketika ia hendak dinikahkan. Selanjutnya yang menjadi dasar KHI dalam menetapkan hal ini adalah konsep maslahah, yaitu memelihara keselamatan sang istri, yang dikhawatirkan akan terjadi objek kesewenangan dari suaminya. Dasar konsep maslahah ini adalah kaedah ushul sebagai berikut:
درء المفاسد أولى من جلب المصالح
 ‘menolak kerusakan lebih utama dari pada mengambil maslahah’
Sedangkan menurut para Imam Mazhab yang menjadi dasar penetapan hal ini adalah surat al-Baqarah ayat 228:
£`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ  (أي في العدة)  ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) (اي رجعة)[21]
‘dan suami-suaminya berhak merujukinya, dalam masa menanti itu (masa iddah), jika mereka para suami menghendaki islah (rujuk).
Menurut para Ulama Mazhab ayat diatas bermakna jelas bahwa rujuk itu adalah hak suami kepada istri yang ditalaknya, selagi rujuk itu dilakukan terhadap talak yang bersifat raj’i dan masih dalam masa iddah. Seperti ungkapan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-um:
‘siapapun yang ingin melakukan rujuk, maka hal itu adalah haknya (suami), hal ini dikarenakan Allah telah menjadikan rujuk itu sebagai haknya (suami). Syafi’i menambahka; bahwa siapa saja dari para suami medeka yang telah mentalak istrinya setelah ia berhubungan dengannya, baik talak satu ataupun dua, maka ia suami tersebut berhak untuk merujuk istrinya, selagi belum habis masa iddahnya, hal ini didasarkan kepada dalil kitabullah (al-Qur’an).[22]
Penulis memandang kententuan hukum yang ditetapkan oleh ulama mazhab bahwa bagi seorang suami memiliki hak atas kehendak rujuk yang diajukan kepada istri yang telah ditalak (raj’i) olehnya selagi masih dalam masa iddah. Karena dalil yang dipakai oleh ulama mazhab adalah qoth’i. sedangkan ketetapan yang ada pada KHI tentang adanya persetujuan istri dalam menentukan diterima atau tidaknya kehendak seorang suami yang ingin merujuk kembali istrinya yang dalam talak raj’i serta masih dalam masa iddah, adalah suatu upaya pengembangan hukum Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para ulama (mujtahid) yang berada di Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh para ulama Indonesia ini bukanlah merupakan penolakan terhadap ketetapan hukum Islam  yang telah dilakukan oleh para ulama mazhab, akan tetapi merupakan upaya dinamisasi dan fleksibilitas serta pengembangan hukum Islam khususnya di Indonesia.
Menurut penulis apa yang dilakukan oleh KHI khususnya pasal 164 dan 165 ini merupakan pilihan yang benar, mengigat kondisi masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam sudah mengalami proses peralihan waktu dan tempat yang sudah tidak memungkinkan untuk diberlakukannya ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama mazhab. Ini sesuai dengan kaedah ushul;
تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكنة[23]
‘Perobahan suatu hokum seiring dengan perubahan waktu dan tempat’
تغير الفتوى بتغير الأزمنة و الأمكنة[24]
‘Perubahan suatu fatwa seiring dengan perubahan waktu dan tempat’
  1. Kesimpulan
Secara jelas dapat dilihat adanya beberapa penilaian yang berbeda dikalangan ulama tentang pengertian rujuk, yang berimbas kepada berbedanya mereka dalam merumuskan proses dan juga syarat-syarat dalam pelaksanaan rujuk. Hal yang sangat nyata perbedaannya adalah tentang terjadinya rujuk dengan perbuatan, baik dengan watha’ langsung ataupun dengan sentuhan-sentuhan yang mengarah kepada hubungan badan tanpa diawali dengan ucapan akan tetapi mereka sepakat bahwa rujuk tidak perlu persetujuan dari bekas istri yang dirujuk. Dan bekas istri yang dirujuk  itu harus berada dalam masa iddah talak raj’i.
Berbedanya ketetapan Imam Mazhab dengan KHI tentang proses pelaksanaan rujuk perlu atau tidaknya izin istri tidak terlepas dari dalil- dalil dan perkembangan hukum yang ditentukan oleh peralihan zaman dan keadaan.
Beralihnya suatu hukum asal yang disebabkan oleh peralihan waktu atau tempat, bukan berarti hukum tersebut hilang atau tidak benar. Akan tetapi masyarakat hukum diwaktu itu dan tempat itulah yang sudah bergeser dari keadaan ideal. Jadi bukan hukumnya yang tidak benar atau salah akan tetapi masyarakat hukumnya yang sudah tidak pada posisi atau keadaan yang ideal sehingga hukum tersebut terpaksa tidak dapat diterapkan dan memaksa untuk ditetapkannya suatu ketetapan baru yang dikondisikan dengan peralihan waktu dan tempat tersebut. Dan pemberlakuan hukum baru tersebut hanya pada waktu dan tempat itu saja dan tidak berlaku umum untuk seluruh ummat Islam dimanapun mereka berada.
Jadi apa yang dilakukan oleh KHI khususnya pasal 164 dan 165 ini merupakan pilihan yang benar, mengigat kondisi masyarakat Indonesia.


[1] Muhammad rawas Qo’ahuji, Hamid Shadiq Qaniby, Mu’jam Lughah Fuqaha’, (tt: Dar al-Nafais, 1988), h. 220
[2] Ibnu ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), Juz V, h. 23
[3] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’a, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah 1999), Juz IV, h. 378
[4] Muhammad Syarbaini al-Khatib, al-Iqna’, ( Damsyiq: Dar al-Fikri, t.th), h. 448
[5] Al-Syaibani, al-Mu’tamad fi Fiqh Imam Ahmad, (Damaskus: Dar al-Khair, 1991), h. 275
[6] Muhammad Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, (Cet. IV; tt: PT. Lentera Basritama, 1999), h. 483
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2007), h. 286
[8] Ibid.
[9] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazmin al-andalusy, al-Muhalla bil Astar, (tt: Dar Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 18
[10] Muhammad Jawad Mugniyah, Loc. Cit
[11] Abi Ja’far Muhammad bin Hasan al-Thusi, al-Mabshuth fi Fiqh al-Imamiyah, (tt: al-Maktabah al-Murthdawiyah,t.th), h. 111
[12] Abdul Fatah Idris, fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 268
[13] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984), Juz VII, h. 468
[14] Abdurrahman Ahmad bin Sya’ib bin Ali al-Khisany al-Annasa’i, Sunan an-Nasa’I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), hadis ke 3558, h. 153  
[15] M. Atho’ Muzdhar, khoiruddin Nasution, Hukum keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 129
[16] Ibid., h. 193-194
[17] Departemen Agama Ri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 74-77
[18] Abi Ja’far Muhammad, Loc. Cit.
[19] Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,Tt), Juz II, h. 120
[20] http://www.dorar.net/enc/feqhia/1097, diakses tanggal 27 September 2013
[21] Wahbah az-Zuhaily, Op. Cit., h.461
[22] Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’I, al-Um, (Dar al-Fikr,), h. 260
[23] Mustafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhol al-Fiqh al-‘Am, (Beirut: Dar al-Fikri, 1968), Juz II, h. 964
[24] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, ( Beirut: Dar al-Qutub al-‘Ilmiyah, 1996), h. 36

4 komentar:

  1. in imembantu tulisan saya..makasih..

    BalasHapus
  2. bagaimana jika perceraiannya diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, kemudian si isteri di rujuknamun tidak mau kembali karena ada efek jera bagaimana hukumnya

    BalasHapus
  3. terima kasih di atas perkongsian ilmu
    -En Am-

    BalasHapus
  4. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus